
Awal Pekan, IHSG Kurang Tenaga & Berkubang di Zona Merah
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
11 November 2019 09:44

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka melemah pada perdagangan hari ini (11/11/2019) dengan mencatatkan koreksi 0,11% ke level 6.171,44 indeks poin.
Meskipun sempat mencoba melipir ke zona hijau, seiring berjalannya waktu, bursa saham utama Indonesia justru melemah semakin dalam, di mana pada pukul 09:32 WIB tercatat turun 0,32% menjadi 6.158,42 indeks poin.
Searah dengan pergerakan IHSG, bursa saham utama Benua Kuning juga kompak mencatatkan koreksi. Indeks Nikkei turun 0,13%, indeks Straits Times melemah 0,48%, indeks Kospi melemah 0,76%, indeks Shanghai turun 0,9%, dan indeks Hang Seng anjlok 1,77%.
Pergerakan bursa saham acuan kawasan Asia diliputi oleh kewaspadaan investor yang memantau perkembangan terbaru dari hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dan China.
Pada Rabu (6/11/19) pekan lalu, kabar penandatangan kesepakatan dagang AS-China akan ditunda hingga bulan Desember membuat sentimen pelaku pasar memburuk.
Kemudian sehari setelahnya China mengirim kabar bagus yang membuat sentimen pelaku pasar membaik. Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng mengabarkan bahwa kedua belah pihak telah setuju untuk secara bersama-sama menghapuskan bea masuk yang menyasar produk impor dari masing-masing negara senilai ratusan miliar tersebut.
"Di dua minggu ini, para negosiator telah melakukan pembicaraan serius, diskusi konstruktif dan setuju untuk menghilangkan tarif-tarif tambahan di tiap fase (kesepakatan) sebagai kelanjutan dari perjanjian yang tengah berjalan," ujar Gao sebagaimana ditulis Bloomberg mengutip televisi pemerintah, Kamis (7/11/2019).
"Jika China, AS, mencapai kesepakatan dagang fase pertama, kedua negara harus meninjau kembali semua tarif tambahan dengan proporsi yang sama secara keseluruhan berdasarkan isi perjanjian, yang mana menjadi situasi penting untuk tercapainya kesepakatan," tambahnya.
Pernyataan itu langsung dibantah Presiden AS Donald Trump akhir pekan lalu, Jumat (8/11/2019). Bahkan ia mengatakan klaim tersebut adalah kemunduran bagi perdamaian perang dagang.
"Mereka [China] ingin mengalami kemunduran [kesepakatan]. Saya belum menyetujui apa pun [soal tarif]," katanya kepada wartawan sebelum meninggalkan Gedung Putih dalam perjalanan ke Georgia, dilansir CNBC International.
"[Langkah] China ini sedikit kemunduran, bukan kemunduran total karena mereka tahu saya tidak akan melakukannya [pembatalan tarif]," tambah Trump.
Komentar Trump menjadi penegas atas bantahan yang sebelumnya dilayangkan oleh Penasehat Perdagangan Gedung Putih Peter Navarro. Navarro menegaskan bahwa pihak AS tak pernah menyepakati hal tersebut dengan China. Navarro pun menilai China tengah melakukan upaya propaganda.
"Tidak ada kesepakatan untuk saat ini yang menghapuskan semua tarif yang diberlakukan sebagai kondisi untuk kesepakatan dagang fase pertama," tegas Navarro dalam wawancara dengan Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters, Jumat (8/11/2019).
Simpang siur terkait kejelasan penghapusan tarif besar kemungkinan dapat menjadi faktor penghambat tercapainya kesepakatan dagang kedua negara. Oleh karena itu, sambil mengamati kelanjutan cerita Washington dan Beijing, investor memilih mundur dari pasar saham negara berkembang.
Meskipun sempat mencoba melipir ke zona hijau, seiring berjalannya waktu, bursa saham utama Indonesia justru melemah semakin dalam, di mana pada pukul 09:32 WIB tercatat turun 0,32% menjadi 6.158,42 indeks poin.
Searah dengan pergerakan IHSG, bursa saham utama Benua Kuning juga kompak mencatatkan koreksi. Indeks Nikkei turun 0,13%, indeks Straits Times melemah 0,48%, indeks Kospi melemah 0,76%, indeks Shanghai turun 0,9%, dan indeks Hang Seng anjlok 1,77%.
Pergerakan bursa saham acuan kawasan Asia diliputi oleh kewaspadaan investor yang memantau perkembangan terbaru dari hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dan China.
Kemudian sehari setelahnya China mengirim kabar bagus yang membuat sentimen pelaku pasar membaik. Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng mengabarkan bahwa kedua belah pihak telah setuju untuk secara bersama-sama menghapuskan bea masuk yang menyasar produk impor dari masing-masing negara senilai ratusan miliar tersebut.
"Di dua minggu ini, para negosiator telah melakukan pembicaraan serius, diskusi konstruktif dan setuju untuk menghilangkan tarif-tarif tambahan di tiap fase (kesepakatan) sebagai kelanjutan dari perjanjian yang tengah berjalan," ujar Gao sebagaimana ditulis Bloomberg mengutip televisi pemerintah, Kamis (7/11/2019).
"Jika China, AS, mencapai kesepakatan dagang fase pertama, kedua negara harus meninjau kembali semua tarif tambahan dengan proporsi yang sama secara keseluruhan berdasarkan isi perjanjian, yang mana menjadi situasi penting untuk tercapainya kesepakatan," tambahnya.
Pernyataan itu langsung dibantah Presiden AS Donald Trump akhir pekan lalu, Jumat (8/11/2019). Bahkan ia mengatakan klaim tersebut adalah kemunduran bagi perdamaian perang dagang.
"Mereka [China] ingin mengalami kemunduran [kesepakatan]. Saya belum menyetujui apa pun [soal tarif]," katanya kepada wartawan sebelum meninggalkan Gedung Putih dalam perjalanan ke Georgia, dilansir CNBC International.
"[Langkah] China ini sedikit kemunduran, bukan kemunduran total karena mereka tahu saya tidak akan melakukannya [pembatalan tarif]," tambah Trump.
Komentar Trump menjadi penegas atas bantahan yang sebelumnya dilayangkan oleh Penasehat Perdagangan Gedung Putih Peter Navarro. Navarro menegaskan bahwa pihak AS tak pernah menyepakati hal tersebut dengan China. Navarro pun menilai China tengah melakukan upaya propaganda.
"Tidak ada kesepakatan untuk saat ini yang menghapuskan semua tarif yang diberlakukan sebagai kondisi untuk kesepakatan dagang fase pertama," tegas Navarro dalam wawancara dengan Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters, Jumat (8/11/2019).
Simpang siur terkait kejelasan penghapusan tarif besar kemungkinan dapat menjadi faktor penghambat tercapainya kesepakatan dagang kedua negara. Oleh karena itu, sambil mengamati kelanjutan cerita Washington dan Beijing, investor memilih mundur dari pasar saham negara berkembang.
Pages
Most Popular