Dear BI, Tahun Depan Suka yang Longgar atau yang Ketat Nih?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 November 2019 12:11
Dear BI, Tahun Depan Suka yang Longgar atau yang Ketat Nih?
Ilustrasi Gedung Bank Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Malam ini, akan dihelat acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) yang dulu akrab disebut Bankers Dinner. Dalam acara ini, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dijadwalkan untuk memaparkan prospek perekonomian dan arah kebijakan bank sentral 2020.

Tahun ini, MH Thamrin mengakui bahwa posisi (stance) kebijakan mereka adalah akomodatif alias longgar. Suku bunga acuan sudah turun empat kali sejak awal tahun, paling agresif sejak 2016.



Tidak hanya suku bunga acuan, BI juga memberikan berbagai pelonggaran. Giro Wajib Minimum (GWM), rasio uang muka kredit properti dan perumahan, semua diturunkan.

"Kebijakan moneter tetap akomodatif dan konsisten dengan prakiraan inflasi yang terkendali dalam kisaran target, stabilitas eksternal yang terjaga, serta upaya untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perekonomian global yang melambat. Kebijakan makroprudensial tetap akomodatif untuk mendorong penyaluran kredit perbankan dan memperluas pembiayaan bagi perekonomian, dengan tetap mempertahankan terjaganya stabilitas sistem keuangan," sebut keterangan tertulis BI usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) November 2019.



Ya, BI memang layak menerapkan kebijakan longgar. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, memang perlu dorongan segera karena perlambatan terpampang nyata.

Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 ada di 5,08%, sementara proyeksi BI adalah 5,1%. Melambat dibandingkan realisasi pertumbuhan ekonomi 2018 yang sebesar 5,17%.

Kemudian, kekhawatiran soal defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) juga sudah berkurang. Sepanjang 2019, defisit transaksi berjalan belum pernah menyentuh 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).



Pada 2018, defisit transaksi berjalan beberapa kali melampaui 3% PDB. Oleh karena itu, BI menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali agar aktivitas ekonomi sedikit melambat sehingga tekanan impor berkurang.



Lalu bagaimana dengan 2020? Kira-kira apakah BI masih akan menerapkan kebijakan moneter longgar? Atau justru suka yang ketat-ketat seperti 2018?

Untuk sampai ke sana, pertama kita perlu melihat kira-kira bagaimana arah kebijakan moneter global tahun depan. Kalau mau melihat tren kebijakan moneter global, kiblatnya tentu ke Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve sebagai bank sentral paling berpengaruh di kolong langit.

Setiap kuartal, The Fed menerbitkan proyeksi terbaru mengenai arah suku bunga ke depan yang disebut dot plot. Isinya cuma titik-titik, tetapi itu menggambarkan bakal ke mana Federal Funds Rate bakal bergerak.

Saat ini, suku bunga acuan di Negeri Paman Sam berada di 1,5-1,75%. Mengutip dot plot edisi September 2019, mayoritas anggota Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) memperkirakan suku bunga akan bertahan di sana sampai akhir 2020.

Akan tetapi, perlu dicermati bahwa cukup banyak anggota FOMC yang memperkirakan suku bunga acuan bisa naik tahun depan. Paling tinggi ke 2,25-2,5%.

Dear BI, Tahun Depan Suka yang Longgar atau yang Ketat Nih?FOMC

Seperti BI, The Fed pun tahun ini akomodatif dengan menurunkan suku bunga acuan tiga kali. Namun tahun depan, kemungkinan Ketua Jerome 'Jay' Powell tidak lagi menerapkan kebijakan moneter longgar.

The Fed memang punya alasan untuk sedikit ngerem pada 2020. Ekonomi AS terus mengalami ekspansi, siklus yang belum terputus sejak 2016.

 

Pada kuartal III-2019, pembacaan kedua angka pertumbuhan ekonomi AS menunjukkan angka 2,1% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Lebih baik ketimbang pembacaan pertama yaitu 1,9% dan kuartal II-2019 yang sebesar 2%.




Powell menilai ekspansi ekonomi AS masih akan berlanjut. Dia pun menegaskan bahwa dampak pelonggaran kebijakan moneter sudah mulai dirasakan oleh masyarakat.

"Dampak dari ekspansi ekonomi sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat. Masih banyak yang akan dirasakan ke depan. Walau ekspansi ekonomi yang terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya.

"Saya melihat gelas setengah kosong ketimbang setengah penuh. Dengan kebijakan yang tepat, kita bisa mengisinya dan membuat lebih banyak masyarakat menikmati keuntungan," papar Powell belum lama ini, seperti dikutip dari Reuters.

Oleh karena itu, sepertinya tahun depan ekonomi AS sudah bisa berjalan sendiri tanpa bantuan stimulus moneter. Jadi wajar kalau para pengambil kebijakan di The Fed memperkirakan siklus penurunan suku bunga sudah selesai, setidaknya sampai akhir tahun depan.

Stance The Fed yang kemungkinan netral cenderung ketat pada 2020 kemungkinan akan diikuti oleh bank sentral di negara-negara lain termasuk BI. Kalau melihat dari sisi tren kebijakan moneter global, maka kebijakan BI tahun depan sepertinya sudah tidak longgar lagi.


Bagaimana dengan faktor di dalam negeri? Apakah memungkinkan bagi BI untuk mengubah arah kebijakan?

Dari sisi pertumbuhan ekonomi, sepertinya ada harapan perbaikan. Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 mengasumsikan pertumbuhan ekonomi di angka 5,3%. Sementara proyeksi Bank Dunia dan IMF masing-masing ada di 5,1%. Lebih baik ketimbang perkiraan pencapaian 2019.

Pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepertinya masih stabil di kisaran 5% karena inflasi yang terjaga rendah. APBN 2020 mengasumsikan inflasi sebesar 3,1%, sama seperti perkiraan realisasi 2019 versi BI.


Investasi juga sepertinya menunjukkan tanda-tanda pemulihan setelah sempat terkontraksi (tumbuh negatif) empat kuartal beruntun. Usainya proses Pemilu membuat investor bisa lebih tenang menanamkan modal di Indonesia tanpa khawatir dengan risiko politik. Tidak ada lagi wait and see.

 

Tantangannya memang masih di ekspor. Ini akan sangat ditentukan oleh perkembangan perang dagang AS-China. Jika Washington dan Beijing masih saling hambat, saling berbalas menerapkan bea masuk, maka rantai pasok global belum akan pulih sehingga sulit mengandalkan ekspor untuk memberikan kontribusi terhadap pembentukan PDB.

Sekarang memang ada harapan AS-China bisa mencapai kesepakatan damai dagang Fase I. Namun karena dinamika di Hong Kong, ada kemungkinan kedua negara kembali berseteru.




Meski begitu, secara umum ada peluang ekonomi Indonesia membaik tahun depan. Oleh karena itu, kebutuhan untuk stimulus moneter berkurang sehingga menurunkan peluang penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate lebih lanjut.

Kemudian dari sisi transaksi berjalan, juga sepertinya ada perbaikan. Bank Dunia memperkirakan defisit transaksi berjalan sepanjang 2019 adalah 2,8% PDB dan tahun depan turun jadi 25% PDB.

"Dengan perdagangan dunia yang masih melambat, sepertinya aktivitas ekspor maupun impor masih lemah dalam waktu dekat. Ini membuka ruang bagi perbaikan transaksi berjalan. Ditambah lagi ada beberapa kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mengendalikan impor seperti B20, kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) impor), serta penggunaan produksi minyak untuk dalam negeri," demikian dikutip dari laporan Bank Dunia.

So, dengan inflasi yang landai, pertumbuhan ekonomi yang membaik, plus defisit transaksi berjalan yang menipis, ada alasan kuat bagi BI untuk mulai meninggalkan kebijakan akomodatif pada 2020. Sepertinya akan sulit untuk berharap suku bunga acuan bisa turun lagi.

Tahun depan rasanya BI mulai suka yang ketat-ketat nih...


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/dru) Next Article Corona Pengaruhi Pariwisata Hingga Investasi, Ini Respons BI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular