
Harga Emas Terbang Tinggi Bak Kembang Api Tahun Baru
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
31 December 2019 11:29

Tanda-tanda kesepakatan dagang fase I akan diteken dalam waktu dekat semakin menguat setelah South China Morning Post kemarin mewartakan Wakil Perdana Menteri China, Liu He, akan bertandang ke Washington di pekan ini untuk menandatangani kesepakatan.
South China Morning Post yang mengutip sumber yang mengetahui perihal tersebut juga memberitakan delegasi dari Tiongkok akan berada di Washington hingga pertengahan pekan depan.
Sementara Senin waktu AS, penasehat Gedung Putih, Peter Navarro kepada Fox News mengatakan penandatanganan akan dilakukan dalam waktu satu pekan ke depan atau lebih. Navarro mengatakan kedua belah pihak masih menunggu terjemahan dari kesepakatan dagang fase I, sebagaimana dilansir CNBC International.
Dengan adanya kesepakatan dagang fase I dan akan berlanjut ke negosiasi fase II, perang dagang antara AS-China sudah mendekati akhir. Perang dagang kedua negara sudah berlangsung selama 18 bulan dan membuat perekonomian AS-China melambat, serta menyeret turun pertumbuhan ekonomi global.
Ketika perang dagang berakhir, pertumbuhan ekonomi global diharapkan bisa bangkit di tahun depan, dan aset-aset berisiko serta berimbal hasil tinggi akan menjadi target investasi, aset aman seperti emas yang juga tanpa imbal hasil menjadi tidak menarik lagi.
Emas kelihatannya akan tertekan dengan kondisi tersebut, tetapi justru memberikan kejutan. Perang dagang AS-China memang kemungkinan besar akan berakhir, dan pertumbuhan ekonomi global diharapkan akan bangkit. Tetapi benar atau tidaknya perekonomian akan bangkit tentunya memerlukan bukti dari data-data ekonomi yang akan dirilis nantinya.
Tanpa adanya ada bukti, bangkitnya pertumbuhan ekonomi masih sebatas ekspektasi. Oleh karena itu, emas masih cukup kuat bertahan di tengah euforia kesepakatan dagang fase I.
Di sisi lain, ekspektasi membaiknya pertumbuhan ekonomi global membuat mata uang utama serta emerging market menguat melawan dolar AS, yang merupakan banderol harga emas. Ketika dolar AS melemah, maka harga emas menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, dampaknya permintaan emas berpotensi meningkat.
Kesepakatan dagang fase I memberikan efek positif juga bagi emas. Pola pergerakan emas ini sebelumnya sudah diprediksi oleh analis Goldman Sachs, Mikhail Sprogis, yang memprediksi harga emas masih akan mencapai level US$ 1.600/troy ons.
Tanda-tanda emas masih bersinar dimata para pelaku pasar terlihat dari peningkatan kepemilikan aset di SPDR Gold Trust, ETF berbasis emas terbesar di dunia.
CNBC International mewartakan, pada Jumat (27/12/2019) kepemilikan di SPDR Gold Trust naik 0,1% ke menjadi 893,25 ton, dan menjadi yang tertinggi sejak 29 November. Sepekan sebelumnya, total kepemilikan aset juga mengalami kenaikan sebesar 0,3%.
Selain itu, data Commodity Futures Trading Commission's (CFTC) menunjukkan volume net buy emas pada pekan lalu sebanyak 286.3000 kontrak, sama dengan pekan sebelumnya.
Posisi net buy yang tidak mengalami penurunan di saat bursa saham AS terus mencetak rekor tertinggi memberikan gambaran investor masih percaya emas akan kembali bersinar.
Sejauh ini, selain Goldman Sachs, UBS Group AG dan Citigroup juga memprediksi harga emas akan mencapai US$ 1.600/troy ons di tahun 2020. (pap/pap)
South China Morning Post yang mengutip sumber yang mengetahui perihal tersebut juga memberitakan delegasi dari Tiongkok akan berada di Washington hingga pertengahan pekan depan.
Sementara Senin waktu AS, penasehat Gedung Putih, Peter Navarro kepada Fox News mengatakan penandatanganan akan dilakukan dalam waktu satu pekan ke depan atau lebih. Navarro mengatakan kedua belah pihak masih menunggu terjemahan dari kesepakatan dagang fase I, sebagaimana dilansir CNBC International.
Ketika perang dagang berakhir, pertumbuhan ekonomi global diharapkan bisa bangkit di tahun depan, dan aset-aset berisiko serta berimbal hasil tinggi akan menjadi target investasi, aset aman seperti emas yang juga tanpa imbal hasil menjadi tidak menarik lagi.
Emas kelihatannya akan tertekan dengan kondisi tersebut, tetapi justru memberikan kejutan. Perang dagang AS-China memang kemungkinan besar akan berakhir, dan pertumbuhan ekonomi global diharapkan akan bangkit. Tetapi benar atau tidaknya perekonomian akan bangkit tentunya memerlukan bukti dari data-data ekonomi yang akan dirilis nantinya.
Tanpa adanya ada bukti, bangkitnya pertumbuhan ekonomi masih sebatas ekspektasi. Oleh karena itu, emas masih cukup kuat bertahan di tengah euforia kesepakatan dagang fase I.
Di sisi lain, ekspektasi membaiknya pertumbuhan ekonomi global membuat mata uang utama serta emerging market menguat melawan dolar AS, yang merupakan banderol harga emas. Ketika dolar AS melemah, maka harga emas menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, dampaknya permintaan emas berpotensi meningkat.
Kesepakatan dagang fase I memberikan efek positif juga bagi emas. Pola pergerakan emas ini sebelumnya sudah diprediksi oleh analis Goldman Sachs, Mikhail Sprogis, yang memprediksi harga emas masih akan mencapai level US$ 1.600/troy ons.
Tanda-tanda emas masih bersinar dimata para pelaku pasar terlihat dari peningkatan kepemilikan aset di SPDR Gold Trust, ETF berbasis emas terbesar di dunia.
CNBC International mewartakan, pada Jumat (27/12/2019) kepemilikan di SPDR Gold Trust naik 0,1% ke menjadi 893,25 ton, dan menjadi yang tertinggi sejak 29 November. Sepekan sebelumnya, total kepemilikan aset juga mengalami kenaikan sebesar 0,3%.
Selain itu, data Commodity Futures Trading Commission's (CFTC) menunjukkan volume net buy emas pada pekan lalu sebanyak 286.3000 kontrak, sama dengan pekan sebelumnya.
Posisi net buy yang tidak mengalami penurunan di saat bursa saham AS terus mencetak rekor tertinggi memberikan gambaran investor masih percaya emas akan kembali bersinar.
Sejauh ini, selain Goldman Sachs, UBS Group AG dan Citigroup juga memprediksi harga emas akan mencapai US$ 1.600/troy ons di tahun 2020. (pap/pap)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular