
Pukul Dolar AS di Menit Akhir, Rupiah Menguat 4 Hari Beruntun
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 December 2019 17:04

Rupiah sulit untuk terus melaju di zona hijau akibat kehati-hatian pelaku pasar menanti pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada Kamis (12/12/2019) dini hari WIB. Kali terakhir mengumumkan suku bunga, ketua The Fed, Jerome Powell, mengatakan periode pemangkasan suku bunga sudah berakhir. Suku bunga tidak akan lagi di pangkas, kecuali perekonomian AS memburuk.
Faktanya perekonomian AS memang membaik, yang mengkonfirmasi sikap The Fed tersebut. Data tenaga kerja AS yang dirilis Jumat (6/12/2019) lalu terbilang impresif. Data ini menjadi salah satu acuan The Fed dalam menetapkan suku bunga.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang November perekonomian AS mampu menyerap 266.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll/NFP).
Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan bulan Oktober sebanyak 156.000 tenaga kerja, dan jauh lebih tinggi dari konsensus Trading Economics sebesar 180.000 tenaga kerja. NFP pada bulan November tersebut juga merupakan yang tertinggi sejak bulan Januari lalu.
Kemudian tingkat pengangguran Negeri Sam yang dilaporkan di 3,5% di bulan November. Tingkat pengangguran tersebut turun dibandingkan bulan Oktober sebesar 3,6%, menyamai catatan di bulan September, dan merupakan yang terendah sejak tahun 1969.
Belum lagi melihat data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal III-2019 yang pada pembacaan kedua direvisi menjadi 2,1% dari pembacaan pertama 1,9%.
Melihat data tersebut, The Fed sepertinya akan kembali menegaskan tidak akan menurunkan suku bunga lagi, yang bisa jadi membuat dolar AS perkasa lagi.
Selanjutnya perkembangan perundingan dagang antara AS dan China. Pekan ini bisa dikatakan menjadi penentuan apakah akan ada kesepakatan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia tersebut.
Sejauh ini, perundingan dagang kedua negara berada di jalur yang benar. Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa sesuatu bisa terjadi terkait dengan bea masuk tambahan yang dibebankan Washington terhadap produk impor asal China.
Pernyataan itu mengindikasikan kemungkinan batalnya bea masuk tambahan importasi produk China yang sedianya berlaku pada 15 Desember. Penghapusan bea masuk tambahan merupakan syarat China untuk kesepakatan dagang tahap satu. China juga meminta menghapus bea masuk senilai US$ 375 miliar, dari US$ 550 miliar yang selama ini sudah dikenakan.
Sementara itu China juga memberikan kabar bagus. China memutuskan untuk memberi kelonggaran bea masuk atas sejumlah impor produk pangan asal AS seperti kedelai dan daging babi.
Namun yang patut diingat AS sampai saat ini masih berencana menaikkan lagi bea masuk importasi produk dari China pada 15 Desember nanti jika kedua negara belum menandatangani kesepakatan dagang.
Penasehat Ekonomi Presiden Trump, Larry Kudlow, mengkonfirmasi jika rencana kenaikan bea impor tersebut masih berlaku. Selain itu Kudlow juga mengatakan jika kedua belah pihak "sudah dekat" dengan kesepakatan, tetapi juga menyatakan Presiden Trump siap "pergi menjauh" jika beberapa kondisi tertentu tak terpenuhi.
Meski harapan akan ditekennya kesepakatan dagang cukup besar, tetapi kemungkinan gagalnya perundingan kedua negara juga masih ada. Pelaku pasar pun mengambil sikap wait and see yang membuat rupiah belum mampu terus melaju menjauhi Rp 14.000/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
Faktanya perekonomian AS memang membaik, yang mengkonfirmasi sikap The Fed tersebut. Data tenaga kerja AS yang dirilis Jumat (6/12/2019) lalu terbilang impresif. Data ini menjadi salah satu acuan The Fed dalam menetapkan suku bunga.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang November perekonomian AS mampu menyerap 266.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll/NFP).
Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan bulan Oktober sebanyak 156.000 tenaga kerja, dan jauh lebih tinggi dari konsensus Trading Economics sebesar 180.000 tenaga kerja. NFP pada bulan November tersebut juga merupakan yang tertinggi sejak bulan Januari lalu.
Kemudian tingkat pengangguran Negeri Sam yang dilaporkan di 3,5% di bulan November. Tingkat pengangguran tersebut turun dibandingkan bulan Oktober sebesar 3,6%, menyamai catatan di bulan September, dan merupakan yang terendah sejak tahun 1969.
Belum lagi melihat data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal III-2019 yang pada pembacaan kedua direvisi menjadi 2,1% dari pembacaan pertama 1,9%.
Melihat data tersebut, The Fed sepertinya akan kembali menegaskan tidak akan menurunkan suku bunga lagi, yang bisa jadi membuat dolar AS perkasa lagi.
Selanjutnya perkembangan perundingan dagang antara AS dan China. Pekan ini bisa dikatakan menjadi penentuan apakah akan ada kesepakatan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia tersebut.
Sejauh ini, perundingan dagang kedua negara berada di jalur yang benar. Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa sesuatu bisa terjadi terkait dengan bea masuk tambahan yang dibebankan Washington terhadap produk impor asal China.
Pernyataan itu mengindikasikan kemungkinan batalnya bea masuk tambahan importasi produk China yang sedianya berlaku pada 15 Desember. Penghapusan bea masuk tambahan merupakan syarat China untuk kesepakatan dagang tahap satu. China juga meminta menghapus bea masuk senilai US$ 375 miliar, dari US$ 550 miliar yang selama ini sudah dikenakan.
Sementara itu China juga memberikan kabar bagus. China memutuskan untuk memberi kelonggaran bea masuk atas sejumlah impor produk pangan asal AS seperti kedelai dan daging babi.
Namun yang patut diingat AS sampai saat ini masih berencana menaikkan lagi bea masuk importasi produk dari China pada 15 Desember nanti jika kedua negara belum menandatangani kesepakatan dagang.
Penasehat Ekonomi Presiden Trump, Larry Kudlow, mengkonfirmasi jika rencana kenaikan bea impor tersebut masih berlaku. Selain itu Kudlow juga mengatakan jika kedua belah pihak "sudah dekat" dengan kesepakatan, tetapi juga menyatakan Presiden Trump siap "pergi menjauh" jika beberapa kondisi tertentu tak terpenuhi.
Meski harapan akan ditekennya kesepakatan dagang cukup besar, tetapi kemungkinan gagalnya perundingan kedua negara juga masih ada. Pelaku pasar pun mengambil sikap wait and see yang membuat rupiah belum mampu terus melaju menjauhi Rp 14.000/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular