
Gawat! 5 Risiko Global Ini Bikin Pasar Nyut-nyutan

Protes Hong Kong
Keresahan publik di Hong Kong yang memicu gelombang demonstrasi besar-besaran ini telah berlangsung selama lebih dari 4 bulan. Aksi unjuk rasa ini dipicu adanya keinginan pemerintah menerapkan UU ekstradisi.
Aksi ini dilakukan dengan tujuan untuk menentang kekuasaan karena dengan UU tersebut bisa membuat pemerintah Hong Kong mengekstradisi buron ke daratan China. Tapi demonstrasi kini telah berubah menjadi tuntutan yang lebih luas dari warga, tak hanya soal ekstradisi tapi juga yang menginginkan reformasi properti.
Bank for International Settlements menghitung bahwa kota ini menangani US$ 437 miliar dalam transaksi valuta asing pada tahun 2016. Hong Kong juga menjadi pintu masuk dan keluar dari ekonomi Negeri Tiongkok dengan bank-bank yang berbasis di sana dalam menyalurkan modal dari investor internasional.
Kerusuhan sipil di negeri administratif China yang berkelanjutan ini dapat mempengaruhi ekonomi di seluruh dunia ketika perdagangan terganggu.
Jika China memutuskan untuk memperketat cengkeraman lebih jauh di sana, maka masa depan pengaturan "satu negara, dua sistem" yang berlaku di Hong Kong sejak 1997 itu dipertanyakan. Kondisi ini mungkin menyeret Amerika Serikat ke dalam pertarungan karena secara hukum telah berjanji untuk memperlakukan Hong Kong secara terpisah dari China daratan untuk hal-hal yang menyangkut perdagangan dan kebijakan ekonomi.
Kabar dari Argentina
Pada awal 2019, seorang investor pasar di negara berkembang yang terkenal yakni Mark Mobius, mengumumkan perusahaannya akan menjauh dari investasi di Argentina.
Mobius mengatakan dia akan mencari lagi (investasi) hanya jika Presiden Mauricio Macri bisa mendapatkan mandat yang kuat dalam pemilihan mendatang. Namun pada Pemilu Argentina, Agustus lalu, Alberto Fernandez memenangkan lebih dari 47% suara dalam pemilihan di hari minggu, sedangkan Mauricio Macri mendapatkan suara kurang dari 33%.
Hasil mengejutkan dalam Pemilu Argentina itu nilai tukar peso bergejolak. Mata uang Argentina anjlok 15,3% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pasar saham Argentina juga anjlok lebih dari 30% pada hari-hari setelah hasil kejutan itu.
Menurut data, itu adalah penurunan indeks pasar saham terbesar di negara mana pun sejak 1950. Argentina memiliki utang senilai US$ 80 miliar yang jatuh tempo pada 2019- 2020 dan sekitar 20 tahun gagal membayar utang pada investor, untuk ketiga kalinya.
"Kami pikir tantangan yang cukup besar masih ada di Argentina dan semacam perpanjangan utang tidak terhindarkan," kata Head of Global Emerging Market Debt dari Aberdeen Standard Investments, Brett Diment, dikutip CNBC International.
Digoyangnya 'diktator favorit' Trump
September lalu, berbagai berita media di seluruh dunia melaporkan demonstrasi melawan pemerintah Mesir di beberapa kota termasuk Alexandria dan ibu kota Kairo.
Demonstrasi di Mesir itu ilegal karena tanpa persetujuan pemerintah sejak 2013 ketika Presiden Abdel Fattah el-Sisi memimpin kudeta militer terhadap pemimpin Ikhwanul Muslimin, Mohamed Morsi. Morsi meninggal selama persidangannya pada Juni tahun ini.
Protes itu memiliki efek langsung pada pasar saham Mesir, EGX 30. Indeks di bursa Mesir itu amblas 11% dan menghapus semua keuntungan yang sempat terakumulasi sejak awal tahun karena investor tampaknya mulai mengambil keuntungan alias profit taking.
Analis Goldman Sachs Farouk Soussa mengatakan dalam catatan pada September bahwa dampak negatif pada aset berisiko di Mesir bisa lebih berkelanjutan jika ketidakstabilan politik di bawah pemimpin Abdel Fattah ini berlanjut.
Departemen Luar Negeri mengungkapkan investasi langsung AS di Mesir mencapai US$ 21,8 miliar dan, di atas permukaan hubungan kedua negara baru-baru ini mulai membaik.
Presiden AS Donald Trump bahkan menyebut Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi adalah diktator favoritnya, hal ini juga pernah dipublikasikan oleh The Wall Street Journal saat terjadi ketika pertemuan G7 di Biarritz, Perancis.
![]() |
