
Sempat Nyaman di Zona Hijau, IHSG Melemah di Sesi 1

Pada pembukaan perdagangan, IHSG melemah 0,11% ke level 6.186,75. Namun, dengan cepat IHSG bisa membalikkan keadaan dengan merangsek ke zona hijau. Titik tertinggi IHSG pada hari ini berada di level 6.205,13.
Sayang, per akhir sesi satu IHSG sudah kembali berada di zona merah. Per akhir sesi satu, IHSG jatuh 0,13% ke level 6.185,95.
Perkembangan terkait perang dagang AS-China yang positif tak lagi mampu mengerek kinerja bursa saham Benua Kuning.
Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa sesuatu bisa terjadi terkait dengan bea masuk tambahan yang dibebankan Washington terhadap produk impor asal China. Seperti yang diketahui, penghapusan bea masuk tambahan merupakan syarat dari China jika AS ingin meneken kesepakatan dagang tahap satu.
Sejauh ini AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China, sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.
Di sisi lain, China juga melunak terhadap AS. Kementerian Keuangan China mengumumkan bahwa Beijing akan menghapuskan bea masuk bagi sebagian kedelai dan daging babi yang diimpor dari AS, seperti dikutip dari CNBC International.
Sebelumnya pada Juli 2018, China membebankan bea masuk sebesar 25% terhadap kedelai dan daging babi asal AS sebagai balasan dari langkah AS yang membebankan bea masuk tambahan terhadap produk-produk asal Negeri Panda. Kala itu, AS membebankan bea masuk tambahan dengan dasar bahwa China telah mencuri dan memaksa perusahaan-perusahaan asal AS untuk mentransfer kekayaan intelektual yang dimilikinya ke perusahaan-perusahaan asal China.
Aksi ambil untung tampak menjadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham Asia. Maklum, dalam dalam beberapa waktu terakhir bursa saham Asia sudah mencetak apresiasi. Indeks Shanghai misalnya, selalu menutup hari di zona hijau dalam tiga perdagangan sebelum hari ini. Hal serupa juga bisa didapati pada indeks Nikkei.
Lebih lanjut, rilis data ekonomi China yang mengecewakan ikut berkontribusi dalam menekan kinerja bursa saham Benua Kuning. Pada akhir pekan kemarin, ekspor China periode November 2019 diumumkan jatuh 1,1% secara tahunan.
Padahal, konsensus memperkirakan ada pertumbuhan sebesar 1%, seperti dilansir dari Trading Economics. Kontraksi pada ekspor China tersebut merupakan yang keempat secara beruntun.
Saham-saham konsumer yang sempat berkontribusi signifikan dalam mendongkrak kinerja IHSG dalam dua hari perdagangan sebelumnya kini tak lagi bertaji.
Pada perdagangan Jumat pekan lalu (6/12/2019), indeks sektor barang konsumsi menguat sebesar 0,96%, diikuti apresiasi sebesar 0,3% pada perdagangan kemarin, Senin (9/12/2019).
Per akhir sesi satu perdagangan hari ini, indeks sektor barang konsumsi tercatat melemah sebesar 0,25%.
Saham-saham konsumer diburu pelaku pasar pada hari Jumat dan Senin seiring dengan kehadiran sentimen positif yakni rilis angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK).
Pada hari Kamis (5/12/2019), Bank Indonesia (BI) mengumumkan bahwa IKK periode November 2019 berada di level 124,2, jauh meningkat dibandingkan IKK periode Oktober 2019 yang sebesar 118,4. IKK pada bulan lalu merupakan yang tertinggi dalam empat bulan.
Melejitnya optimisme konsumen pada bulan November disebabkan oleh kenaikan kedua komponen pembentuknya, yaitu Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK).
IKE pada bulan November tercatat sebesar 109,3, naik dari posisi bulan sebelumnya yang sebesar 104,8. Sementara itu, IEK pada bulan November tercatat sebesar 139,1, naik dari posisi bulan sebelumnya yang sebesar 132.
Naiknya IKK secara signifikan memberi sinyal bahwa masyarakat Indonesia akan secara signifikan meningkatkan konsumsinya menjelang libur hari raya Natal dan Tahun Baru.
Untuk diketahui, sebelumnya terdapat kekhawatiran yang besar bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di level yang sangat rendah. Hal ini tercermin dari rendahnya angka inflasi.
Pada awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa sepanjang bulan November terjadi inflasi sebesar 0,14% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) tercatat di level 3%.
Inflasi pada bulan November berada di bawah konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia. Median dari 12 ekonom yang ikut berpartisipasi dalam pembentukan konsensus memproyeksikan tingkat inflasi secara bulanan di level 0,2%, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan berada di angka 3,065%.
Lantas, lagi-lagi inflasi Indonesia berada di bawah ekspektasi. Sebelumnya pada bulan Oktober, BPS mencatat bahwa terjadi inflasi sebesar 0,02% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,13%.
Inflasi pada bulan Oktober berada di posisi yang lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan adanya inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan sebesar 3,23%.
Lebih lanjut, indikasi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di bawah tekanan juga ditunjukkan oleh publikasi data penjualan ritel oleh BI. Sepanjang September 2019, penjualan barang-barang ritel tercatat hanya tumbuh tipis sebesar 0,7% secara tahunan.
Capaian tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun sebelumnya (September 2018) kala penjualan barang-barang ritel mampu tumbuh hingga 4,8% secara tahunan.
Sebagai catatan, sudah sedari bulan Mei pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3% YoY.
Sayang, kini pelaku pasar tampak memilih untuk merealisasikan keuntungan yang sudah mereka raup dari saham-saham konsumer sehingga langkah IHSG menjadi terbebani.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Besok AS-China Deal! IHSG Nyaman di Zona Hijau
