
Di Tengah Isu Resesi, Pegang Dolar AS Tetap Paling Cuan
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 October 2019 14:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Kuartal III-2019 baru saja berakhir. Perdagangan mata uang atau yang dikenal dengan forex digerakkan oleh berbagai isu mulai dari perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang tak kunjung usai, resesi, hingga kebijakan moneter bank sentral global.
Isu resesi bahkan menghantui Negara Adikuasa AS. Bank Sentral AS The Federal Reserve/The Fed sampai mesti menurunkan suku bunga acuan dua kali sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun nyatanya, "hantu" resesi dan pemangkasan suku bunga tidak mampu meruntuhkan keperkasaan dolar AS. Sepanjang kuartal III-2019, greenback justru makin berjaya. Dollar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama dunia, mencapai level tertinggi lebih dari dua tahun, tepatnya sejak Mei 2017.
Berikut performa beberapa mata uang melawan dolar sepanjang kuartal III-2019 berdasarkan data Refinitiv.
Euro
Mata uang 19 negara ini menjadi mata uang dengan kinerja terburuk melawan dolar AS. Pada 30 September euro berada di level US$ 1,0898, anjlok 4,19% sepanjang kuartal III-2019.
Pelambatan ekonomi diiringi dengan inflasi yang rendah membuat Zona Euro terancam mengalami resesi. Jerman, negara dengan nilai ekonomi terbesar di Eropa, mengalami kontraksi ekonomi pada kuartal II. Jika pada kuartal III ekonomi Negeri Panser tumbuh negatif lagi, maka sudah resmi mendapat label resesi.
Akibat pelambatan ekonomi tersebut, European Central Bank (ECB) memangkas suku bunga acuannya menjadi -0,5 dan kembali mengaktifkan kebijakan moneter tidak biasa (unconventional) yaitu program pembelian obligasi dan surat berharga secara masif atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE). Dampaknya sudah jelas, euro terkapar hingga ke level terlemah lebih dari dua tahun terakhir.
Poundsterling
Perekonomian Inggris sebenarnya masih cukup kuat, tetapi berlarut-larutnya masalah Brexit memberikan tekanan bagi poundsterling. Pada kuartal III, poundsterling bahkan sempat mendekati level terlemah 34 tahun di US$ 1,1957 setelah Boris Johnson menjabat sebagai Perdana Menteri dan berjanji akan melakukan Brexit sesuai dengan deadline 31 Oktober, baik itu dengan kesepakatan ataupun tanpa kesepakatan sama sekali (no-deal Brexit).
No-deal Brexit merupakan ketakutan utama pelaku pasar, Inggris diprediksi akan memasuki resesi.
Namun poundsterling mampu menipiskan pelemahan, dan mengakhiri kuartal III di US$ 1,2287 (-3,16%) setelah Parlemen Inggris berhasil mempersempit peluang terjadinya no-deal Brexit.
Yen
Meski resesi terus membayangi pasar finansial global, tetapi yen Jepang tetap kurang bertaji. Menyandang status sebagai aset aman (safe haven), yen biasanya menjadi incaran pelaku pasar jika terjadi pelambatan ekonomi apalagi sampai resesi.
Hingga akhir Agustus yen sebenarnya masih perkasa melawan dolar AS, tetapi memasuki bulan September yen jadi melempem. Adanya harapan damai dagang antara AS-China membuat pelaku pasar meninggalkan yen dan masuk kembali ke aset-aset berisiko. Akhirnya yen melemah 0,23% pada kuartal III-2019.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Isu resesi bahkan menghantui Negara Adikuasa AS. Bank Sentral AS The Federal Reserve/The Fed sampai mesti menurunkan suku bunga acuan dua kali sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun nyatanya, "hantu" resesi dan pemangkasan suku bunga tidak mampu meruntuhkan keperkasaan dolar AS. Sepanjang kuartal III-2019, greenback justru makin berjaya. Dollar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama dunia, mencapai level tertinggi lebih dari dua tahun, tepatnya sejak Mei 2017.
Euro
Mata uang 19 negara ini menjadi mata uang dengan kinerja terburuk melawan dolar AS. Pada 30 September euro berada di level US$ 1,0898, anjlok 4,19% sepanjang kuartal III-2019.
Pelambatan ekonomi diiringi dengan inflasi yang rendah membuat Zona Euro terancam mengalami resesi. Jerman, negara dengan nilai ekonomi terbesar di Eropa, mengalami kontraksi ekonomi pada kuartal II. Jika pada kuartal III ekonomi Negeri Panser tumbuh negatif lagi, maka sudah resmi mendapat label resesi.
Akibat pelambatan ekonomi tersebut, European Central Bank (ECB) memangkas suku bunga acuannya menjadi -0,5 dan kembali mengaktifkan kebijakan moneter tidak biasa (unconventional) yaitu program pembelian obligasi dan surat berharga secara masif atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE). Dampaknya sudah jelas, euro terkapar hingga ke level terlemah lebih dari dua tahun terakhir.
Poundsterling
Perekonomian Inggris sebenarnya masih cukup kuat, tetapi berlarut-larutnya masalah Brexit memberikan tekanan bagi poundsterling. Pada kuartal III, poundsterling bahkan sempat mendekati level terlemah 34 tahun di US$ 1,1957 setelah Boris Johnson menjabat sebagai Perdana Menteri dan berjanji akan melakukan Brexit sesuai dengan deadline 31 Oktober, baik itu dengan kesepakatan ataupun tanpa kesepakatan sama sekali (no-deal Brexit).
No-deal Brexit merupakan ketakutan utama pelaku pasar, Inggris diprediksi akan memasuki resesi.
Namun poundsterling mampu menipiskan pelemahan, dan mengakhiri kuartal III di US$ 1,2287 (-3,16%) setelah Parlemen Inggris berhasil mempersempit peluang terjadinya no-deal Brexit.
Yen
Meski resesi terus membayangi pasar finansial global, tetapi yen Jepang tetap kurang bertaji. Menyandang status sebagai aset aman (safe haven), yen biasanya menjadi incaran pelaku pasar jika terjadi pelambatan ekonomi apalagi sampai resesi.
Hingga akhir Agustus yen sebenarnya masih perkasa melawan dolar AS, tetapi memasuki bulan September yen jadi melempem. Adanya harapan damai dagang antara AS-China membuat pelaku pasar meninggalkan yen dan masuk kembali ke aset-aset berisiko. Akhirnya yen melemah 0,23% pada kuartal III-2019.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Rupiah Tak Buruk-buruk Amat
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular