
Yakin Stock Split Bikin Saham Jadi Rame? Ini Data Historisnya

Berdasarkan data yang dikompilasi Tim Riset CNBC Indonesia, 10 saham pelaku stock split dalam 3 tahun terakhir tak selalu berujung pada kenaikan bobot saham terhadap IHSG. Hanya lima saham yang mengalami kenaikan bobot, tiga saham lain flat, dan dua malah turun.
Artinya, peluang stock split menaikkan bobot saham emiten adalah 50:50. Ini menunjukkan bahwa memecah saham dan membuat harganya menjadi lebih murah tidak otomatis membuat investor tertarik untuk lebih banyak mentransaksikan saham tersebut.
Tidak sesederhana itu, karena ada faktor lain yang mendorong investor berduyun-duyun mentransaksikan sebuah saham.
Jika diperhatikan, saham-saham yang mengalami kenaikan bobot setelah stock split adalah saham yang berkinerja positif atau bergerak dalam industri yang atraktif, seperti misalnya PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang bobot sahamnya naik hingga 1% poin sejak stock split pada 2017 hingga sekarang.
PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) yang merupakan perusahaan petrokimia terintegrasi terbesar di Indonesia juga mengalami kenaikan bobot, yakni 0,6% poin, bersamaan dengan induknya yakni Barito Pacific yang naik 0,3% poin.
Sebagai catatan, kedua perusahaan itu dikendalikan oleh Prajogo Pangestu, menjadikannya taipan paling gemar melakukan stock split.
Namun sebaliknya, Toba Bara menjadi emiten pelaku stock split yang “tertimpa tangga”, dengan koreksi harga saham sejak stock split sampai dengan sekarang, sebesar -12,5%, dan secara bersamaan bobotnya terhadap IHSG melorot dari 0,05% menjadi 0,04%.
Hal ini wajar terjadi karena perusahaan tambang yang terafiliasi dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan tersebut bergerak di bidang pertambangan batu bara yang saat ini sedang tersapu sentimen negatif turunnya permintaan China.
Demikian juga dengan saham PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR). Emiten holding grup Bakrie ini mayoritas pendapatannya berasal dari industri tambang batu bara, yang tengah menghadapi kenyataan bahwa harga komoditas tersebut turun dari US$ 101,4 per ton pada awal tahun, menjadi hanya US$ 68,15 per ton pada akhir pekan lalu.
Akankah stock split Unilever berujung pada kenaikan bobot?
Demi melihat posisinya sebagai pemain konsumer terbesar nasional dengan laba bersih terbesar ke-10 (per 2018), sangat beralasan jika kita berpeluang melihat reli harga saham dan kenaikan bobotnya terhadap IHSG seusai stock split.
Makin murah, makin besar pula peluang kenaikan itu terjadi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/tas)
