Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 2,18% sepanjang tahun ini atau year to date (ytd) hingga penutupan perdagangan Jumat 27 Desember pekan lalu.
Kenaikan ini belum dihitung dengan perdagangan terakhir pada Senin 30 Desember hari ini. Level IHSG tersebut lebih baik ketimbang indeks pada akhir tahun 2018, yang minus 2,54%.
Kinerja tahun ini juga belum mampu melampaui kinerja IHSG pada tahun 2017 dan 2016 yang berhasil memberikan return mencapai 19,99% dan 15,32%. Dengan demikian, tahun 2017, masih menjadi rekor kinerja terbaik IHSG dalam 3 tahun terakhir.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, di tengah kenaikan indeks tersebut, ternyata ada lima saham yang memberikan return sangat fantastis sepanjang tahun ini. Kelima saham tersebut yakni:
1. PT Barito Pacific Tbk (BRPT)
Emiten induk PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) ini mampu menjadi jawara kenaikan harga saham tertinggi tahun ini. Harga sahamnya melesat 214,85% di level Rp 1.505/saham, dengan catatan transaksi perdagangan menembus Rp 20,02 triliun dan volume perdagangan 11,13 miliar saham.
Salah satu sentimen penguatan saham ini karena emiten industri dasar dan kimia ini melakukan pemecahan nilai nominal saham (stock split). Tercatat sudah dua kali pada 2017 dan 6 Agustus 2019.
Pada 12 Juli 2017, Barito mendapat persetujuan dari BEI untuk pemecahan nilai nominal saham dari Rp 1.000/saham menjadi Rp 500/saham. Dengan rasio satu banding dua (1:2), nilai wajar saham Barito sebelum stock split yakni Rp 6.000/saham, sedangkan setelah stock split menjadi Rp 3.000/saham.
Pada 19 Juli 2019, emiten milik taipan Prajogo Pangestu ini mendapatkan persetujuan dari RUPSLB soal stock split lagi dengan rasio 1:5. Saham Barito ditutup di harga Rp 3.670 per saham sebelum dipecah, sementara setelah stock split di harga Rp 705/saham. Kini harganya sudah bertengger di level Rp 1.505/saham.
2. PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah Tbk (BTPS)
Saham anak usaha PT Bank BTPN Tbk (BTPN) ini menguat 134,54% di level Rp 4.210/saham, dengan nilai transaksi Rp 24,04 triliun dan volume perdagangan 9,15 miliar saham.
Sentimen terhadap saham BTPS tak bisa dilepaskan dari kinerja yang cukup baik dari bank syariah ini dan juga mergernya PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI) menjadi Bank BTPN pada 1 Februari 2019.
Selain itu, di tengah keuntungan yang diperoleh, PT Triputra Persada Rahmat, pemilik awal dari BTPS malah mundur bertahap dari bank ini. Triputra yang didirikan oleh pengusaha T.P Rachmat ini mengurangi kepemilikan saham secara bertahap di bank yang fokus pada pembiayaan mikro.
BTPN resmi mendapatkan izin penggabungan usaha alias merger dengan SMBCI dari Japan Financial Sector Authority (JFSA) pada 18 Januari 2019. Izin dari otoritas Jepang tersebut melengkapi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah diterima pada 19 Desember 2018.
PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN)
Saham emiten induk bisnis media Grup MNC ini melesat 133,33% di level Rp 1.610/saham. Nilai transaksi sebesar Rp 12,36 triliun dan volume perdagangan 10,82 miliar saham.
Aksi korporasi akuisisi membuat saham Grup MNC dilirik investor. Namun khusus MNCN, sentimen terbesar datang dari penyelenggaraan Pilpres 2019 pada 17 April silam.
Pesta demokrasi ini turut menjadi sentimen positif bagi emiten media dan periklanan mengingat mendapatkan berkah dari kampanye capres-cawapres serta calon anggota legislatif (caleg).
Perusahaan terafiliasinya, PT MNC Vision Networks Tbk (IPTV) pada Desember ini juga mengumumkan akan mengakuisisi emiten layanan TV berbayar milik Grup Lippo, PT Link Net Tbk (LINK) yang ditargetkan akan rampung dalam 6 bulan ke depan. Sebelumnya IPTV memang telah menandatangani persyaratan tidak mengikat bersama PT First Media Tbk dan Asia Link Dewa Pte mengenai rencana penjajakan akuisisi saham mayoritas Link Net.
Dengan asumsi harga saham rata-rata LINK pda awal Desember adalah Rp 4.220/saham, maka jumlah dana investasi yang digelontorkan IPTV diperkirakan mencapai Rp 7,67 triliun. Pada 16 Juli 2019, IPTV juga mencaplok PT Digital Vision Nusantara (K-Vision) sebesar 60%.
 Foto: Standard Chartered & Astra Teken Perjanjian Jual Beli Saham PermataBank Dengan Bangkok Bank (Dok. Astra International ) |
PT Bank Permata Tbk (BNLI)
Isu divestasi saham Bank Permata oleh oleh pemegang sahamnya yakni Standard Chartered Bank dan PT Astra International Tbk (ASII) menjadi pemantik investor mengincar saham ini. Harga saham BNLI melesat 101,60% di level 1.260/saham, nilai transaksi Rp 14,37 triliun dan volume perdagangan 13,87 miliar saham.
Rumor menyeruak tentang siapa calon pembeli Bank Permata, mulai dari Mizuho Financial Group (MFG), Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), Japan Post Bank (JPB), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan Sumitomo Mitsui Financial Group (SMFG).
Dan , setelah menjadi misteri selama lebih dari setahun, akuisisi BNLI akhirnya resmi diakuisisi Bangkok Bank. Nilai transaksi akuisisi Rp 37,43 triliun untuk 89,12%
Bangkok Bank mengumumkan hal hal tersebut pada 12 Desember lalu. Bangkok Bank mengantisipasi penawaran tender wajib (mandatory tender offer) untuk sisa 10,88% saham di Permata setelah merampungkan akuisisi saham kepemilikan sebesar 89,12%.
PT Smartfren Telecom Tbk (FREN)
Harga saham emiten telekomunikasi Grup Sinar Mas ini melesat 73,08% di level Rp 135/saham. Nilai transaksi Rp 9,16 triliun dan volume perdagangan 44,38 miliar saham.
Meski harga saham melesat, secara fundamental belum positif. FREN mencatatkan rugi bersih Rp 1,64 triliun pada 9 bulan pertama tahun ini atau hingga September 2019, turun 34% dari rugi bersih periode yang sama tahun lalu Rp 2,50 triliun. Ini artinya, sudah hampir 12 tahun atau sejak 2008, FREN tak pernah mencatatkan "angka biru" pada kinerja laba bersih.
Mengacu laporan keuangan yang dipublikasikan di BEI, pada 31 Oktober lalu, rugi bersih ini terjadi seiring dengan masih dialaminya rugi usaha sebesar Rp 1,76 triliun, kendati berkurang dari rugi bersih sebelumnya Rp 1,92 triliun.
Penguatan saham FREN dan beberapa emiten telekomunikasi lain yakni spekulasi mengenai regulasi frekuensi yang bisa dipertahankan pascamerger operator telekomunikasi.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyampaikan hasil pertemuan dengan operator terkait alokasi spektrum atau pita frekuensi pascamerger. Kominfo sedang mencari formula agar pemain dominan dalam frekuensi tidak perlu mengembalikan frekuensinya ke pemerintah, setelah perusahaannya dilebur menjadi satu dan membangun perusahaan baru atau merger.
Pengembalian frekuensi merupakan satu isu sensitif bagi perusahaan telekomunikasi. Ini yang membuat operator telekomunikasi tak melanjutkan rencana konsolidasi.
Pasalnya, rencana konsolidasi operator enggan direalisasikan karena harus mengembalikan frekuensi kepada pemerintah. Padahal bagi operator frekuensi merupakan modal utama untuk pengembangan produk.