Pertanyaan Klasik: Apakah Deflasi Tanda Penurunan Daya Beli?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 October 2019 12:13
Pertanyaan Klasik: Apakah Deflasi Tanda Penurunan Daya Beli?
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sesuai dengan ekspektasi pasar, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan terjadi deflasi pada September. Pertanyaan klasik, apakah ini menunjukkan penurunan daya beli?

BPS melaporkan terjadi deflasi 0,27% secara month-on-month (MoM). Ini menjadi deflasi pertama sejak Februari lalu.

"Deflasi September 2019 yang 0,27% lebih rendah dari September 2018 yang juga deflasi 0,18%," kata Suhariyanto, Kepala BPS.



Sementara secara tahunan (year-on-year/YoY), inflasi September tercatat 3,39%. Kemudian inflasi inti secara tahunan berada di 3,32%.


Deflasi sering kali dikaitkan dengan pelemahan daya beli. Harga turun karena dunia enggan menaikkan akibat kekhawatiran konsumen tidak mampu membeli.

Apakah deflasi September ini mencerminkan itu? Nanti dulu...

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Pada dasarnya Indonesia adalah negara berkembang, yang tidak mendambakan inflasi seperti negara-negara maju. Di Jepang atau Jerman, inflasi adalah berkah karena menandakan konsumen mau membayar untuk barang dan jasa dengan harga lebih tinggi sehingga membuat dunia usaha menggeliat.

Ini sebabnya Bank Sentral Jepang (BoJ) atau Bank Sentral Uni Eropa (ECB) menargetkan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah. Kenyataannya, Jepang dan Jerman kesulitan untuk mencapai itu.

Kali terakhir Jepang mengalami inflasi di kisaran 2% adalah pada Maret 2015. Jerman lebih baik, karena kali terakhir inflasi berada di level 2% adalah pada April lalu tetapi tetap sulit stabil di kisaran tersebut.



Namun di negara berkembang seperti Indonesia punya nature yang berbeda. Negara berkembang punya ciri khas industri yang belum berkembang dalam kapasitas penuh, sementara permintaan terus tumbuh.

Inflasi tinggi adalah khittah negara berkembang karena pasokan dan permintaan yang tidak seimbang. Jadi kalau inflasi rendah, maka seharusnya disyukuri bukan dimaki...

Walau tidak mencari inflasi, bukan berarti inflasi boleh tinggi. Inilah mengapa Bank Indonesia (BI) selalu menargetkan inflasi dalam level rendah dan stabil.

Dalam hal ini, Indonesia sudah berjalan di trek yang benar. Sejak pertengahan 2017, laju inflasi tahunan Indonesia relatif stabil di kisaran 3%. Selamat tinggal inflasi 7-8%...

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)



Kembali ke pertanyaan awal, apakah Indonesia mengalami masalah daya beli? Jawabannya sama, nanti dulu...

Biasanya kalau mau bicara soal inflasi dan daya beli tengok lah inflasi inti. Komponen ini mengeluarkan segala kelompok pengeluaran yang harganya bergerak volatil, fluktuatif, liar. Jadi komponen inti mencerminkan pengeluaran barang dan jasa yang persisten, susah naik-turun, ajeg, stabil.

Pada September, inflasi inti berada di 3,32% YoY. Lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya yaitu 3,3%. Inflasi inti terus berada di kisaran 3% sejak November tahun lalu.



Jadi kalau harga barang dan jasa yang tergolong stabil dan bebas noise saja bisa naik, maka artinya konsumen masih rela membayar lebih tinggi. Jika inflasi inti masih terakselerasi, maka pertanyaan soal daya beli menjadi kurang relevan.

Inflasi bulanan boleh minus, tetapi kalau bicara bulanan (apalagi inflasi umum) banyak gangguan alias noise dan faktor musiman di sana. Tidak mencerminkan tren.

Deflasi September sebaiknya disyukuri saja karena membuktikan harga barang dan jasa turun dibandingkan Agustus. Kalau perdebatannya sampai melebar ke penurunan daya beli, sepertinya agak terlalu jauh...


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular