
Euro Diramal Bakal Melemah, Saatnya Jual?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
09 October 2019 16:26

Kondisi ekonomi zona euro memang sedang mendapat sorotan. Pertumbuhan ekonomi yang melambat dan inflasi yang rendah memaksa European Central Bank (ECB) untuk menggelontorkan stimulus moneter.
Pada 12 September lalu, ECB memangkas suku bunga deposito (deposit facility) sebesar 10 basis poin (bps) menjadi -0,5%, sementara main refinancing facility tetap sebesar 0% dan suku bunga pinjaman (lending facility) juga tetap sebesar 0,25%.
Bank sentral pimpinan Mario Draghi ini juga mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantitative easing yang sebelumnya sudah dihentikan pada akhir tahun lalu.
Program pembelian aset kali ini akan dimulai pada 1 November dengan nilai 20 miliar euro per bulan. Berdasarkan rilis ECB yang dilansir Reuters, QE kali ini tanpa batas waktu, artinya akan terus dilakukan selama dibutuhkan untuk memberikan stimulus bagi perekonomian zona euro.
Belum juga efek stimulus ECB terasa, Jerman dihantam isu resesi. Raksasa ekonomi Benua Biru ini sedang lesu. Sebagai negara yang mengandalkan ekspor sebagai roda penggerak ekonomi, sektor manufaktur Jerman justru sedang mengalami pelambatan serius, bahkan bisa dikatakan sedang buruk-buruknya.
IHS Markit melaporkan indeks manufaktur Jerman bulan September berada di level 41,4, turun dari bulan sebelumnya 43,5.
Indeks ini menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 artinya kontraksi yakni aktivitas yang semakin menyusut, sementara di atas 50 berarti ekspansi atau peningkatan aktivitas.
Sektor manufaktur Jerman sudah mengalami kontraksi dalam sembilan bulan beruntun. Kontraksi di bulan September bahkan menjadi yang terdalam hingga lebih dari satu dekade terakhir.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi, Negeri Panser di kuartal II-2019 mengalami kontraksi sebesar 0,1% quarter-on-quarter (QoQ). Dengan aktivitas manufaktur yang terus memburuk, maka di kuartal III-2019 Jerman berpeluang besar kembali mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi lagi, sehingga masuk ke jurang resesi.
Resesi yang dialami Jerman tentunya akan berdampak buruk ke negara-negara lainnya di Benua Biru. Ketika sang raksasa sedang lesu, tentunya permintaan impor akan menjadi berkurang, ketika permintaan berkurang negara pengekspor ke Jerman akan turut mengalami pelambatan.
Terbukti aktivitas manufaktur Zona Euro secara keseluruhan (19 negara) juga melambat. Di bulan September Markit melaporkan angka indeks di level 45,6, turun dari sebelumnya 47,0. Sektor pengolahan ini sudah berkontraksi dalam delapan bulan berturut-turut.
Buruknya kondisi ekonomi blok 19 negara tersebut bahkan memunculkan prediksi akan terjadi "Lost Decade" alias seperti Jepang.
CEO perusahaan investasi Blackstone, Stephen Schwarzman, menjadi orang yang memprediksi Eropa akan mengalami "Lost Decade" atau periode pertumbuhan ekonomi yang stagnan selama satu dekade seperti yang dialami Jepang.
Jepang mengalami "Lost Decade" pada tahun 1991-2000, bahkan juga pada periode 2001-2010 sehingga disebut "The Lost 20 Years". Dalam acara "Squawk Box Europe" CNBC International, Schwarzman mengatakan Eropa akan mengalami "Lost Decade" jika pemerintahnya tidak melakukan belanja fiskal.
Schwarzman mengatakan apa yang dilakukan European Central Bank (ECB) dengan menerapkan kebijakan suku bunga negatif menjadi "obat mujarab", tetapi kondisi ekonomi Eropa saat ini juga dikatakan sudah berada di titik perlunya stimulus fiskal, khususnya Jerman.
Melihat background tersebut, dibandingkan kondisi ekonomi AS, peluang berlanjutnya penurunan euro memang cukup besar. So, siap mengambil posisi jual?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
Pada 12 September lalu, ECB memangkas suku bunga deposito (deposit facility) sebesar 10 basis poin (bps) menjadi -0,5%, sementara main refinancing facility tetap sebesar 0% dan suku bunga pinjaman (lending facility) juga tetap sebesar 0,25%.
Bank sentral pimpinan Mario Draghi ini juga mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantitative easing yang sebelumnya sudah dihentikan pada akhir tahun lalu.
Belum juga efek stimulus ECB terasa, Jerman dihantam isu resesi. Raksasa ekonomi Benua Biru ini sedang lesu. Sebagai negara yang mengandalkan ekspor sebagai roda penggerak ekonomi, sektor manufaktur Jerman justru sedang mengalami pelambatan serius, bahkan bisa dikatakan sedang buruk-buruknya.
IHS Markit melaporkan indeks manufaktur Jerman bulan September berada di level 41,4, turun dari bulan sebelumnya 43,5.
Indeks ini menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 artinya kontraksi yakni aktivitas yang semakin menyusut, sementara di atas 50 berarti ekspansi atau peningkatan aktivitas.
Sektor manufaktur Jerman sudah mengalami kontraksi dalam sembilan bulan beruntun. Kontraksi di bulan September bahkan menjadi yang terdalam hingga lebih dari satu dekade terakhir.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi, Negeri Panser di kuartal II-2019 mengalami kontraksi sebesar 0,1% quarter-on-quarter (QoQ). Dengan aktivitas manufaktur yang terus memburuk, maka di kuartal III-2019 Jerman berpeluang besar kembali mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi lagi, sehingga masuk ke jurang resesi.
Resesi yang dialami Jerman tentunya akan berdampak buruk ke negara-negara lainnya di Benua Biru. Ketika sang raksasa sedang lesu, tentunya permintaan impor akan menjadi berkurang, ketika permintaan berkurang negara pengekspor ke Jerman akan turut mengalami pelambatan.
Terbukti aktivitas manufaktur Zona Euro secara keseluruhan (19 negara) juga melambat. Di bulan September Markit melaporkan angka indeks di level 45,6, turun dari sebelumnya 47,0. Sektor pengolahan ini sudah berkontraksi dalam delapan bulan berturut-turut.
Buruknya kondisi ekonomi blok 19 negara tersebut bahkan memunculkan prediksi akan terjadi "Lost Decade" alias seperti Jepang.
CEO perusahaan investasi Blackstone, Stephen Schwarzman, menjadi orang yang memprediksi Eropa akan mengalami "Lost Decade" atau periode pertumbuhan ekonomi yang stagnan selama satu dekade seperti yang dialami Jepang.
Jepang mengalami "Lost Decade" pada tahun 1991-2000, bahkan juga pada periode 2001-2010 sehingga disebut "The Lost 20 Years". Dalam acara "Squawk Box Europe" CNBC International, Schwarzman mengatakan Eropa akan mengalami "Lost Decade" jika pemerintahnya tidak melakukan belanja fiskal.
Schwarzman mengatakan apa yang dilakukan European Central Bank (ECB) dengan menerapkan kebijakan suku bunga negatif menjadi "obat mujarab", tetapi kondisi ekonomi Eropa saat ini juga dikatakan sudah berada di titik perlunya stimulus fiskal, khususnya Jerman.
Melihat background tersebut, dibandingkan kondisi ekonomi AS, peluang berlanjutnya penurunan euro memang cukup besar. So, siap mengambil posisi jual?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
Pages
Most Popular