Hong Kong Resesi, jadi Bencanakah Bagi RI? Ini Faktanya

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
04 November 2019 15:20
Hong Kong Resesi, jadi Bencanakah Bagi RI? Ini Faktanya
Foto: Aksi Protes di New Town Plaza, Hong Kong pada 3 November 2019 (REUTERS/Thomas Peter)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sah! Hong Kong sebagai pusat keuangan dunia jatuh ke dalam jurang resesi tahun ini setelah gelombang demonstrasi menghantam wilayah ini sejak Juli lalu.

Hong Kong merupakan salah satu mitra dagang dan juga salah satu investor strategis RI, masuknya Hong Kong ke dalam resesi tentu memiliki dampak terhadap perekonomian dalam negeri.

Secara teknikal, Hong Kong telah jatuh ke dalam jurang resesi yang mengerikan. Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong merilis pembacaan awal angka pertumbuhan ekonomi kuartal III 2019 yang terkontraksi 3,2% secara kuartalan (QoQ). Sebelumya ekonomi Hong Kong telah terkontraksi 0,4%.

Gelombang demo telah menyebabkan aktivitas ekonomi Hong Kong lumpuh. Beberapa sektor ekonomi yang terimbas demontrasi besar-besaran antara lain penjualan ritel, hotel dan pariwisata hingga transportasi.

Mengutip data Trading Economics, volume penjualan ritel Hong Kong terus mengalami penurunan. Volume penjualan ritel pada September tercatat turun hingga 20,4% (YoY). Sedangkan pada bulan sebelumnya penjualan ritel turun 25,4% (YoY).

Di tahun ini, Hong Kong terus mencatatkan pertumbuhan volume penjualan ritel yang negatif delapan bulan berturut-turut sejak Februari lalu.



Ketika Hong Kong jatuh ke dalam jurang resesi, tentu dampaknya akan merembet ke negara-negara lain karena negara di berbagai belahan dunia ini dihubungkan oleh arus perdagangan dan investasi.

Apalagi yang terkena resesi adalah Hong Kong yang notabene sebagai pusat keuangan Asia di mana banyak investor memarkirkan uangnya di sana dan di alirkan lagi ke negara lain dalam bentuk investasi.


Apabila ditinjau lebih jauh, Hong Kong merupakan mitra dagang Indonesia dan juga investor strategis RI. Menurut penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia setidaknya ada tiga potensi dampak negatif yang ditimbulkan dari masuknya Hong Kong ke jurang resesi.

Pertama dilihat dari sisi perdagangan. Total ekspor barang Indonesia ke Hong Kong sepanjang tahun 2018 senilai US$ 2,56 miliar. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ekspor barang ke Hong Kong berkontribusi sebesar 1,4% dari total ekspor Indonesia di tahun 2018.

Tidak besar memang, tetapi tetap saja berdampak terhadap perekonomian dalam negeri. Mengutip data Hong Kong Trade Development Council (HKTDC), pada 2018 terdapat 5 barang ekspor Indonesia ke Hong Kong seperti briket batu bara, perabot rumah tangga dan elektronik, produk tekstil berupa baju, tembakau dan rokok hingga produk makanan konsumsi.
Sah! Hong Kong Resesi Nih, Indonesia Bagaimana?Sumber : HKTDC
Coba bayangkan dari kelima produk yang di ekspor Indonesia ke Hong Kong merupakan produk yang terkait dengan konsumsi masyarakat Hong Kong sehari-hari. 

Jika demo terus terjadi dan penjualan ritel terus turun maka tentu akan berdampak terhadap sektor industri dalam negeri terutama sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan produk tembakau.

Seperti kita ketahui bersama bahwa kedua sektor tersebut bisa dikatakan sedang loyo. Sektor TPT lesu karena adanya banjir produk tekstil impor, sementara sektor produk tembakau tengah dihadapkan pada potensi penurunan pendapatan dengan kenaikan cukai dan harga rokok yang mulai berlaku tahun depan.

Secara umum aktivitas perdagangan Indonesia dengan Hong Kong akan terganggu karena adanya resesi ini. Perlu diketahui bersama bahwa Indonesia mengimpor beberapa produk dari Hong Kong salah satunya adalah peralatan telekomunikasi yang nilainya mencapai US$ 699,3 juta pada 2018.



Kedua, resesi Hong Kong dapat berdampak pada arus investasi penanaman modal asing (PMA) ke Indonesia. Pasalnya Hong Kong merupakan investor strategis untuk Indonesia. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Hong Kong merupakan salah satu dari lima negara dengan angka realisasi investasi yang terbesar di Indonesia.

Tercatat, angka realisasi PMA Hong Kong ke Indonesia pada kuartal III-2019 turun sebesar 19,32% secara tahunan (YoY) dan turun sebesar 40,5% secara kuartalan (QoQ).



Arus penanaman modal ke Indonesia berpotensi terganggu karena Hong Kong merupakan pusat keuangan di Asia. Sebagai Asian Finansial Hub, jumlah aset keuangan Hong Kong lebih besar dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) wilayah tersebut.

Melansir situs website Bruegel, jumlah aset perbankan Hong Kong mencapai sembilan kali PDBnya, sementara nilai kapitalisasi pasar saham Hong Kong mencapai 13x PDB-nya. Artinya kepercayaan investor memarkirkan uang di Hong Kong tinggi. 

Namun dengan adanya demo yang terus berlangsung dapat memicu terjadinya capital outflows. Selain itu Hong Kong juga berperan sebagai fasilitator investasi China ke Indonesia. 


Perlu diketahui bersama bahwa lebih dari 60% PMA China disalurkan melalui Hong Kong karena memiliki sistem arus bebas modal, pelabuhan bebas pajak, sistem hukum dan teknologi investasi yang efektif, serta lembaga keuangan kelas dunia. 

Karena itulah China dapat berinvestasi di Indonesia melalui proyek-proyek strategis infrastruktur di Indonesia. Hong Kong tidak hanya memfasilitasi aliran masuk PMA ke Indonesia dari Tiongkok melalui sistem keuangan yang terbuka, lebih dari itu Hong Kong dapat mendukung pembangunan infrastruktur Indonesia di sepanjang mata rantai melalui pembiayaan proyek, manajemen proyek, desain arsitektur, manajemen risiko hingga logistik.

Jadi bisa dibayangkan kalau Hong Kong terkena krisis alias resesi dan terancam terkena capital outflow yang besar-besaran mereka akan cenderung menahan aliran dana untuk tidak keluar dari wilayahnya. 

Tidak hanya arus perdagangan dan investasi saja yang terdampak, resesi ekonomi Hong Kong juga dapat berdampak pada sektor tenaga kerja RI. Indonesia mengekspor tenaga kerja ke berbagai negara di dunia, salah satunya Hong Kong. 

Menurut situs resmi perusahaan outsource tenaga kerja pembantu rumah tangga Hong Kong, per Februari 2019 terdapat setidaknya 167.000 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. 

Resesi Hong Kong tentu berpotensi mengancam permintaan tenaga kerja dari Indonesia dan dapat memicu penurunan remitansi Indonesia. Hingga kuartal III 2018, remitansi Indonesia dari Hong Kong mencapai US$ 273 juta atau setara dengan 10,1% dari total remitansi Indonesia pada periode tersebut. Kalau remitansi turun, tentu akan berdampak pada neraca pembayaran RI.

Jadi kesimpulannya resesi yang terjadi di Hong Kong tentu akan membawa dampak bagi Indonesia. Namun seberapa besar dampaknya tentu harus kembali melihat apakah demonstrasi akan terus berlanjut dan menyebabkan ekonomi Hong Kong akan semakin terpuruk atau tidak. Jika memang demikian yang terjadi tak menutup kemungkinan dampak ke Indonesia juga akan tereksalasi.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular