Internasional

Damai Perang Dagang AS-China Suram, Ini Sebabnya

Sefti Oktarianisa, CNBC Indonesia
15 November 2019 06:12
Damai Perang Dagang AS-China Suram, Ini Sebabnya
Foto: Cover Topik/Perang Dagang/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Pembicaraan damai dagang yang berlangsung antara Amerika Serikat (AS) dan China dikabarkan mengalami kebuntuan. Sejumlah pasal membuat AS dan China tidak menemukan titik temu.

Kebuntuan ini pun mempengaruhi pasar keuangan global. Wall Street misalnya, bergerak gamang seiring dengan tak tentunya arah perjanjian damai fase pertama antara dua raksasa ekonomi itu.


Setidaknya ada beberapa hal yang membuat pembicaraan damai antara Washington dan Beijing suram. Antara lain:


[Gambas:Video CNBC]



China tetap meminta AS untuk membatalkan sejumlah tarif yang diberlakukan negara itu. China, pada konferensi pers Kamis mengatakan, untuk mencapai fase pertama perjanjian perdagangan, kebijakan ini wajib diambil Trump.

"Perang dagang dimulai dengan penambahan tarif dan harus diakhiri dengan pembatalan tarif-tarif ini." kata Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng dikutip dari CNBC International, Kamis (14/11/2019).

"Jika kedua belah pihak mencapai kata sepakat pada perjanjian fase satu, tingkat pengembalian tarif sepenuhnya akan mencerminkan kesepakatan fase pertama ini."

Pernyataan Gao ini menjawab Trump soal belum adanya keinginan AS untuk membatalkan tarif yang ditetapkan di Desember 2019 pada US$ 160 miliar barang China. Aturan ini akan dikenakan pada barang-barang seperti ponsel, komputer laptop, dan mainan.

Dalam pembicaraan Oktober itu, AS-China hanya setuju menghapus kenaikan tarif yang berlaku Oktober lalu. Dalam setiap wawancara dengan media, China terus menegaskan keinginan agar tarif Desember juga segera dicabut.

Sementara itu, pada Selasa (12/11/2019), Trump memperingatkan China soal menaikkan kembali tarif lebih lanjut, jika kesepakatan parsial dengan Beijing gagal dilakukan.


Pemberitaan The Wall Street Journal juga mengabarkan kebuntuan pembicaraan. Hal ini diutarakan sumber anonim yang mengikuti jalannya perjanjian, terutama terkait kesepakatan soal teknologi dan pertanian.

Beijing dikabarkan menolak upaya Washington untuk mengekang perkembangan teknologi negeri tirai bambu. Sebelumnya, AS menyerang perusahaan teknologi China dengan narasi, upaya spionase ke AS.

China juga dikabarkan gamang membeli produk pertanian AS. Oktober lalu, Presiden AS Donald Trump sesumbar China akan membeli barang pertanian AS hingga US$ 50 miliar.

Dalam konfirmasinya ke CNBC International, Penasehat Ekonomi AS Larry Kudlow mengatakan tidak akan ada penyesuaian tarif sampai kesepakatan terjadi. Namun ia membantah, kemunduran terjadi.

"Ada kemajuan dalam pembahasan, terutama terkait pencurian alamat internet protocol (IP), layanan keuangan, stabilitas mata uang, komoditas dan pertanian," jelasnya.


Hal lain yang menyebabkan kebuan perjanjian damai adalah serangan Trump secara terbuka ke China. Dalam pernyataan yang dibuatnya di Economic Club of New York Selasa (12/11/2019), Trump tak segan menyebut China kerap berlaku curang dalam perdagangan.

"Aku tidak akan mengatakan kata "curang". tapi tidak ada yang lebih curang dari China," katanya dilansir dari AFP.

Menurutnya selama ini tindakan curang China telah membuat AS rugi besar, terutama bagi petani dan pekerja manufaktur negara itu.

Sementara itu tangan kanan pemerintah China yang juga pemimpin redaksi media pemerintah Global Times, Hu Xijin mengatakan tidak ada yang baru dari pidato Trump.

"Terlalu banyak kritik dan komplen tentang China dari Presiden Trump," katanya dikutip dari The Straits Times.

"Hal yang sama juga diutarakan pejabat senior AS membuat semua orang bosan. Sepertinya administrasi AS sangat percaya kebohongan yang berulang kali diutarakan bisa jadi kebenaran."


Sementara itu, soal lokasi penandatangan fase pertama perdamaian juga menjadi masalah lain. Setelah pembatalan di Chile, karena keamanan negara itu, belum ada pengumuman kapan dan di mana perjanjian akan diteken.

Sejumlah isu soal lokasi sempat beredar, seperti di London dan Hawai. Namun sayangnya tidak ada konfirmasi lebih lanjut.

Data ekonomi menunjukkan ketidakpastian yang diciptakan kedua negara merusak pertumbuhan ekonomi global. Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan penerapan tarif bisa memangkas US$ 700 miliar dari ekonomi dunia tahun 2020.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular