8 Anggota Baru Indeks MSCI Indonesia, Bagaimana Kinerjanya?

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
08 November 2019 18:03
8 Anggota Baru Indeks MSCI Indonesia, Bagaimana Kinerjanya?
Foto: Morgan Stanley (REUTERS)
Jakarta, CNBC Indonesia - MSCI Inc baru mengumumkan deretan penghuni baru indeks MSCI Indonesia, khususnya MSCI Global Indonesia Index dan MSCI Small Cap Indonesia Index.

Ada delapan nama emiten, atau enam nama baru dan dua nama lama bagi kedua indeks tersebut. Indeks buatan MSCI seringkali menjadi patokan bagi investor dan manajer investasi global dan domestik bagi portofolio mereka, terutama jika dijadikan acuan bagi reksa dana indeks atau reksa dana yang dapat ditransaksikan di bursa (exchange traded fund/ETF).

Di dalam negeri, beberapa ETF yang memanfaatkan indeks MSCI Indonesia adalah ETF Phillip MSCI Indonesia Equity Index (XPMI) dan BNI-AM Nusantara ETF MSCI Indonesia (XBNI).

Selain itu, reksa dana indeks yang memanfaatkan indeks serupa adalah Reksa Dana MSCI Syailendra Indonesia Value Index Fund.

Perubahan konstituen indeks tersebut kerap mempengaruhi pasar karena banyaknya investor terutama dari luar negeri yang ingin berinvestasi di Indonesia dan bertumpu pada pilihan yang ditentukan oleh MSCI.


Dua nama saham yang merupakan penghuni lama MSCI Indonesia adalah PT Ace Hardware Tbk (ACES) dan PT Surya Citra Media Tbk (SCMA), di mana ACES naik kelas menjadi anggota MSCI Global Indonesia Index sedangkan SCMA turun kelas dan masuk ke MSCI Small Cap Indonesia Index.

Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesia terhadap nama-nama saham tersebut.
 


PT Ace Hardware Tbk (ACES)
Perusahaan yang menjual perkakas dan terafiliasi dengan Ace Hardware Corp asal Amerika Serikat tersebut menjadi penghuni bursa sejak 2007. Sejarah perusahaan mencatat, perusahaan diawali dari sebuah toko perkakas di Glodok oleh Wong Jin, ayah dari Kuncoro Wibowo, membangun perusahaan dan saat ini sudah menjadi komisaris utama perseroan.

Sejak awal tahun, saham emiten ini sudah naik 15,1% dari Rp 1.490/saham hingga Rp 1.715/saham hari ini, Jumat (8/11/2019). Harga terakhir membentuk rasio harga saham per laba historis (trailing P/E ratio) 29,49 kali dan kapitalisasi perusahaan menjadi Rp 29,41 triliun.

Kinerja laba bersih perseroan sepanjang 9 bulan pertama tahun ini mencapai Rp 723,9 miliar, dengan margin laba bersih (NPM) 12,1%. Pendapatannya yang tercatat Rp 5,97 triliun naik 15,7% dari periode yang sama tahun lalu.

P/E ratio adalah rasio harga saham per laba yang mencerminkan mahal-murahnya saham perseroan dengan membandingkan harga pasar saham perusahaan dengan nilai fundamentalnya (laba per saham).

Trailing
P/E ratio adalah valuasi P/E ratio yang penghitungannya didasari kinerja laba bersih 12 bulan terakhir. Di sisi lain, NPM mencerminkan tingkat kemampuan perseroan menghasilkan laba dibandingkan dengan total pendapatannya.


PT XL Axiata Tbk (EXCL)
Perusahaan didirikan dengan nama PT Grahametropolitan Lestari pada 1989. Sebelum mengubah namanya menjadi XL Axiata, perseroan bernama PT Excelcomindo Pratama Tbk dan mencatatkan sahamnya di bursa pada 2005 di harga penawaran Rp 2.000/saham.

Perusahaan yang dimiliki oleh Axiata Group Bhd tersebut saat ini dipimpin oleh Dian Siswarini sebagai direktur utama dan Muhammad Chatib Basri sebagai komisaris utama. Harga saham perseroan sudah naik 74,28% sejak awal tahun ini menjadi Rp 3.450/saham. Harga saham perseroan tersebut membentuk kapitalisasi pasarnya Rp 36,87 triliun.

Laba bersih emiten dicatatkan Rp 260,5 miliar sepanjang 9 bulan pertama tahun ini, yang mencerminkan NPM 1,4%. Pendapatan perseroan dicatatkan Rp 18,72 triliun pada periode yang sama dan membukukan pertumbuhan 10,8% dari periode yang sama tahun lalu.


PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA)
Perusahaan distributor ponsel tersebut didirikan oleh Budiarto Halim pada 1992 silam bersama dengan kakak iparnya yang bernama Ardy Hardy Wijaya.

Saat itu, perusahaan baru berupa toko ponsel yang berlokasi di sebuah rumah toko (ruko) di Grogol, Jakarta Barat. Saat ini, Budiarto masih memimpin perusahaan sebagai direktur utama dan Ardy menjadi komisaris utamanya.

Perusahaan mencatatkan sahamnya di bursa saham pada 14 Desember 2011 senilai Rp 920 miliar. Harga saham perseroan justru turun 25,68% sejak awal tahun menjadi Rp 1.635/saham dari posisi akhir tahun lalu Rp 2.200/saham. Harga itu mencerminkan valuasi trailing P/E ratio 14,89 kali dan kapitalisasi pasar Rp 5,21 triliun.

Per akhir September, laba bersih emiten tersebut dibukukan Rp 164 miliar yang mencerminkan NPM 0,7%. Pendapatannya turun 6,8% menjadi Rp 23,61 triliun dari Rp 25,33 triliun pada tahun lalu. 

PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG)
Emiten dari segmen tambang batu bara tersebut dimiliki oleh perusahaan asal Korea Selatan yang bernama Banpu Public Company Ltd. Emiten yang didirikan sejak 1987 tersebut mencatatkan sahamnya di bursa pada 2007 di harga Rp 14.000/saham dengan dana raihan Rp 3,16 triliun.

Sejak awal tahun, saham perseroan masih terkoreksi 36,17% dari harga Rp Rp 20.250/saham per akhir tahun lalu yang membentuk kapitalisasi pasarnya (market cap) Rp 14,6 triliun dan valuasi trailing P/E ratio 4,41 kali. Saat ini, perusahaan dipimpin oleh Djisman Simandjuntak sebagai komisaris utama dan Kirana Limpaphayom sebagai direktur utama.

Laporan keuangan emiten per Juni menunjukkan laba bersihnya US$ 70,82 juta, mencerminkan NPM 7,7% dengan pendapatan US$ 892,7 juta yang naik 10,4% YoY. Aset perseroan pada saat yang sama menunjukkan angka US$ 1,32 miliar.



P
T Indosat Tbk (ISAT)
Didirikan sejak 1967, perusahaan dijual oleh American Cable and Radio Corp kepada pemerintah dan dijadikan BUMN pada 1980. Perusahaan mencatatkan sahamnya di bursa pada 1994 dan menjadi salah satu BUMN tertua di pasar modal.

Saham perseroan dicatatkan juga di pasar saham New York Stock Exchange Amerika Serikat pada 1994, tetapi tidak tercatat lagi mulai dari 2014. Saat ini, pemegang saham pengendali perseroan adalah Ooredoo QPSC (dulunya Qatar Telecom QSC) yang membeli saham perseroan dari Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (Singtel) pada 2009.

Pemerintah masih memiliki 14,29% saham operator ponsel tersebut, ditambah 1 lembar saham merah putih, atau biasa juga disebut saham emas. Perusahaan yang berkantor pusat di Gedung Pesona, Medan Merdeka Barat (Jakarta) tersebut dipimpin oleh Waleed Mohamed Ebrahim Al-Sayed sebagai komisaris utama dan Ahmad Abdulaziz Al-Neama sebagai direktur utama.

Per September, aset perseroan tercatat Rp 58,37 triliun dengan pendapatan Rp 15,08 triliun, yang naik 12,4% YoY. Rugi bersih emiten dicatatkan Rp 284,59 miliar, turun dari sebelumnya yang mencapai Rp 1,53 triliun rugi bersih.

Harga saham perusahaan sudah naik 108,31% sejak awal tahun menjadi Rp 3.500/saham dari Rp 1.685/saham hingga membentuk kapitalisasi pasarnya Rp 19,07 triliun.


PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO) 

Perusahaan yang awalnya mengelola department store itu didirikan sejak 1987 dan mencatatkan sahamnya di bursa sejak 2000 dengan menawarkan 100 juta saham di harga Rp 500 sehingga mendapatkan dana Rp 50 miliar.

Saat ini, perusahaan dipimpin oleh Franky Tjokrosaputro sebagai komisaris utama dan Teddy Tjokrosaputro sebagai direktur utama. Saham perseroan berada pada level Rp 50/saham hari ini, yang turun 64,29% sejak awal tahun dan membentuk kapitalisasi pasar Rp 2,25 triliun serta valuasi trailing P/E sebesar 56,25 kali.

Selain menjadi direktur utama, Teddy Tjokrosaputra
juga menjadi pemegang 5,91% saham perseroan bersama dengan NBS Client 5,47%, sisanya publik.

Emiten yang memiliki aset Rp 6,48 triliun per akhir September tersebut menghasilkan laba bersih Rp 76,89 miliar yang mencerminkan NPM 15,13% serta pendapatan Rp 507,98 miliar.


PT Selamat Sempurna Tbk (SMSM)
Perusahaan yang berkantor pusat di Pluit tersebut adalah produsen onderdil otomotif, khususnya filter mobil dan truk. Didirikan sejak 1976, perusahaan yang dimiliki oleh PT Adrindo Intiperkasa (Grup ADR) tersebut mencatatkan sahamnya di bursa pada 1996 dengan menawarkan 34,4 juta saham di harga Rp 500, sehingga dana publik yang digalang Rp 58,48 miliar.

Perseroan memiliki aset Rp 2,97 triliun per akhir September, dengan pendapatan Rp 2,78 triliun (turun 2,35% YoY) dan laba bersih Rp 450,07 miliar, yang naik 1,87% pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Harga saham yang dipimpin Surja Hartono (komisaris utama) dan Eddy Hartono (direktur utama) tersebut turun 0,36% menjadi Rp 1.395/saham dari Rp 1.400/saham pada akhir 2018 dan membentuk market cap Rp 8,03 triliun dengan valuasi trailing P/E sebesar 24,2 kali.



PT Surya Citra Media Tbk (SCMA)

Perusahaan media milik Keluarga Sariaatmadja dari Grup Emtek tersebut didirikan sejak 1999. Pada 2002, saham perusahaan dicatatkan di bursa dan sebelumnya ditawarkan sebanyak 375 juta saham di harga Rp 1.100/saham. Dengan harga tersebut, induk usaha stasiun SCTV dan Indosiar tersebut meraup dana Rp 412,5 miliar dari publik.

Harga saham perusahaan yang dipimpin Raden Soeyono (komisaris utama) dan Sutanto Hartono (direktur utama) itu turun 37,17% menjadi Rp 1.175/saham dari Rp 1.870/saham. Harga saham terakhir emtein membentuk market cap Rp 17,35 triliun dan valuasi trailing P/E 14,06 kali.

Pendapatan emiten pada periode 9 bulan pertama 2019 dicatatkan Rp 4,14 triliun, naik 4,04% YoY, dengan laba bersih Rp 1, triliun, turun 15,31% dari Rp 1,18 triliun. NPM perseroan yang terbentuk dari kinerja tersebut adalah 24,29%.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(irv/tas) Next Article Ini 10 Penghuni Baru MSCI Small Cap, 14 Emiten RI Didepak!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular