Simak! 4 Sentimen Penggerak Pasar Pekan Depan

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
06 October 2019 19:07
Simak! 4 Sentimen Penggerak Pasar Pekan Depan
Foto: Reuters

CNBC Indonesia, Jakarta -.Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pekan ini terhitung amblas 2,19% ke 6.061,25 seiring dengan koreksi yang menerpa bursa saham utama Asia. Pekan depan, perhatian pasar lebih banyak terfokus pada sentimen global.

Sentimen pertama dan terpenting yang bakal menggerakkan pasar bursa dunia, termasuk Indonesia, tentu saja adalah perkembangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Sebagaimana diketahui, delegasi kedua negara dijadwalkan bertemu di Washington pada Kamis dan Jumat (10-11 Oktober 2019) waktu setempat.

Yang memengaruhi sentimen pelaku pasar tentu bukan pada hasil pertemuan itu saja, melainkan juga riak-riak yang menyertai pada hari-hari jelang pertemuan: apakah ada retorika agresif yang bakal mewarnai, ataukah kedua belah pihak kian melunak dan apakah rilis  Caixin Services Purchasing Manager Index (PMI) di China per September masih aman di atas 50.

Seandainya kedua negara tersebut jinak dan data PMI China masih positif, maka secara psikologi pelaku pasar akan melakukan aksi beli sehingga mendongkrak bursa saham, termasuk di Indonesia. Namun jangan senang dulu. Jika sentimen damai dagang menyeruak, maka perhatian selanjutnya beralih ke moneter.

Ya, sentimen kedua yang perlu dicermati bakal muncul dari otoritas moneter AS (The Federal Reserve/The Fed) yang pada pekan depan akan banyak memberikan pidato, mulai dari Presiden Fed Kansas Esther George, Presiden Fed Minneapolis Neel Kashkari, Presiden Fed Chicago Charles Evans, Presiden Fed Cleveland Loretta Mester, hingga bos The Fed Jerome Powell.

Mereka dijadwalkan berpidato pada Senin hingga Rabu, dan gong-nya oleh Powell pada Rabu pukul 12 siang (atau Kamis 12 malam WIB), diikuti rilis risalah rapat (minutes meeting) pada Kamis, sebelum kemudian ada jadwal pidato pada Jumat oleh Mester dan Kashkari.

Pernyataan dari otoritas moneter ini sangat diperhatikan pasar seiring dengan kian menguatnya ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan (Federal Funds Rate) pada pertemuan akhir Oktober ini. Piranti FedWatch milik CME Group mencatat pertaruhan pemangkasan suku bunga AS sebesar 25 basis-poin kini berada di level 79%.

Jika ekspektasi itu terpenuhi, maka kekhawatiran seputar resesi pun agak terobati. Namun sebaliknya jika The Fed mempertahankan suku bunga acuannya, maka sentimen pasar pun kain mendung sehingga lebih rentan mengalami koreksi lanjutan.


NEXT

Sentimen ketiga bakal kembali muncul dari AS, terkait dengan menguat atau melemahnya sinyal resesi kali ini dari sisi fundamental perekonomian. Pemerintah AS akan merilis data kredit konsumen AS (per Agustus), yang diprediksikan hanya US$ 19,1 miliar, atau turun dari angka bulan sebelumnya senilai US$ 23,29 miliar.

Sebagai negara yang 60% PDB-nya disumbang dari konsumsi, jika benar terjadi pelemahan maka pelaku pasar bisa menggunakan situasi itu sebagai alasan untuk terlebih dahulu keluar dari pasar saham.

Namun ada potensi kabar positif dari sisi konsumsi ini, mengingat penjualan ritel Agustus yang sebelumnya tumbuh 2,4% diprediksi tumbuh lagi sebesar 3,6% pada September. Gongnya, angka inflasi AS per September diumumkan pada Kamis (19:30 WIB) atau 07:30 waktu setempat.

Cermati inflasi inti, karena kuat-lemahnya daya beli masyarakat akan terbaca dari rilis data ini. consensus Tradingeconomics memprediksi inflasi inti bakal tetap di angka 2,4% secara tahunan, sedangkan indeks harga konsumen diprediksi tumbuh sedikit menjadi 1,9% dari 1,7% (Agustus).

Namun sepertinya akan ada sentimen negatif dari sisi ketenagakerjaam. Rilis klaim awal pengangguran (per 5 Oktober) diprediksi naik menjadi 221.000 dari angka September 219.000. Di sisi lain, klaim pengangguran lanjutan (per September) diduga tumbuh menjadi 1,655 juta, dari posisi sebulan sebelumnya 1,651 juta.

Sentimen keempat muncul dari dalam negeri yakni rilis cadangan devisa oleh Bank Indonesia (BI), yang kebetulan berbarengan dengan rilis cadangan devisa Jepang, Afrika Selatan (Afsel), China, dan Rusia.

Tradingeconomics memperkirakan cadangan devisa RI per September akan berada di level US$ 126,7 miliar, atau menguat dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya seniai US$ 126,4 miliar. Penguatan terjadi seiring dengan stabilnya rupiah yang akhir bulan lalu berada di level 14.190 per dolar AS.

Pada hari yang sama, yakni Senin, BI juga akan mengumumkan pertumbuhan kredit Agustus (tahunan) yang diprediksi melambat menjadi 9,3% dari posisi sebelumnya 9,58%. Perlambatan terjadi karena tekanan yang mulai menimpa aktivitas perekonomian dunia yang turut menekan ekspansi perusahaan swasta nasional.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular