
Bos BCA Buka Alasan Investor ke Vietnam & Thailand, Bukan RI
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
29 October 2019 09:57

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebagian perusahaan China memilih negara di Asia Tenggara untuk merelokasi industri di tengah berkecamuknya perang dagang yang dimulai sejak awal 2018. Sari sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara menjadi tempat relokasi baru perusahaan-perusahaan China tersebut, tak satupun yang melirik Indonesia.
Hal ini diakui Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), Jahja Setiaatmadja. Ia mendapat masukan saat menemui belasan korporasi besar Indonesia, ternyata banyak investor dari China justru memilih Malaysia atau Thailand untuk berinvestasi.
"Dari 94 industri (perusahaan) dari China yang mereka cari tempat lain, itu yang mendapat bukan Indonesia, tapi Malaysia, Thailand, Vietnam, Jepang, India. Itu kelihatannya belum dirasakan karpet merah di negara kita," kata Jahja di Jakarta, Senin (28/10/2019).
Jahja mengakui, salah satu yang disoroti sejak lama adalah masalah perizinan yang kadang tak sejalan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Kondisi ini, terkadang menyebabkan investor yang tadinya mau berinvestasi menjadi terhambat.
Wajar saja, bila World Economic Forum (WEF) belum lama ini melaporkan, peringkat daya saing Indonesia melorot lima peringkat ke posisi 50 dari 141 negara. Padahal, di tahun lalu, peringkat Indonesia ada di posisi 45.
Dari 12 indikator yang diukur, Indonesia hanya mendapat nilai sebesar 64,6 atau 0,3 dibanding 2018. Sementara Singapura memperoleh nilai 84,8, Malaysia 74,6 dan Thailand 68,1. Indikator itu menilai dari sisi: institusi, infrastruktur, informasi dan teknologi, stabilitas makroekonomi, kesehatan, dan keahlian. Ada juga produk, tenaga kerja, sistem keuangan, kapasitas pasar, dinamisasi bisnis dan kapasitas inovasi.
Jahja berpesan, kendala perizinan ini cepat diselesaikan di kabinet pemeirntahan kedua Jokowi.
"Di daerah level yang memimpin daerah belum sinkkron, ini perlu penanganan lebih sinkron. Dalam pelaksanaan ijin daerah bisa cepat dikeluarkan," ucap dia.
Di sisi lain, kalangan pelaku usaha juga mengusulkan, agar Indonesia lebih kompetitif, adanya kejelasan regulasi soal Undang-undang Tenaga Kerja. "Mereka ingin UU tenaga kerja bisa disesuaikan, cukup balanace untuk kedua pihak," tegas dia.
(hps/hps) Next Article Lo Kheng Hong: Investor Saham Bukan Pejudi tapi 'Pahlawan'
Hal ini diakui Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), Jahja Setiaatmadja. Ia mendapat masukan saat menemui belasan korporasi besar Indonesia, ternyata banyak investor dari China justru memilih Malaysia atau Thailand untuk berinvestasi.
"Dari 94 industri (perusahaan) dari China yang mereka cari tempat lain, itu yang mendapat bukan Indonesia, tapi Malaysia, Thailand, Vietnam, Jepang, India. Itu kelihatannya belum dirasakan karpet merah di negara kita," kata Jahja di Jakarta, Senin (28/10/2019).
Jahja mengakui, salah satu yang disoroti sejak lama adalah masalah perizinan yang kadang tak sejalan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Kondisi ini, terkadang menyebabkan investor yang tadinya mau berinvestasi menjadi terhambat.
Wajar saja, bila World Economic Forum (WEF) belum lama ini melaporkan, peringkat daya saing Indonesia melorot lima peringkat ke posisi 50 dari 141 negara. Padahal, di tahun lalu, peringkat Indonesia ada di posisi 45.
Dari 12 indikator yang diukur, Indonesia hanya mendapat nilai sebesar 64,6 atau 0,3 dibanding 2018. Sementara Singapura memperoleh nilai 84,8, Malaysia 74,6 dan Thailand 68,1. Indikator itu menilai dari sisi: institusi, infrastruktur, informasi dan teknologi, stabilitas makroekonomi, kesehatan, dan keahlian. Ada juga produk, tenaga kerja, sistem keuangan, kapasitas pasar, dinamisasi bisnis dan kapasitas inovasi.
Jahja berpesan, kendala perizinan ini cepat diselesaikan di kabinet pemeirntahan kedua Jokowi.
"Di daerah level yang memimpin daerah belum sinkkron, ini perlu penanganan lebih sinkron. Dalam pelaksanaan ijin daerah bisa cepat dikeluarkan," ucap dia.
Di sisi lain, kalangan pelaku usaha juga mengusulkan, agar Indonesia lebih kompetitif, adanya kejelasan regulasi soal Undang-undang Tenaga Kerja. "Mereka ingin UU tenaga kerja bisa disesuaikan, cukup balanace untuk kedua pihak," tegas dia.
(hps/hps) Next Article Lo Kheng Hong: Investor Saham Bukan Pejudi tapi 'Pahlawan'
Most Popular