
Bursa Regional Sudah Balik Menghijau, IHSG Masih Saja Melemah

Pada pembukaan perdagangan, IHSG melemah 0,03% ke level 6.126,41 Per akhir sesi satu, koreksi indeks saham acuan di Indonesia tersebut sudah bertambah dalam yakni sebesar 0,28% ke level 6.111,46.
Data perdagangan mencatat, saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam menekan kinerja IHSG di antaranya PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-1,72%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-2,48%), PT Bank Permata Tbk/BNLI (-8,77%), PT United Tractors Tbk/UNTR (-3,13%), dan PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (-3,14%).
Bursa saham Benua Kuning berhasil membalikkan keadaan pasca dibuka melemah pada pagi hari tadi. Pada pembukaan perdagangan, indeks Shanghai melemah 0,06%, indeks Straits Times jatuh 0,22%, dan indeks Kospi terkoreksi 0,01%. Sementara itu, indeks Hang Seng dibuka menguat 0,44% dan indeks Nikkei dibuka flat.
Bursa saham Benua Kuning menguat seiring dengan perkembangan yang positif terkait negosiasi dagang AS-China.
Menurut kantor berita Xinhua, Wakil Perdana Menteri China Liu He menggelar perbincangan via sambungan telepon dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer pada akhir pekan kemarin terkait dengan kesepakatan dagang tahap satu, seperti dilansir dari CNBC International.
Xinhua melaporkan bahwa kedua belah pihak mengadakan diskusi yang konstruktif terkait dengan kekhawatiran di bidang perdagangan yang dimiliki masing-masing pihak.
![]() |
Kedua pihak disebut setuju untuk tetap berdialog secara intens. Xinhua juga melaporkan bahwa pembicaraan via sambungan telepon antar negosiator dagang tingkat tinggi dari AS dan China tersebut merupakan permintaan dari pihak AS.
Perkembangan ini lantas memberikan kelegaan bagi para pelaku pasar. Sebelumnya, pemberitaan terkait negosiasi dagang kedua negara terbilang negatif sehingga membuat pelaku pasar khawatir bahwa kesepakatan dagang tahap satu belum akan bisa diteken dalam waktu dekat.
CNBC International melaporkan pada pekan lalu bahwa AS sedang berusaha mendapatkan konsesi yang lebih besar dari China terkait dengan perlindungan kekayaan intelektual dan penghentian praktik transfer teknologi secara paksa.
Di sisi lain, Beijing dikabarkan enggan untuk memasukkan komitmen untuk membeli produk agrikultur asal AS dalam jumlah tertentu dalam teks kesepakatan dagang tahap satu.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa China setuju untuk membeli produk agrikultur asal AS senilai US$ 50 miliar setiap tahunnya sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu.
Kemudian, Beijing kembali menegaskan bahwa AS harus menghapuskan bea masuk tambahan yang sudah dibebankan terhadap produk impor asal China jika ingin kesepakatan dagang tahap satu tercapai, sebuah hal yang masih enggan disetujui oleh pihak AS.
Sejauh ini, bea masuk tambahan yang dikenakan oleh masing-masing negara terbukti sudah menghantam perekonomiannya masing-masing. Belum lama ini, pembacaan awal untuk angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal III-2019 diumumkan di level 1,9% (QoQ annualized), jauh melambat dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (kuartal III-2018) yang mencapai 3,4%.
Beralih ke China, belum lama ini Beijing mengumumkan bahwa perekonomiannya hanya tumbuh di level 6% secara tahunan pada kuartal III-2019, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 6,1%, seperti dilansir dari Trading Economics. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2019 juga lebih rendah dibandingkan capaian pada kuartal II-2019 yang sebesar 6,2%.
Jika kesepakatan dagang tahap satu bisa diteken, roda perekonomian AS dan China, berikut dengan roda perekonomian dunia, bisa dipacu untuk berputar lebih kencang.
Dari dalam negeri, sejatinya ada juga sentimen positif yakni rilis data perdagangan internasional periode Oktober 2019 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data ini diumumkan pada hari Jumat (15/11/2019).
Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat bahwa ekspor melemah sebesar 6,13% secara tahunan, lebih baik ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor mengalami kontraksi sebesar 9,03%. Sementara itu, impor diumumkan ambruk hingga 16,39% secara tahunan, lebih dalam dibandingkan konsensus yang memperkirakan kontraksi sebesar 16,02%.
Neraca dagang Indonesia pada bulan lalu membukukan surplus senilai US$ 160 juta, lebih baik ketimbang konsensus yang memperkirakan adanya defisit senilai US$ 300 juta.
Dengan neraca dagang yang bisa membukukan surplus di bulan Oktober, ada harapan bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) akan kembali membaik di kuartal IV-2019.
Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 Bank Indonesia (BI) mencatat CAD berada di level 2,51% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 1,94% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 2,93% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 2,96% dari PDB.
Pada kuartal III-2019, CAD membaik menjadi 2,66% dari PDB, dari yang sebelumnya 3,22% pada kuartal III-2018.
Untuk diketahui, ekspor barang merupakan salah satu komponen pembentuk transaksi berjalan, sehingga surplus di pos ini tentu akan memberikan asupan energi dalam meredam CAD.
Sebagai informasi, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Dengan melihat kinerja bursa saham regional yang justru bisa membalikkan keadaan dengan merangsek ke zona hijau, beserta dengan kehadiran sentimen positif dari dalam dan luar negeri, masih ada harapan bahwa bahwa IHSG akan mampu membalikkan keadaan dan menutup perdagangan sesi dua di zona hijau.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Besok AS-China Deal! IHSG Nyaman di Zona Hijau
