Tekanan Cukup Berat, Harga Emas Tidak Kuat Menanjak

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 November 2019 20:50
Tekanan Cukup Berat, Harga Emas Tidak Kuat Menanjak
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia perlahan memangkas penguatan pada perdagangan Kamis (29/11/19). Meski hubungan Amerika Serikat (AS) dengan China sedang memanas, nyatanya logam mulai ini tidak kuat menanjak.

Pada pukul 19:54 WIB, penguatan emas tersisa 0,07% berada di level US$ 1.455,33/troy ons, berdasarkan data Refinitiv. Padahal pagi tadi harga emas menguat 0,27% ke level US$ 1.458,2/troy ons.

Hubungan Washington dengan Beijing memanas lagi setelah Presiden AS Donald Trump pada Rabu waktu setempat menandatangani Undang-Undang (UU) penegakan hak asasi manusia dan demokrasi Hong Kong yang sebelumnya telah disetujui oleh Kongres AS.

Salah satu poin dalam UU tersebut adalah pemberian sanksi bagi pejabat China yang terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Hong Kong. Pemerintah Beijing sebelumnya sudah berulang kali mengingatkan AS agar tidak mencampuri urusan Hong Kong yang merupakan bagian dari China.



Menteri Luar Negeri China pagi ini memberikan pernyataan yang keras. "Pemerintah China akan membalas jika AS terus melakukan hal semacam ini. AS adalah pihak yang harus bertanggung jawab," tegas pernyataan tertulis Kementerian Luar Negeri China, seperti diberitakan Reuters.

Keputusan AS ikut campur masalah di Hong Kong bisa jadi membuat China mempertimbangkan kembali kesepakatan dagang dengan AS. Apalagi beberapa pejabat China sebelumnya mengatakan meski ingin adanya kesepakatan dagang, tetapi China siap untuk perang dagang lebih lanjut.



Untuk diketahui, Presiden Trump sampai saat ini masih berencana menaikkan bea masuk importasi produk dari China dengan total nilai US$ 160 miliar pada 15 Desember. Jika sampai batas waktu tersebut AS-China belum meneken kesepakatan fase satu, maka bea masuk akan berlaku perang dagang bukannya berakhir malah bisa tereskalasi.

Potensi eskalasi perang dagang seharusnya membuat harga emas bisa menguat lebih tinggi, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, penguatan yang diraih sejak pagi tadi perlahan terpangkas, emas bahkan terancam melemah lagi.

Tekanan berat bagi emas datang dari kondisi ekonomi AS yang membaik. Sejak pekan lalu data ekonomi Paman Sam dirilis cukup menarik. 

Pada Kamis (21/11/19 indeks aktivitas manufaktur wilayah Philadelphia dilaporkan naik menjadi 10,4 di bulan ini, jauh lebih tinggi dari bulan Oktober lalu sebesar 5,6. Sehari setelahnya Markit melaporkan indeks aktivitas manufaktur AS naik menjadi 52,2 di bulan ini, tertinggi dalam tujuh bulan terakhir. 

Kemudian Rabu kemarin, pembacaan kedua produk domestik bruto (PDB) AS dirilis sebesar 2,1% lebih tinggi dari pembacaan awal 1,9%.

Data lain menunjukkan pesanan barang tahan lama tumbuh 0,6% di bulan Oktober secara bulanan atau month-on-month (MoM). Di bulan sebelumnya, data ini turun 1,2%. Sementara pesanan barang tahan lama inti, yang tidak memasukkan sektor transportasi dalam perhitungan, juga tumbuh 0,6% MoM, dari bulan sebelumnya yang turun 0,4%.


Meski ada beberapa data yang kurang bagus, seperti inflasi (dilihat dari personal capital expenditure/PCE) yang pertumbuhannya masih rendah, tetapi serangkaian data tersebut cukup memperkuat sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang lebih optimis terhadap kondisi ekonomi AS saat ini dibandingkan beberapa pekan lalu.

Bank sentral terkuat di dunia ini juga berencana untuk tidak lagi menurunkan suku bunga, kecuali jika perekonomian AS memburuk. Sepanjang tahun ini, The Fed sudah tiga kali menurunkan suku bunga, yang menjadi salah satu faktor pemicu kenaikan harga emas hingga mencapai level tertinggi lebih dari enam tahun di US$ 1.557/troy ons September lalu.

Jika The Fed tidak lagi menurunkan suku bunga, maka satu pijakan emas untuk menguat kembali menjadi hilang, dan justru berisiko semakin tertekan.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular