Newsletter

Sentimen Masih Campur Aduk, Ke Mana Arah IHSG Hari Ini?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
16 October 2019 06:50
Sentimen Masih Campur Aduk, Ke Mana Arah IHSG Hari Ini?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia masih belum kompak bergerak pada perdagangan kemarin (15/10/2019). Hal yang serupa juga dialami pasar keuangan Benua Kuning lainnya.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan resmi mencatatkan hat trick setelah reli dalam tiga periode perdagangan berturut-turut. Indeks bursa RI kembali mendarat di zona hijau dengan penguatan sebesar 0.51%. IHSG melesat pada sesi kedua perdagangan setelah istirahat makan siang.


Penguatan IHSG masih ditopang oleh saham-saham dari sektor industri dasar dan kimia serta sektor manufaktur yang masing-masing mencatatkan kenaikan sebesar 2,81% dan 1,07%. Pada perdagangan kemarin, asing mencatatkan jual bersih sebesar Rp. 643 miliar.

Secara teknikal IHSG memang terbilang sedang berada di fase technical rebound yang diawali pada Jumat pekan kemarin. Di tengah minimnya katalis seperti sekarang ini IHSG masih berpotensi menguat hari ini di rentang 6.175-6.200.

Hal tersebut dikonfirmasi dari beberapa indikator teknikal seperti terbentuknya pola doji star yang diiringi dengan pola lilin pendek (short white candle). Selain itu, IHSG juga masih belum menyentuh level jenuh beli/overbought berdasarkan indikator RSI maupun Stokastik.

Indeks bursa saham kawasan Asia lainnya ditutup variatif pada perdagangan kemarin. Dari 11 indeks bursa kawasan Asia, sebanyak enam indeks bursa mengalami apresiasi (termasuk Indonesia), sementara sisanya mengalami koreksi.

Indeks Nikkei dari Negeri Matahari Terbit menjadi jawara pada perdagangan kemarin disusul oleh S&P Sensex dari Negeri Bolliwood di posisi runner up dan Indonesia di posisi ketiga.



Mayoritas mata uang negara Benua Kuning harus kembali tunduk pada keperkasaan dolar Amerika Serikat (AS). Dolar Hong Kong menjadi satu-satunya mata uang yang menguat tipis dibanding dengan 11 mata uang negara Asia lainnya.



Berbanding terbalik dengan pasar ekuitas Indonesia, obligasi pemerintah seri acuan FR0078 yang bertenor 10 tahun pada perdagangan kemarin justru mengalami kenaikan imbal hasil (yield). Kenaikan imbal hasil mengindikasikan turunnya harga obligasi. Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun juga dialami Korea Selatan, Malaysia dan Thailand.




BERLANJUT KE HALAMAN 2 >>
Beralih ke Negeri Paman Sam, ketiga indeks utama AS, Dow Jones Industrial Average, S&P 500 serta Nasdaq Composite Index kompak finish di zona hijau setelah kemarin mencatatkan koreksi.

Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 237,64 poin atau 0,89%, menjadi 27.025, S&P 500 naik 29,49 poin atau 0,99%, menjadi 2.995,64 dan Nasdaq Composite mencatatkan penambahan sebesar 100,06 poin atau 1,24% menjadi 8.148,71.

Rilis laporan pendapatan emiten di kuartal ke tiga jadi pemicu ketiga indeks utama dapat finish di zona hijau.

Dimulai dari emiten perbankan, harga saham JP Morgan Chase & Co naik 3,01% setelah Bank tersebut melaporkan pendapatan yang lebih tinggi dari prediksi. Peningkatan pendapatan bank disokong oleh divisi perbankan konsumen yang mencatatkan performa yang ciamik.

Bank lain yang juga melaporkan naiknya pendapatan adalah Citigroup Inc. Harga saham emiten tersebut sontak naik 1,4%.

Sementara itu, emiten perbankan lain yaitu Goldman Sachs justru mengalami hal yang sebaliknya. Laba Goldman Sachs harus tergerus 26% dibandingkan dengan tahun lalu akibat pasar untuk merger dan akuisisi (M&A) serta penjaminan emisi yang kurang kondusif. Namun saham Goldman Sachs juga ikut terangkat 0,31%

UnitedHealth Group Inc sebagai perusahaan penyedia layanan kesehatan juga membukukan pendapatan yang impresif yang menyebabkan harganya naik 8,16%.

“Pertama, soal kekhawatiran AS-China sudah mulai reda, sekarang giliran Brexit yang jadi sorotan” kata Chief Economist MUFG Chris Rupkey seperti yang diwartakan Reuters.

“Satu per satu risiko global utama yang menghambat pertumbuhan ekonomi AS jatuh berguguran dan seolah memberi investor lampu hijau bagi para investor untuk kembali memborong saham” tambah Chris.



BERLANJUT KE HALAMAN 3 >> Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati 4 sentimen baik dalam negeri maupun global yang mampu menggerakkan pasar keuangan.

Pertama tentu dari bursa Wall Street yang ditutup kompak di zona hijau. Kabar yang melegakan ini tentu diharapkan dapat menjadi katalis bagi bursa kawasan Asia terutama bursa Indonesia.

Kedua, tentu terkait kelanjutan konflik dagang AS-China yang sampai saat ini belum mencapai kesepakatan berarti.

AS berjanji untuk menunda tarif untuk berbagai produk China yang akan berlaku 15 Oktober ini. Trump juga mengatakan bahwa China telah setuju untuk membeli barang pertanian senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar dari AS dalam fase pertama perjanjian untuk mengakhiri perang dagang.

Namun membeli produk pertanian AS sebegitu banyaknya tentu hal yang tidak mudah. Mengutip Bloomberg, China akan melakukan pembelian hanya jika Presiden AS Donald Trump menarik kembali pungutan yang diberlakukan sejak perang dagang dimulai.

Perang dagang AS-China tidak hanya membuat perekonomian kedua negara terguncang. Ekonomi dunia pun kena imbasnya.

Negeri Paman Sam mengalami perlambatan pertumbuhan yang signifikan di sektor manufaktur dan jasa. Ekonomi AS tumbuh melambat dicirikan dengan indeks PMI manufaktur yang berada di angka 47,8 terparah sejak 10 tahun terakhir serta indeks PMI jasa AS yang juga melambat dan mencatatkan rekor terendahnya sejak 2016.



Ekonomi China pun tumbuh melambat. Angka pertumbuhan ekonomi China pada kuartal kedua tercatat sebesar 6,2% atau paling rendah dalam 27 tahun terakhir. Selain itu, aktivitas ekspor dan impor China di bulan September juga mengalami kontraksi masing-masing 3,2% dan 8,5%.

Dampak adanya perang dagang ini tidak main-main, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia berada di angka 3%, lebih rendah dari periode Juli.

Selain itu IMF juga memprediksi GDP output global juga turun 0,8% pada 2020 dibarengi dengan penurunan GDP output China sebesar 2% dan Amerika 0,6%.

Tidak lupa, investor juga perlu memperhatikan hubungan AS-Eropa yang memanas akibat subsidi ilegal Uni Eropa terhadap Airbus yang membuat AS menderita kerugian US$ 7,5 miliar tiap tahunnya.




BERLANJUT KE HALAMAN 4 >>
Washington akan mulai menerapkan bea masuk 10% untuk pesawat Airbus dan 25% untuk produk-produk seperti anggur (wine), scotch, wiski serta keju dari benua biru. Bea masuk ini akan berlaku 18 Oktober. Walau tindakan AS sudah sesuai dengan WTO, bukan tidak mungkin bahwa tindakan tersebut memicu serangkaian tindakan balasan dari Uni Eropa.

Investor sangat perlu memantau perkembangan dari perang dagang ini karena sewaktu-waktu dapat kembali meletup dan membuat goyah pasar keuangan yang berakibat pada volatilitas harga aset seperti yang sudah sudah.

Ketiga, investor juga perlu kembali memantau poros Eropa terkait kasus perceraian Negara Ratu Elizabeth dengan Uni Eropa atau lebih sering dikenal dengan Brexit. Kabar adanya deal Brexit datang dari sikap optimistis negosiator Uni Eropa, Michel Barnier.


"Tim kami sedang bekerja keras, pekerjaan dimulai lagi hari ini, perundingan ini sangat intens di akhir pekan lalu, juga kemarin, karena kesepakatan semakin sulit, semakin dan semakin sulit, tetapi terus terang, masih mungkin tercapai di pekan ini" kata Barnier sebagaimana dilansir CNBC International.

Keempat, investor perlu mencermati sentimen yang berasal dari dalam negeri yaitu terkait dengan sentimen neraca dagang. Secara tak terduga neraca dagang RI malah mengalami defisit sebesar US$ 160 juta pada September 2019 jauh di bawah konsensus yang memperkirakan adanya surplus sebesar US$ 100 juta.

Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan nilai ekspor tercatat mencapai US$ 14,1 miliar.

"Terjadi penurunan lumayan tajam 5,74% secara year on year," kata Suhariyanto di Gedung BPS, Selasa (15/10/2019) Penurunan ekspor dikarenakan terjadi penurunan di non-migas dan migas.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor September 2019 terkontraksi alias negatif 6,1% year-on-year (YoY).

Sementara impor diperkirakan mengalami kontraksi 4,5% YoY dan neraca perdagangan surplus US$ 104,2 juta. Sementara nilai impor pada September 2019 mencapai US$ 14,26 miliar turun 2,41% secara year on year.

Secara keseluruhan sentimen masih campur aduk, kabar cukup melegakan datang dari bursa Wall Street, technical rebound IHSG serta adanya secercah harapan bahwa proses lepasnya Inggris dari Uni Eropa dapat berjalan mulus.

Namun sentimen negatif justru datang dari dalam negeri setelah Badan Pusat Statistik merilis data neraca dagang RI bulan September yang defisit. Optimisme IHSG berpeluang kembali menguat walau tipis masih ada sejauh ini.



BERLANJUT KE HALAMAN 5 >>
Berikut adalah agenda dan rilis data ekonomi yang terjadwal untuk hari ini :
• Penentuan suku bunga acuan Korea Selatan (08.00 WIB)
• Rilis data inflasi Inggris bulan September (15.30 WIB)
• Rilis data neraca dagang, Uni Eropa bulan Agustus (16.00 WIB)
• Rilis data penjualan mobil Indonesia bulan September (16.30 WIB)
• Rilis data penjualan ritel Amerika Serikat bulan September (19.30 WIB)

Berikut adalah agenda dan aksi korporasi dalam negeri yang terjadwal untuk hari ini :
• Rilis data pendapatan Q3 2019 Bank BNI Tbk.
• RUPSLB PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk. (09.30 WIB)
• RUPSLB PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. (11.00 WIB)
• RUPSLB PT Energi Mega Persada Tbk. (14.00 WIB)

Berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional :

Indikator

Tingkat

Tingkat pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY)

5,05%

Inflasi (September 2019 YoY)

3,39%

BI 7 Days Reverse Repo Rate (September 2019)

5,25%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi Berjalan (Q2-2019)

-3,04% PDB

Neraca Dagang (September 2019

-US$ 160 juta

Cadangan Devisa (September 2019)

US$ 124,3 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar silahkan klik di sini.



(TIM RISET CNBC INDONESIA)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular