Euro Diramal Bakal Melemah, Saatnya Jual?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
09 October 2019 16:26
Euro Diramal Bakal Melemah, Saatnya Jual?
Foto: euro (REUTERS/Heinz-Peter Bader)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar euro menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini. Penguatan terjadi setelah mata uang Benua Biru terdepresiasi selama dua hari beruntun.

Pada Rabu (9/10/2019) puku; 16:02 WIB, euro diperdagangkan di US$ 1,0984. Menguat 0,27% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.



Euro berhasil memanfaatkan pelemahan dolar AS yang terjadi secara global. Pada pukul 16:22 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,18%.

Pelemahan dolar AS disebabkan oleh spekulasi penurunan suku bunga acuan oleh The Federal Reserve/The Fed. Hal tersebut bermula dari pernyataan Ketua The Fed Jerome Powell.

"Jelas (ekonomi) agak melambat. Bank sentral akan melakukan kebijakan yang memang pantas (appropriate)," kata Powell dalam pertemuan tahunan National Association of Business Economics (NABE) di Denver, seperti dikutip dari Reuters.

Berdasarkan piranti FedWatch milik CME Group, pelaku pasar kini melihat adanya probabilitas sebesar 86,1% The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB).


Jika dibandingkan dua pekan lalu, probabilitas pemangkasan suku bunga masih di bawah 50%, yang berarti ada kenaikan besar dalam sepekan, dampaknya dolar AS menjadi ringkih.

Meski demikian banyak yang memprediksi euro masih akan inferior di hadapan dolar AS yang ringkih. Analis dari Rabobank misalnya, menurunkan target harga euro dalam tiga bulan ke depan. Melansir poundsterlinglive.com, strategis Rabobank, Jane Foley kini memprediksi dalam tiga bulan ke depan kurs euro akan berada di level US$ 1,07, dibandingkan prediksi sebelumnya US$ 1,09.

"Penurunan euro vs dolar AS (EUR/USD) telah mencapai target kami di US$ 1,09. Sejauh ini kami tidak melihat faktor-faktor yang menguatkan dolar akan menghilang dalam dalam waktu dekat. Ada banyak alasan yang membuat kita memprediksi pelemahan euro masih akan berlanjut, oleh karena itu dalam tiga bulan ke depan kami menurunkan target harga euro menjadi US$ 1,07 dari sebelumnya US$ 1,09" kata Foley sebagaimana dilansir poundsterlinglive.com.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 

Kondisi ekonomi zona euro memang sedang mendapat sorotan. Pertumbuhan ekonomi yang melambat dan inflasi yang rendah memaksa European Central Bank (ECB) untuk menggelontorkan stimulus moneter. 

Pada 12 September lalu, ECB memangkas suku bunga deposito (deposit facility) sebesar 10 basis poin (bps) menjadi -0,5%, sementara main refinancing facility tetap sebesar 0% dan suku bunga pinjaman (lending facility) juga tetap sebesar 0,25%. 

Bank sentral pimpinan Mario Draghi ini juga mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantitative easing yang sebelumnya sudah dihentikan pada akhir tahun lalu.

Program pembelian aset kali ini akan dimulai pada 1 November dengan nilai 20 miliar euro per bulan. Berdasarkan rilis ECB yang dilansir Reuters, QE kali ini tanpa batas waktu, artinya akan terus dilakukan selama dibutuhkan untuk memberikan stimulus bagi perekonomian zona euro.


Belum juga efek stimulus ECB terasa, Jerman dihantam isu resesi. Raksasa ekonomi Benua Biru ini sedang lesu. Sebagai negara yang mengandalkan ekspor sebagai roda penggerak ekonomi, sektor manufaktur Jerman justru sedang mengalami pelambatan serius, bahkan bisa dikatakan sedang buruk-buruknya. 

IHS Markit melaporkan indeks manufaktur Jerman bulan September berada di level 41,4, turun dari bulan sebelumnya 43,5. 



Indeks ini menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 artinya kontraksi yakni aktivitas yang semakin menyusut, sementara di atas 50 berarti ekspansi atau peningkatan aktivitas.

Sektor manufaktur Jerman sudah mengalami kontraksi dalam sembilan bulan beruntun. Kontraksi di bulan September bahkan menjadi yang terdalam hingga lebih dari satu dekade terakhir. 

Dari sisi pertumbuhan ekonomi,  Negeri Panser di kuartal II-2019 mengalami kontraksi sebesar 0,1% quarter-on-quarter (QoQ). Dengan aktivitas manufaktur yang terus memburuk, maka di kuartal III-2019 Jerman berpeluang besar kembali mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi lagi, sehingga masuk ke jurang resesi.

Resesi yang dialami Jerman tentunya akan berdampak buruk ke negara-negara lainnya di Benua Biru. Ketika sang raksasa sedang lesu, tentunya permintaan impor akan menjadi berkurang, ketika permintaan berkurang negara pengekspor ke Jerman akan turut mengalami pelambatan.

Terbukti aktivitas manufaktur Zona Euro secara keseluruhan (19 negara) juga melambat. Di bulan September Markit melaporkan angka indeks di level 45,6, turun dari sebelumnya 47,0. Sektor pengolahan ini sudah berkontraksi dalam delapan bulan berturut-turut.



Buruknya kondisi ekonomi blok 19 negara tersebut bahkan memunculkan prediksi akan terjadi "Lost Decade" alias seperti Jepang. 

CEO perusahaan investasi Blackstone, Stephen Schwarzman, menjadi orang yang memprediksi Eropa akan mengalami "Lost Decade" atau periode pertumbuhan ekonomi yang stagnan selama satu dekade seperti yang dialami Jepang.

Jepang mengalami "Lost Decade" pada tahun 1991-2000, bahkan juga pada periode 2001-2010 sehingga disebut "The Lost 20 Years". Dalam acara "Squawk Box Europe" CNBC International, Schwarzman mengatakan Eropa akan mengalami "Lost Decade" jika pemerintahnya tidak melakukan belanja fiskal.

Schwarzman mengatakan apa yang dilakukan European Central Bank (ECB) dengan menerapkan kebijakan suku bunga negatif menjadi "obat mujarab", tetapi kondisi ekonomi Eropa saat ini juga dikatakan sudah berada di titik perlunya stimulus fiskal, khususnya Jerman.

Melihat background tersebut, dibandingkan kondisi ekonomi AS, peluang berlanjutnya penurunan euro memang cukup besar. So, siap mengambil posisi jual? 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular