Nilai tukar rupiah kembali menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (10/12/2019). Meski tipis, rupiah berhasil mencatat penguatan empat hari beruntun.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung menguat 0,14% ke Rp 13.990/US$. Level tersebut menjadi yang terkuat sejak 6 November lalu. Mata Uang Garuda tidak terlalu lama di zona hijau, perlahan penguatan mulai terpangkas hingga akhirnya stagnan di Rp 14.010/US$ di pertengahan perdagangan.
Selepas itu, rupiah sempat masuk ke zona merah, melemah 0,04% ke Rp 14.015/US$. Namun, di menit akhir, rupiah berhasil memukul balik dolar dan menguat 0,04% ke level Rp 14.005/US$ di pasar
, melansir data Refinitiv.
Mata uang utama Asia bergerak variatif melawan dolar AS pada hari ini. Hingga pukul 16:05 WIB, peso Filipina menjadi mata uang dengan kinerja terbaik setelah menguat 0,18%. Runner up hari ini diisi oleh rupee India yang menguat 0,14%. Rupiah melengkapi tiga besar.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning pada hari ini.
Sejak pekan lalu data dari dalam negeri dirilis cukup bagus yang menopang kinerja rupiah. Bank Indonesia (BI) merilis indeks keyakinan konsumen (IKK) bulan November yang mengalami kenaikan menjadi 124,2 dari bulan sebelumnya 118,4. Angka indeks di bulan November juga menjadi yang tertinggi dalam empat bulan terakhir.
Kenaikan IKK tersebut mengindikasikan adanya peningkatan optimisme terhadap kondisi ekonomi saat ini serta di masa yang akan datang. Ketika konsumen semakin optimistis, maka tingkat belanja bisa meningkat dan tentunya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
BI juga melaporkan cadangan devisa per akhir November sebesar US$ 126,6 miliar. Turun tipis dari posisi Oktober yaitu US$ 126,7 miliar. Penurunan tersebut masih lebih baik dari prediksi Trading Economics sebesar US$ 126,3 miliar.
"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,5 bulan impor atau 7,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," sebut keterangan tertulis BI yang diterbitkan Jumat (6/12/2019).
Terbaru pada hari ini BI melaporkan penjualan ritel di bulan Oktober yang tumbuh 3,6%
year-on-year (YoY), jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan bulan Oktober 0,7%.
"Pertumbuhan penjualan eceran ditopang oleh penjualan pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau, serta kelompok suku cadang dan aksesori," sebut keterangan tertulis BI Selasa (12/10/2019).
Rupiah sulit untuk terus melaju di zona hijau akibat kehati-hatian pelaku pasar menanti pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada Kamis (12/12/2019) dini hari WIB. Kali terakhir mengumumkan suku bunga, ketua The Fed, Jerome Powell, mengatakan periode pemangkasan suku bunga sudah berakhir. Suku bunga tidak akan lagi di pangkas, kecuali perekonomian AS memburuk.
Faktanya perekonomian AS memang membaik, yang mengkonfirmasi sikap The Fed tersebut. Data tenaga kerja AS yang dirilis Jumat (6/12/2019) lalu terbilang impresif. Data ini menjadi salah satu acuan The Fed dalam menetapkan suku bunga.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang November perekonomian AS mampu menyerap 266.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (
non-farm payroll/NFP).
Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan bulan Oktober sebanyak 156.000 tenaga kerja, dan jauh lebih tinggi dari konsensus Trading Economics sebesar 180.000 tenaga kerja. NFP pada bulan November tersebut juga merupakan yang tertinggi sejak bulan Januari lalu.
Kemudian tingkat pengangguran Negeri Sam yang dilaporkan di 3,5% di bulan November. Tingkat pengangguran tersebut turun dibandingkan bulan Oktober sebesar 3,6%, menyamai catatan di bulan September, dan merupakan yang terendah sejak tahun 1969.
Belum lagi melihat data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal III-2019 yang pada pembacaan kedua direvisi menjadi 2,1% dari pembacaan pertama 1,9%.
Melihat data tersebut, The Fed sepertinya akan kembali menegaskan tidak akan menurunkan suku bunga lagi, yang bisa jadi membuat dolar AS perkasa lagi.
Selanjutnya perkembangan perundingan dagang antara AS dan China. Pekan ini bisa dikatakan menjadi penentuan apakah akan ada kesepakatan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia tersebut.
Sejauh ini, perundingan dagang kedua negara berada di jalur yang benar. Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa sesuatu bisa terjadi terkait dengan bea masuk tambahan yang dibebankan Washington terhadap produk impor asal China.
Pernyataan itu mengindikasikan kemungkinan batalnya bea masuk tambahan importasi produk China yang sedianya berlaku pada 15 Desember. Penghapusan bea masuk tambahan merupakan syarat China untuk kesepakatan dagang tahap satu. China juga meminta menghapus bea masuk senilai US$ 375 miliar, dari US$ 550 miliar yang selama ini sudah dikenakan.
Sementara itu China juga memberikan kabar bagus. China memutuskan untuk memberi kelonggaran bea masuk atas sejumlah impor produk pangan asal AS seperti kedelai dan daging babi.
Namun yang patut diingat AS sampai saat ini masih berencana menaikkan lagi bea masuk importasi produk dari China pada 15 Desember nanti jika kedua negara belum menandatangani kesepakatan dagang.
Penasehat Ekonomi Presiden Trump, Larry Kudlow, mengkonfirmasi jika rencana kenaikan bea impor tersebut masih berlaku. Selain itu Kudlow juga mengatakan jika kedua belah pihak "sudah dekat" dengan kesepakatan, tetapi juga menyatakan Presiden Trump siap "pergi menjauh" jika beberapa kondisi tertentu tak terpenuhi.
Meski harapan akan ditekennya kesepakatan dagang cukup besar, tetapi kemungkinan gagalnya perundingan kedua negara juga masih ada. Pelaku pasar pun mengambil sikap wait and see yang membuat rupiah belum mampu terus melaju menjauhi Rp 14.000/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA