Duit Hasil Tax Amnesty Sudah Boleh 'Kabur' Nih, Bahayakah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 October 2019 12:12
Duit Hasil Tax Amnesty Sudah Boleh 'Kabur' Nih, Bahayakah?
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sekira tiga tahun lalu, pemerintah memperkenalkan kebijakan terobosan di bidang perpajakan yaitu Pengampunan Pajak (Tax Amnesty/TA). Selain bertujuan mendongkrak penerimaan negara, kebijakan ini juga ingin memancing dana-dana warga negara Indonesia di luar negeri untuk 'pulang kampung'.

Melalui TA, pemerintah menghapuskan denda dan sanksi untuk Pajak Penghasilan (PPh) terutang sejak 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015. Tinggal membayar pokok plus uang tebusan, semua 'dosa' pajak terhapus.

Bambang Brodjonegoro, menteri keuangan kala itu, menyebutkan TA diharap mampu menarik aset warga negara Indonesia yang terparkir di luar negeri. Nilainya ditaksir mencapai sekitar Rp 11.000 triliun.


TA dibagi menjadi tiga periode. Pertama adalah pada Juli hingga akhir September 2016, periode kedua jatuh Oktober hingga 31 Desember 2016, dan ketiga pada Januari sampai 31 Maret 2017.

Selama sembilan bulan pelaksanaan TA, total aset yang dideklarasikan adalah Rp 4.881 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari deklarasi dalam negeri Rp 3.697,94 triliun, deklarasi luar negeri Rp 1.036,37 triliun, dan dana repatriasi Rp 146,69 triliun.

Repatriasi adalah dana yang kembali ke Indonesia dan diinvestasikan di dalam negeri. Pemerintah menetapkan dana itu tidak boleh di bawa lagi ke luar negeri minimal tiga tahun. Periode ini disebut dengan lock-up atau holding period.

Tiga tahun berlalu, cepat juga ya. Sekarang dana repatriasi hasil TA sudah bebas keluar-masuk, holding period sudah selesai.

Nah, muncul kekhawatiran karena ada kemungkinan bakal terjadi arus modal keluar (capital outlflows) karena dana repatriasi sudah boleh dibawa keluar. Ini tentu akan menimbulkan sentimen negatif di pasar keuangan domestik.

Apakah memang semenakutkan itu...?

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Kita lihat dulu komposisi TA berdasarkan periode. Memang TA langsung gaspol dan puncaknya terjadi pada periode pertama.

Total komposisi harga yang dilaporkan pada TA periode pertama adalah Rp 3.667,68 triliun. Terdiri dari deklarasi dalam negeri Rp 2.609,68 triliun, deklarasi luar negeri Rp 927,99 triliun, dan repatriasi Rp 130 triliun.

Kemudian pada periode kedua, pelaporan TA menurun drastis menjadi Rp 628,58 triliun. Terdiri dari deklarasi dalam negeri Rp 533,45 triliun, deklarasi luar negeri Rp 84,63 triliun, dan repatriasi Rp 10,5 triliun.



Dari dua periode awal, total dana repatriasi yang masuk adalah Rp 140,5 triliun. Jadi sampai Desember nanti, kira-kira inilah potensi dana yang bisa menjadi capital outflows karena berakhirnya holding period TA.

Kalau dana Rp 140,5 triliun itu benar-benar keluar semua, tidak ada satu perak pun yang tinggal di Indonesia, apakah mengkhawatirkan?


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)



Well, kita harus menempatkannya pada konteks yang tepat. Bukan meremehkan, tetapi jumlah obligasi negara yang beredar di pasar mencapai Rp 2.667,16 triliun per 4 Oktober lalu. Nilai Rp 140,5 triliun 'hanya' sekitar 5% dari itu.

Kemudian di pasar saham, nilai kapitalisasi di Bursa Efek Indonesia per 7 Oktober adalah Rp 6.897 triliun. Angka Rp 140,5 triliun 'cuma' 2,04% dari total kapitalisasi pasar.

Itu kalau mereka keluar semua. Namun kalau keluar, memangnya mau ke mana?

Apabila dana itu keluar untuk tujuan mencari cuan, maka sebaiknya tetap di Indonesia. Saat ini Indonesia masih memberikan imbalan investasi yang menarik.

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia seri acuan tenor 10 tahun saat ini berada di 7,25%. Amerika Serikat? 1,5854%. Jauh, bak bumi-langit.


Bahkan di antara negara-negara berkembang Asia, yield obligasi Indonesia tetap yang paling seksi. Instrumen serupa di Malaysia punya yield 3,419%, Filipina 4,6%, Thailand 1,495%, bahkan India 6,669%.

Sementara di pasar saham, valuasi Indonesia juga masih rendah sehingga ada potensi untuk terus menguat. Saat ini, Price to Earning Ratio (P/E) Indeks harga Saham Gabungan adalah 15,43 kali. P/E indeks Sensex India adalah 22,31 kali, KLCI Malaysia 17,59 kali, PSEI Filipina 17,32 kali, SE Weighted Index Taiwan 16,36 kali, dan SET Thailand 16,33 kali.

Jadi kalau memang tujuannya mencari keuntungan, ya lebih baik tidak usah meninggalkan Indonesia. Apalagi di tengah tren penurunan suku bunga global, berinvestasi di negara-negara maju semakin tidak menguntungkan.


Kesimpulannya, kita memang harus waspada dengan potensi arus modal keluar gara-gara berakhirnya holding period TA. Namun kalau dipikir-pikir, dampaknya mungkin tidak terlampau signifikan karena dana repatriasi juga relatif mini. Lagipula, apakah benar dana-dana itu mau keluar kalau Indonesia masih memberikan cuan?


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/hps) Next Article Dana Repatriasi Amnesty Bisa Cabut, Apa Kata Pelaku Pasar?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular