5 Saham Paling Cuan Tahun 2019, Pemenangnya Adalah...

PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN)
Saham emiten induk bisnis media Grup MNC ini melesat 133,33% di level Rp 1.610/saham. Nilai transaksi sebesar Rp 12,36 triliun dan volume perdagangan 10,82 miliar saham.
Aksi korporasi akuisisi membuat saham Grup MNC dilirik investor. Namun khusus MNCN, sentimen terbesar datang dari penyelenggaraan Pilpres 2019 pada 17 April silam.
Pesta demokrasi ini turut menjadi sentimen positif bagi emiten media dan periklanan mengingat mendapatkan berkah dari kampanye capres-cawapres serta calon anggota legislatif (caleg).
Perusahaan terafiliasinya, PT MNC Vision Networks Tbk (IPTV) pada Desember ini juga mengumumkan akan mengakuisisi emiten layanan TV berbayar milik Grup Lippo, PT Link Net Tbk (LINK) yang ditargetkan akan rampung dalam 6 bulan ke depan. Sebelumnya IPTV memang telah menandatangani persyaratan tidak mengikat bersama PT First Media Tbk dan Asia Link Dewa Pte mengenai rencana penjajakan akuisisi saham mayoritas Link Net.
Dengan asumsi harga saham rata-rata LINK pda awal Desember adalah Rp 4.220/saham, maka jumlah dana investasi yang digelontorkan IPTV diperkirakan mencapai Rp 7,67 triliun. Pada 16 Juli 2019, IPTV juga mencaplok PT Digital Vision Nusantara (K-Vision) sebesar 60%.
![]() |
PT Bank Permata Tbk (BNLI)
Isu divestasi saham Bank Permata oleh oleh pemegang sahamnya yakni Standard Chartered Bank dan PT Astra International Tbk (ASII) menjadi pemantik investor mengincar saham ini. Harga saham BNLI melesat 101,60% di level 1.260/saham, nilai transaksi Rp 14,37 triliun dan volume perdagangan 13,87 miliar saham.
Rumor menyeruak tentang siapa calon pembeli Bank Permata, mulai dari Mizuho Financial Group (MFG), Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), Japan Post Bank (JPB), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan Sumitomo Mitsui Financial Group (SMFG).
Dan , setelah menjadi misteri selama lebih dari setahun, akuisisi BNLI akhirnya resmi diakuisisi Bangkok Bank. Nilai transaksi akuisisi Rp 37,43 triliun untuk 89,12%
Bangkok Bank mengumumkan hal hal tersebut pada 12 Desember lalu. Bangkok Bank mengantisipasi penawaran tender wajib (mandatory tender offer) untuk sisa 10,88% saham di Permata setelah merampungkan akuisisi saham kepemilikan sebesar 89,12%.
PT Smartfren Telecom Tbk (FREN)
Harga saham emiten telekomunikasi Grup Sinar Mas ini melesat 73,08% di level Rp 135/saham. Nilai transaksi Rp 9,16 triliun dan volume perdagangan 44,38 miliar saham.
Meski harga saham melesat, secara fundamental belum positif. FREN mencatatkan rugi bersih Rp 1,64 triliun pada 9 bulan pertama tahun ini atau hingga September 2019, turun 34% dari rugi bersih periode yang sama tahun lalu Rp 2,50 triliun. Ini artinya, sudah hampir 12 tahun atau sejak 2008, FREN tak pernah mencatatkan "angka biru" pada kinerja laba bersih.
Mengacu laporan keuangan yang dipublikasikan di BEI, pada 31 Oktober lalu, rugi bersih ini terjadi seiring dengan masih dialaminya rugi usaha sebesar Rp 1,76 triliun, kendati berkurang dari rugi bersih sebelumnya Rp 1,92 triliun.
Penguatan saham FREN dan beberapa emiten telekomunikasi lain yakni spekulasi mengenai regulasi frekuensi yang bisa dipertahankan pascamerger operator telekomunikasi.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyampaikan hasil pertemuan dengan operator terkait alokasi spektrum atau pita frekuensi pascamerger. Kominfo sedang mencari formula agar pemain dominan dalam frekuensi tidak perlu mengembalikan frekuensinya ke pemerintah, setelah perusahaannya dilebur menjadi satu dan membangun perusahaan baru atau merger.
Pengembalian frekuensi merupakan satu isu sensitif bagi perusahaan telekomunikasi. Ini yang membuat operator telekomunikasi tak melanjutkan rencana konsolidasi.
Pasalnya, rencana konsolidasi operator enggan direalisasikan karena harus mengembalikan frekuensi kepada pemerintah. Padahal bagi operator frekuensi merupakan modal utama untuk pengembangan produk.
