
Sentuh Level di Bawah 6.000, Gimana Tren IHSG di Akhir Tahun?
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
29 November 2019 14:57

Lebih lanjut, masih terdapat kekhawatiran lainnya bahwa revisi target ke bawah IHSG akan kembali terjadi. Hal ini mengingat kondisi geopolitik global yang penuh ketidakpastian dan beberapa negara yang sudah resmi menjadi korban resesi.
Situasi geopolitik global yang paling berdampak signifikan pada perekonomian global adalah friksi dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang sudah berlangsung hampir dua tahun dan masih belum sampai titik temu.
Apalagi pada 15 Desember 2019, AS dijadwalkan akan mengenakan bea masuk baru untuk produk impor Made in China senilai US$ 156 miliar.
Awalnya, pelaku pasar optimis bahwa bea masuk tersebut batal dikenakan, namun kondisi saat ini sudah berbeda. Pasalnya, Negeri Tiongkok sangat geram dengan keputusan Presiden AS Donald Trump yang menandatangani rancangan undang-undang (RUU) penegakan hak asasi manusia dan demokrasi di Hong Kong, serta RUU yang melarang penjualan amunisi dan peluru karet ke polisi Hong Kong.
"Pemerintah China akan membalas jika AS terus melakukan hal semacam ini. AS adalah pihak yang harus bertanggung jawab," tegas pernyataan tertulis Kementerian Luar Negeri China, seperti diberitakan Reuters.
"Anda lihat saja. Apa yang akan terjadi, terjadilah," tegas Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, seperti dikutip dari Reuters.
Di lain pihak sepanjang tahun 2019, ekonomi beberapa negara dan kawasan sudah di ujung tanduk, bahkan ada yang resmi resesi.
Selama 2019 ini, setidaknya dua negara yakni Meksiko dan Turki, dan satu kawasan ekonomi khusus yakni Hong Kong sudah menjadi korban resesi. Sementara itu, meskipun belum masuk resesi, Afrika Selatan sudah menerima kartu kuning dari Lembaga Moneter Internasional (IMF) dan S4P Global Ratings.
Kondisi perekonomian global yang lesu, membuat investasi di pasar saham negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi kurang atraktif. Minimnya ketertarikan investasi, terutama terlihat dari perilaku penanam modal asing yang sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan kemarin menorehkan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 25,7 triliun di pasar reguler.
Sedangkan di pasar negosiasi, investor asing mencatatkan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 66,3 triliun karena ditopang aksi akuisisi dan merger beberapa emiten.
Kemudian, sepinya peminat pasar saham Ibu Pertiwi juga dicerminkan dari nilai transaksi saham yang sejak minggu kedua November mayoritas berada di bawah rata-rata transaksi harian yang sebesar Rp 9,2 triliun.
Sepinya nilai transaksi ini sebelumnya ditengarai karena ada sedikit banyak pengaruh dari aksi 'bersih-bersih' yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas beberapa reksa dana yang diduga memasukkan saham berkolesterol tinggi pada aset underlying-nya.
Mari kita lihat apakah stimulus ekonomi yang gencar diberikan oleh pemerintah mulai menunjukkan dampak positifnya sehingga dapat membantu perekonomian Indonesia tidak terbawa arus negatif dari situasi ekonomi global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas)
Situasi geopolitik global yang paling berdampak signifikan pada perekonomian global adalah friksi dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang sudah berlangsung hampir dua tahun dan masih belum sampai titik temu.
Apalagi pada 15 Desember 2019, AS dijadwalkan akan mengenakan bea masuk baru untuk produk impor Made in China senilai US$ 156 miliar.
"Pemerintah China akan membalas jika AS terus melakukan hal semacam ini. AS adalah pihak yang harus bertanggung jawab," tegas pernyataan tertulis Kementerian Luar Negeri China, seperti diberitakan Reuters.
"Anda lihat saja. Apa yang akan terjadi, terjadilah," tegas Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, seperti dikutip dari Reuters.
Di lain pihak sepanjang tahun 2019, ekonomi beberapa negara dan kawasan sudah di ujung tanduk, bahkan ada yang resmi resesi.
Selama 2019 ini, setidaknya dua negara yakni Meksiko dan Turki, dan satu kawasan ekonomi khusus yakni Hong Kong sudah menjadi korban resesi. Sementara itu, meskipun belum masuk resesi, Afrika Selatan sudah menerima kartu kuning dari Lembaga Moneter Internasional (IMF) dan S4P Global Ratings.
Kondisi perekonomian global yang lesu, membuat investasi di pasar saham negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi kurang atraktif. Minimnya ketertarikan investasi, terutama terlihat dari perilaku penanam modal asing yang sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan kemarin menorehkan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 25,7 triliun di pasar reguler.
Sedangkan di pasar negosiasi, investor asing mencatatkan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 66,3 triliun karena ditopang aksi akuisisi dan merger beberapa emiten.
Kemudian, sepinya peminat pasar saham Ibu Pertiwi juga dicerminkan dari nilai transaksi saham yang sejak minggu kedua November mayoritas berada di bawah rata-rata transaksi harian yang sebesar Rp 9,2 triliun.
Sepinya nilai transaksi ini sebelumnya ditengarai karena ada sedikit banyak pengaruh dari aksi 'bersih-bersih' yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas beberapa reksa dana yang diduga memasukkan saham berkolesterol tinggi pada aset underlying-nya.
Mari kita lihat apakah stimulus ekonomi yang gencar diberikan oleh pemerintah mulai menunjukkan dampak positifnya sehingga dapat membantu perekonomian Indonesia tidak terbawa arus negatif dari situasi ekonomi global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular