Sentuh Level di Bawah 6.000, Gimana Tren IHSG di Akhir Tahun?

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
29 November 2019 14:57
Sentuh Level di Bawah 6.000, Gimana Tren IHSG di Akhir Tahun?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Kamis kemarin (28/11/2019) membukukan koreksi yang cukup dalam, yakni sebesar 1,16% dan mengukuhkan pelemahan 6 hari beruntun. Koreksi terdalam indeks acuan utama Bursa Efek Indonesia (BEI) itu terakhir kali terjadi pada 20 Maret 2018.



Namun, sepertinya IHSG pada Jumat ini (29/11/2019) terlihat mencoba memutus rantai koreksi tersebut karena pada penutupan sesi I tercatat melesat 0,72%, meskipun masih di bawah level 6.000, yakni 5.995,9. Alhasil sepanjang tahun berjalan, IHSG masih menorehkan imbal hasil negatif 3,21%.

Lebih lanjut, melihat kondisi IHSG yang kembali menyentuh level di bawah 6.000 tentu muncul pertanyaan di benak pelaku pasar, pada akhir tahun ini mampukah bursa saham utama Ibu Pertiwi mencatatkan penguatan?

Memasuki kuartal terakhir tahun ini, perusahaan manajer investasi dan analis terlihat ramai-ramai merevisi ke bawah target akhir tahun IHSG.

Sejumlah analis pasar yang berhasil dihimpun CNBC ramai-ramai merevisi target IHSG 2019 dari semula di kisaran 6.450 -7.000 turun menjadi 6.070 hingga 6.500.

"Tahun ini estimasi IHSG ke level 6.500, kita revisi ke bawah dari 6.700 karena pelemahan ekonomi global berdampak," ungkap Manuel M. Maleaki, Direktur PT Aurora Asset Management, Senin (28/10/2019).


Kemudian, Vice President dan Senior Analis PT Samuel Sekuritas Indonesia, Muhammad Alfatih, menyampaikan untuk akhir tahun target optimis IHSG sebesar 6.350, moderat di level 6.150, dan pesimis di 6.070.

Menurut pengamat pasar modal, Siswa Rizali, revisi target ini sebagai dampak dari perlambatan ekonomi yang menyebabkan realisasi earning growth perusahaan di Indonesia lebih rendah dari ekspektasi, sehingga realisasi pencapaian IHSG ikut turun.

Ekspektasi pertumbuhan pendapatan yang rendah terutama terlihat pada emiten yang bergerak di industri komoditas, seperti sawit, minyak, batu bara, mineral dan logam. Hal ini disebabkan oleh tertekannya harga komoditas baik perkebunan dan energi di pasar global.
Lebih lanjut, masih terdapat kekhawatiran lainnya bahwa revisi target ke bawah IHSG akan kembali terjadi. Hal ini mengingat kondisi geopolitik global yang penuh ketidakpastian dan beberapa negara yang sudah resmi menjadi korban resesi.

Situasi geopolitik global yang paling berdampak signifikan pada perekonomian global adalah friksi dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang sudah berlangsung hampir dua tahun dan masih belum sampai titik temu.

Apalagi pada 15 Desember 2019, AS dijadwalkan akan mengenakan bea masuk baru untuk produk impor Made in China senilai US$ 156 miliar.

Awalnya, pelaku pasar optimis bahwa bea masuk tersebut batal dikenakan, namun kondisi saat ini sudah berbeda. Pasalnya, Negeri Tiongkok sangat geram dengan keputusan Presiden AS Donald Trump yang menandatangani rancangan undang-undang (RUU) penegakan hak asasi manusia dan demokrasi di Hong Kong, serta RUU yang melarang penjualan amunisi dan peluru karet ke polisi Hong Kong.


"Pemerintah China akan membalas jika AS terus melakukan hal semacam ini. AS adalah pihak yang harus bertanggung jawab," tegas pernyataan tertulis Kementerian Luar Negeri China, seperti diberitakan Reuters.

"Anda lihat saja. Apa yang akan terjadi, terjadilah," tegas Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, seperti dikutip dari Reuters.

Di lain pihak sepanjang tahun 2019, ekonomi beberapa negara dan kawasan sudah di ujung tanduk, bahkan ada yang resmi resesi.

Selama 2019 ini, setidaknya dua negara yakni Meksiko dan Turki, dan satu kawasan ekonomi khusus yakni Hong Kong sudah menjadi korban resesi. Sementara itu, meskipun belum masuk resesi, Afrika Selatan sudah menerima kartu kuning dari Lembaga Moneter Internasional (IMF) dan S4P Global Ratings.

Kondisi perekonomian global yang lesu, membuat investasi di pasar saham negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi kurang atraktif. Minimnya ketertarikan investasi, terutama terlihat dari perilaku penanam modal asing yang sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan kemarin menorehkan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 25,7 triliun di pasar reguler.

Sedangkan di pasar negosiasi, investor asing mencatatkan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 66,3 triliun karena ditopang aksi akuisisi dan merger beberapa emiten.




Kemudian, sepinya peminat pasar saham Ibu Pertiwi juga dicerminkan dari nilai transaksi saham yang sejak minggu kedua November mayoritas berada di bawah rata-rata transaksi harian yang sebesar Rp 9,2 triliun.

Sepinya nilai transaksi ini sebelumnya ditengarai karena ada sedikit banyak pengaruh dari aksi 'bersih-bersih' yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas beberapa reksa dana yang diduga memasukkan saham berkolesterol tinggi pada aset underlying-nya.




Mari kita lihat apakah stimulus ekonomi yang gencar diberikan oleh pemerintah mulai menunjukkan dampak positifnya sehingga dapat membantu perekonomian Indonesia tidak terbawa arus negatif dari situasi ekonomi global.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular