
Gawat! 5 Risiko Global Ini Bikin Pasar Nyut-nyutan

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah sentimen global membuat pasar kurang bergairah. Para bankir global juga mulai khawatir dengan rapuhnya sistem perbankan global sehingga mereka mulai berhenti meminjamkan satu sama lain sejak krisis subprime mortgage terjadi AS 10 tahun terakhir dan berimbas ke negara lain.
Dalam beberapa bulan, produksi dan perdagangan pabrik juga berkurang, dan memaksa pengangguran meningkat dengan cepat. Beberapa perusahaan ritel pun gulung tikar, baik di AS maupun negara lain, tidak terkecuali negara berkembang.
Sementara bank-bank sentral dan anggota parlemen juga terus berkoordinasi untuk menggerakkan roda keuangan, dan biaya guna memulihkan ekonomi global ini tentu saja mahal.
Ada potensi resesi global ada di depan mata dengan mulai terjadi perlambatan ekonomi yang nyata di AS, beberapa negara dengan ekonomi terbesar di Eropa dan Asia.
CNBC Internasional pun melihat beberapa sentimen negatif di seluruh dunia yang berpotensi menjadi pertimbangan sejumlah negara menerapkan kebijakan politik dan keuangan.
Berikut diantaranya:
Perlambatan ekonomi AS
"Ketika Amerika bersin, dunia terkena flu," begitu bunyi pepatah. Dan ketika dampak dari kebijakan pemangkasan pajak senilai total US$ 1,5 triliun dari Presiden AS Donald Trump mulai berakhir, ekonomi AS menunjukkan tanda-tanda tersendat.
Dari April hingga Juni tahun ini, investasi bisnis di Negeri Paman Sam turun 1% bila dibandingkan dengan kuartal yang sama di 2018. Selain itu, kepercayaan konsumen merosot paling dalam selama 9 bulan hingga September lalu.
Ekspektasi konsumen untuk prospek jangka pendek AS juga turun tajam di bulan yang sama. Salah satu tolok ukur aktivitas pabrik AS juga menunjukkan bahwa industri manufaktur turun ke level terendah dalam 128 bulan.
Angka itu tampaknya memicu amblasnya Dow Jones Industrial Average, indeks acuan bursa saham Wall Street AS, hingga 800 poin selama 2 hari terakhir. Keuntungan perusahaan juga tersandung. Saham-saham anggota Indeks S&P 500, indeks acuan lainnya, juga melaporkan secara keseluruhan terjadi penurunan pendapatan.
Bank sentral AS, The Fed, kini mengharapkan pertumbuhan tahun ini, sebagaimana tercermin dalam produk domestik bruto (PDB) AS di level 2,2%, jauh di bawah target 3% yang dipegang oleh pemerintahan Trump.
Pada kuartal I-2019, ekonomi AS tumbuh 3,1%, sedikit menurun dibandingkan perkiraan yang dibuat sebelumnya sebesar 3,2%.
Utang China Menggunung
Pemerintah China terus mendorong ekonominya dengan menambah utang dan jumlahnya menjadi sangat besar. Institute of International Finance (IIF) yang berbasis di Washington memperkirakan bahwa pada kuartal I-2019, jumlah total utang korporasi, rumah tangga, dan pemerintah di Tiongkok mencapai 303% dari PDB.
Laporan itu mengatakan upaya Beijing untuk mengendalikan utang perusahaan non-keuangan agaknya dikalahkan dengan tingginya utang di sektor lain yang membuat total utang China menjadi lebih dari US$ 40 triliun.
Berkali-kali Cina mengatakan bahwa pinjaman atau utang tersebut dapat dikelola, tetapi kebijakan itu memicu risiko bahwa ekonominya bisa tersendat.
Andy Rothman, ahli strategi investasi di Matthews Asia, mengatakan pada Maret, bahwa utang China sebetulnya dalam masalah yang serius. Rothman mengatakan bahwa untuk sementara masalah utama China adalah utang perusahaan, yang terus meningkat sejak krisis keuangan global 2008. Sebagian besar pinjaman diambil oleh perusahaan-perusahaan milik negara dari bank-bank yang dikelola pemerintah.
LANJUT HALAMAN 2: Protes Hong Kong dan Digoyangnya Diktator Favorit Trump
Protes Hong Kong
Keresahan publik di Hong Kong yang memicu gelombang demonstrasi besar-besaran ini telah berlangsung selama lebih dari 4 bulan. Aksi unjuk rasa ini dipicu adanya keinginan pemerintah menerapkan UU ekstradisi.
Aksi ini dilakukan dengan tujuan untuk menentang kekuasaan karena dengan UU tersebut bisa membuat pemerintah Hong Kong mengekstradisi buron ke daratan China. Tapi demonstrasi kini telah berubah menjadi tuntutan yang lebih luas dari warga, tak hanya soal ekstradisi tapi juga yang menginginkan reformasi properti.
Bank for International Settlements menghitung bahwa kota ini menangani US$ 437 miliar dalam transaksi valuta asing pada tahun 2016. Hong Kong juga menjadi pintu masuk dan keluar dari ekonomi Negeri Tiongkok dengan bank-bank yang berbasis di sana dalam menyalurkan modal dari investor internasional.
Kerusuhan sipil di negeri administratif China yang berkelanjutan ini dapat mempengaruhi ekonomi di seluruh dunia ketika perdagangan terganggu.
Jika China memutuskan untuk memperketat cengkeraman lebih jauh di sana, maka masa depan pengaturan "satu negara, dua sistem" yang berlaku di Hong Kong sejak 1997 itu dipertanyakan. Kondisi ini mungkin menyeret Amerika Serikat ke dalam pertarungan karena secara hukum telah berjanji untuk memperlakukan Hong Kong secara terpisah dari China daratan untuk hal-hal yang menyangkut perdagangan dan kebijakan ekonomi.
Kabar dari Argentina
Pada awal 2019, seorang investor pasar di negara berkembang yang terkenal yakni Mark Mobius, mengumumkan perusahaannya akan menjauh dari investasi di Argentina.
Mobius mengatakan dia akan mencari lagi (investasi) hanya jika Presiden Mauricio Macri bisa mendapatkan mandat yang kuat dalam pemilihan mendatang. Namun pada Pemilu Argentina, Agustus lalu, Alberto Fernandez memenangkan lebih dari 47% suara dalam pemilihan di hari minggu, sedangkan Mauricio Macri mendapatkan suara kurang dari 33%.
Hasil mengejutkan dalam Pemilu Argentina itu nilai tukar peso bergejolak. Mata uang Argentina anjlok 15,3% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pasar saham Argentina juga anjlok lebih dari 30% pada hari-hari setelah hasil kejutan itu.
Menurut data, itu adalah penurunan indeks pasar saham terbesar di negara mana pun sejak 1950. Argentina memiliki utang senilai US$ 80 miliar yang jatuh tempo pada 2019- 2020 dan sekitar 20 tahun gagal membayar utang pada investor, untuk ketiga kalinya.
"Kami pikir tantangan yang cukup besar masih ada di Argentina dan semacam perpanjangan utang tidak terhindarkan," kata Head of Global Emerging Market Debt dari Aberdeen Standard Investments, Brett Diment, dikutip CNBC International.
Digoyangnya 'diktator favorit' Trump
September lalu, berbagai berita media di seluruh dunia melaporkan demonstrasi melawan pemerintah Mesir di beberapa kota termasuk Alexandria dan ibu kota Kairo.
Demonstrasi di Mesir itu ilegal karena tanpa persetujuan pemerintah sejak 2013 ketika Presiden Abdel Fattah el-Sisi memimpin kudeta militer terhadap pemimpin Ikhwanul Muslimin, Mohamed Morsi. Morsi meninggal selama persidangannya pada Juni tahun ini.
Protes itu memiliki efek langsung pada pasar saham Mesir, EGX 30. Indeks di bursa Mesir itu amblas 11% dan menghapus semua keuntungan yang sempat terakumulasi sejak awal tahun karena investor tampaknya mulai mengambil keuntungan alias profit taking.
Analis Goldman Sachs Farouk Soussa mengatakan dalam catatan pada September bahwa dampak negatif pada aset berisiko di Mesir bisa lebih berkelanjutan jika ketidakstabilan politik di bawah pemimpin Abdel Fattah ini berlanjut.
Departemen Luar Negeri mengungkapkan investasi langsung AS di Mesir mencapai US$ 21,8 miliar dan, di atas permukaan hubungan kedua negara baru-baru ini mulai membaik.
Presiden AS Donald Trump bahkan menyebut Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi adalah diktator favoritnya, hal ini juga pernah dipublikasikan oleh The Wall Street Journal saat terjadi ketika pertemuan G7 di Biarritz, Perancis.
![]() |
(tas/tas) Next Article Setelah Pertemuan Fase Pertama, Apa AS-China Happy?
