Sepanjang Tahun, Pasar SUN Positif dan Libas Pasar Saham

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
02 October 2019 06:16
Harga SUN menguat dari awal tahun hingga September 2019 membawa tingkat imbal hasil (yield) seri 10 tahun turu nhingga di bawah 7,3%.
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi rupiah pemerintah menguat dari awal tahun hingga September 2019 membawa tingkat imbal hasil (yield) seri 10 tahun hingga di bawah 7,3%. Penurunan yield dari 7,98% (akhir tahun lalu) tersebut didorong menurunnya tensi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China sejak Juni hingga September.

Data Refinitiv menunjukkan penurunan yield hingga 68 basis poin (bps) tersebut sempat diwarnai kenaikan hingga level tertinggi di 8,16% pada akhir Januari ketika tensi perselisihan Beijing-Washington sempat meninggi.

Menguatnya harga SUN itu tercermin dari seri acuan (benchmark) 10 tahun yang sekaligus menurunkan tingkat imbal hasilnya (yield). Seri 10 tahun, bersama dengan seri 5 tahun, 15 tahun, dan seri 20 tahun menjadi seri acuan di pasar.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka yield turun, begitupun sebaliknya. Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.

SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.


Patut diperhatikan juga bahwa penguatan di pasar obligasi itu tidak sejalan dengan pasar saham yang justru terkoreksi 0,41% yang tercermin oleh Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).


 

Yang turut membuat pasar obligasi boleh berbangga adalah arus dana investor asing yang masuk ke pasar sepanjang tahun hingga 30 September sukses mencetak rekor baru yaitu Rp 1.029,39 triliun, tertinggi sepanjang masa. Jumlah itu mencerminkan porsi kepemilikan asing 38,64% dari total SUN beredar Rp 2.664 triliun.

Angka tersebut juga mewakili angka masuknya investor asing sejak awal tahun Rp 136,14 triliun, jauh di atas angka investor asing sepanjang tahun lalu Rp 57,01 triliun apalagi dibanding periode yang sama yaitu 9 bulan pertama 2018 yaitu hanya Rp 14,7 triliun.

 

 

Untuk periode sepanjang kuartal III-2019, yield SUN 10 tahun yang juga mewakili beban biaya yang harus ditanggung pemerintah untuk penerbitan obligasi seri baru dengan tenor serupa juga sudah turun 7,3 bps dari 7,36% pada akhir Juni.

Dalam rentang waktu tersebut, nilai pembelian investor asing di pasar SUN juga cukup deras di mana terjadi surplus Rp 40,64 triliun. Penguatan di pasar obligasi pada periode kuartalan tersebut juga tidak sejalan dengan pasar saham yang justru terkoreksi 2,98% untuk IHSG.

Untuk periode sepanjang September, yield SUN 10 tahun yang juga mewakili beban biaya yang harus ditanggung pemerintah untuk penerbitan obligasi seri baru juga sudah turun yaitu 5,8 bps dari 7,35% pada akhir Agustus. Penguatan harga SUN pada September juga didukung oleh masuknya investor asing Rp 19,79 triliun untuk periode September.

Sebagai pembanding lagi, penguatan pada September juga sudah tidak sejalan dengan IHSG yang terkoreksi 2,52%.

Dengan data tersebut, dapat diambil garis besar bahwa pergerakan harga SUN dengan pasar saham mulai tidak sejalan karena pergerakan keduanya mulai bertolak belakang baik pada periode 9 bulan pertama tahun ini, kuartal III saja, dan juga untuk September.


TIM RISET CNBC INDONESIA


(irv/irv) Next Article SUN Cetak Rekor, Pengamat: SUN RI Masih Menarik Bagi Investor

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular