Sentimen Campur Aduk, Rupiah Sukses Tekuk Dolar AS

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 October 2019 18:22
Sentimen Campur Aduk, Rupiah Sukses Tekuk Dolar AS
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (10/10/19). Penguatan pada hari ini menegaskan sentimen campur-aduk pelaku pasar sejak awal pekan. Mata uang Garuda menguat dalam dua hari begitu juga melemah dua hari secara bergantian.

Rupiah mengakhiri perdagangan di level Rp 14.145/US$, menguat 0,14% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Membuka perdagangan dengan stagnan, rupiah melemah 0,07% di menit-menit awal. Tidak lama rupiah langsung menguat 0,28% ke Rp 14.125/US$ yang akhirnya menjadi titik terkuat hari ini. Setelah itu, rupiah memangkas penguatan dan menghabiskan perdagangan dengan bergerak di rentang Rp 14.140-14.155/US$.



Kecuali bath Thailand, semua mata uang utama Asia hari ini menguat melawan dolar AS. Hingga pukul 16:30 WIB, won Korea Utara menjadi yang terbaik setelah mencatat penguatan 0,27%, disusul dengan dolar Singapura sebesar 0,17%. Rupiah sama dengan peso Filipina menempati posisi ketiga dengan penguatan 0,14%.

Berikut tabel pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hari ini.



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Rilis notula rapat kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada 19 September lalu yang dirilis dini hari tadi menunjukkan  sikap para anggota komite pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee/FOMC) terbelah saat memutuskan menurunkan suku bunga, maupun melihat proyeksi suku bunga di sisa tahun ini. 

Dari 17 anggota FOMC, tujuh di antaranya memperkirakan ada sekali lagi penurunan suku bunga acuan sampai akhir tahun. Kemudian lima lainnya melihat suku bunga yang saat ini masih bisa dipertahankan sampai akhir 2019, sementara sisanya malah memperkirakan bakal ada kenaikan.



Pasca rilis notula tersebut pelaku pasar melihat peluang The Fed memangkas suku bunga di akhir bulan ini sedikit meningkat. Data dari piranti FedWatch milik CME Group menunjukkan probabilitas sebesar 85% suku bunga akan dipangkas 25 bps menjadi 1,5-1,75% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB). 

Foto: CME Group


Probabilitas tersebut lebih tinggi dari Rabu kemarin di kisaran 80%. Persentase tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dua pekan lalu yang masih di bawah 50% akibat isu resesi yang menerpa AS. Sepanjang pekan lalu data ekonomi dari AS memang buruk, kecuali tingkat pengangguran yang turun ke level terendah 50 tahun. 

Isu resesi di AS kembali mencuat setelah Institute fo Supply Management melaporkan angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS periode September berada di 47,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,1.



Indeks ini menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Skor di bawah 50 artinya kontraksi yakni aktivitas sektor manufaktur semakin menyusut. Kontraksi yang dialami sektor manufaktur AS di bulan September tersebut merupakan yang terdalam sejak satu dekade terakhir, tepatnya sejak Juni 2009 ketika resesi AS 2007-2009 berakhir.

Berdasarkan survei US National Association for Business Economics (NABE) yang melibatkan 226 institusi, 42% responden memperkirakan AS mengalami resesi pada Februari 2020. Kala negara dengan nilai ekonomi terbesar dunia lesu, tentunya permintaan untuk impor dari negara lain akan menurun, sehingga menyeret pertumbuhan ekonomi global. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 3) 


AS dan China akan melakukan perundingan dagang, kali ini di Washington hari ini 10 Oktober waktu setempat, dan berlangsung selama dua hari hingga Jumat besok. Perundingan kali ini merupakan level tingkat tinggi, di mana delegasi China dipimpin Wakil Perdana Menteri Liu H, sementara AS dikomandoi Kepala Kantor Perwakilan Dagang Robert Lighthizer.

Beberapa hari terakhir, berbagai "gosip" berhembus di pasar finansial terkait yang menunjukkan hubungan AS-China panas dingin, dan pasar finansial menjadi bergerak naik turun layaknya roller coaster. 


Di awal pekan ini, hubungan AS-China terlihat memanas, CNBC International mengutip South China Morning Post mewartakan China menurunkan ekspektasi adanya kesepakatan dagang dengan AS. Harian tersebut mengatakan Wakil Perdana Menteri China Liu He yang akan memimpin delegasi China tidak mendapat instruksi khusus dari Presiden Xi Jinping.

Selain itu, AS menambah daftar perusahaan yang masuk daftar hitam (blacklist), termasuk di dalamnya perusahaan yang bergerak di bidang artificial intelligence (AI) China. Kementerian Luar Negeri China akhirnya berkomentar 'tetap pantau' untuk pembalasan tindakan AS tersebut.

Rabu kemarin, harapan damai dagang muncul setelah Bloomberg News melaporkan bahwa China siap membuat beberapa kesepakatan dagang dengan AS asal tidak ada lagi kenaikan bea impor.

Selain itu, Financial Times juga melaporkan bahwa untuk mencapai beberapa kesepakatan tersebut, pejabat China akan melakukan pembelian lebih banyak produk pertanian AS.


Sementara pagi tadi, CNBC International mengutip harian South China Morning Post yang mengatakan perundingan dagang AS-China di pekan ini tidak membuat kemajuan apapun. CNBC International kemudian mendapat jawaban dari pihak Gedung Putih yang menyebutkan laporan South China Morning Post tidak akurat.

Seandainya tidak ada kesepakatan dagang saat pertemuan 10-11 Oktober nanti, Presiden AS Donald Trump sebelumnya sudah mengatakan pada 15 Oktober bea impor produk dari China akan dinaikkan, dan perang dagang bisa kembali tereskalasi.

Hasil resmi perundingan dagang kedua negara baru akan diketahui pada Jumat waktu AS, ini berarti pasar Asia baru akan merespon hasil tersebut pada hari Senin.


TIM RISET CNBC INDONESIA 


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular