
Merah Lagi! 5 Hari Beruntun IHSG Terseok-seok
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
27 November 2019 16:42

Di awal perdagangan, IHSG tampaknya masih menyambut positif pernyataan Trump. Namun euforia itu tak bertahan lama karena sejatinya nada optimis dari Presiden ke-45 AS tersebut masih belum dapat memberikan tanggal pasti kapan kesepakatan dagang dapat ditekan.
Kepala Ekonom dan Riset Asia Pasifik di ING, Robert Carnell, menyampaikan dalam sebuah catatan bahwa pasar “tampaknya semakin terpikat” atas komentar positif Trump.
Namun dirinya juga memperingatkan bahwa besar kemungkinan isu yang signifikan belum terselesaikan mengingat hingga saat ini belum ada kesepakatan, hanya sebatas komentar positif.
“Fakta bahwa kita telah sering mendengar komentar positif, tetapi masih menunggu kesepakatan dagang dapat ditafsirkan bahwa masalah signifikan tetap ada,” ujar Cornell, dikutip dari CNBC International.
Pernyataan Cornell ada benarnya mengingat Trump sebelumnya menegaskan bahwa hasil damai dagang tidak dapat imbang karena harus mengutamakan kepentingan AS.
Salah satu alasan utamanya adalah fakta bahwa pada Januari-September 2019, AS mengalami defisit US$ 263,19 miliar kala berdagang dengan China. Tahun lalu, AS juga tekor US$ 419,53 miliar.
Namun, keinginan Trump tersebut tentu bertentangan dengan China yang beberapa kali menegaskan bahwa asas saling menghormati dan kesetaraan merupakan hal penting agar kesepakatan dapat ditekan.
“Kami ingin mengupayakan kesepakatan fase pertama atas dasar saling menghormati dan kesetaraan,” ujar Xi kepada reporter di forum New Economy di Beijing, dikutip dari Reuters.
Konsultan Senior Mclarty Assocates, Steve Okun, menyampaikan bahwa kesepakatan dagang kedua negara haruslah win-win solution, di mana penghapusa tarif merupakan kunci utama yang tidak dapat dengan mudah dilepaskan oleh China, dilansir dari CNBC International.
Okun menyampaikan bahwa Negeri Tiongkok tidak akan menyetujui jika AS hanya menjanjikan penundaan pengenaan bea masuk, bukan penghapusan sepenuhnya tarif yang berlaku.
Pasalnya bea masuk yang saat ini berlaku terbukti masih terus menyakiti ekonomi Negeri Panda, di mana data ekonomi China bulan Oktober penuh dengan rapor merah.
Perolehan laba perusahaan yang dicatatkan sektor industri di China di bulan Oktober mencapai anjlok 9,9% year-on-year (YoY) menjadi CNY 427,56 miliar. Ini merupakan penurunan terdalam setidaknya dalam 8 bulan terakhir, dilansir dari Trading Economics.
Alhasil pada periode Januari-Oktober tahun ini, laba industri secara total membukukan kontraksi 2,9% YoY ke level CNY 5,02 triliun, lebih dalam dari penurunan yang dicatatkan pada 9 bulan pertama yang tumbuh negatif 2,1% YoY.
“Penurunan signifikan laba industri di bulan Oktober mengindikasikan ekonomi riil masih menghadapi banyak kesulitan," ujar Nie Wen, ekonomi di Hwabao Trust, dilansir dari Reuters.
Kinerja laba industri tersebut menambah rentetan data ekonomi China yang melemah sepanjang Oktober, di antaranya indeks harga produsen yang anjlok ke level terendah dalam 3 tahun terakhir, angka PMI manufaktur, serta ekspor.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas)
Kepala Ekonom dan Riset Asia Pasifik di ING, Robert Carnell, menyampaikan dalam sebuah catatan bahwa pasar “tampaknya semakin terpikat” atas komentar positif Trump.
Namun dirinya juga memperingatkan bahwa besar kemungkinan isu yang signifikan belum terselesaikan mengingat hingga saat ini belum ada kesepakatan, hanya sebatas komentar positif.
“Fakta bahwa kita telah sering mendengar komentar positif, tetapi masih menunggu kesepakatan dagang dapat ditafsirkan bahwa masalah signifikan tetap ada,” ujar Cornell, dikutip dari CNBC International.
Pernyataan Cornell ada benarnya mengingat Trump sebelumnya menegaskan bahwa hasil damai dagang tidak dapat imbang karena harus mengutamakan kepentingan AS.
Salah satu alasan utamanya adalah fakta bahwa pada Januari-September 2019, AS mengalami defisit US$ 263,19 miliar kala berdagang dengan China. Tahun lalu, AS juga tekor US$ 419,53 miliar.
Namun, keinginan Trump tersebut tentu bertentangan dengan China yang beberapa kali menegaskan bahwa asas saling menghormati dan kesetaraan merupakan hal penting agar kesepakatan dapat ditekan.
“Kami ingin mengupayakan kesepakatan fase pertama atas dasar saling menghormati dan kesetaraan,” ujar Xi kepada reporter di forum New Economy di Beijing, dikutip dari Reuters.
Konsultan Senior Mclarty Assocates, Steve Okun, menyampaikan bahwa kesepakatan dagang kedua negara haruslah win-win solution, di mana penghapusa tarif merupakan kunci utama yang tidak dapat dengan mudah dilepaskan oleh China, dilansir dari CNBC International.
Okun menyampaikan bahwa Negeri Tiongkok tidak akan menyetujui jika AS hanya menjanjikan penundaan pengenaan bea masuk, bukan penghapusan sepenuhnya tarif yang berlaku.
Pasalnya bea masuk yang saat ini berlaku terbukti masih terus menyakiti ekonomi Negeri Panda, di mana data ekonomi China bulan Oktober penuh dengan rapor merah.
Perolehan laba perusahaan yang dicatatkan sektor industri di China di bulan Oktober mencapai anjlok 9,9% year-on-year (YoY) menjadi CNY 427,56 miliar. Ini merupakan penurunan terdalam setidaknya dalam 8 bulan terakhir, dilansir dari Trading Economics.
Alhasil pada periode Januari-Oktober tahun ini, laba industri secara total membukukan kontraksi 2,9% YoY ke level CNY 5,02 triliun, lebih dalam dari penurunan yang dicatatkan pada 9 bulan pertama yang tumbuh negatif 2,1% YoY.
“Penurunan signifikan laba industri di bulan Oktober mengindikasikan ekonomi riil masih menghadapi banyak kesulitan," ujar Nie Wen, ekonomi di Hwabao Trust, dilansir dari Reuters.
Kinerja laba industri tersebut menambah rentetan data ekonomi China yang melemah sepanjang Oktober, di antaranya indeks harga produsen yang anjlok ke level terendah dalam 3 tahun terakhir, angka PMI manufaktur, serta ekspor.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular