Yakin Stock Split Bikin Saham Jadi Rame? Ini Data Historisnya

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
01 October 2019 11:15
Yakin Stock Split Bikin Saham Jadi Rame? Ini Data Historisnya
Foto: Unilever (REUTERS/Philippe Wojazer)

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) berencana menggelar stock split atau pemecahan nilai nominal saham, guna mendongkrak likuiditas saham di pasar.

Apakah aksi korporasi serupa secara historis sukses mencapai targetnya? Berikut ini ulasannya.

Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, emiten konsumer tersebut bakal menjadi emiten keempat yang menggelar stock split di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun ini, setelah sebelumnya PT Barito Pacific Tbk (BRPT), PT Sky Energy Tbk (JSKY) dan PT Toba Bara Sejahtera Tbk (TOBA) melakukan aksi korporasi serupa.

Bagi Unilever Indonesia, stock split ini merupakan yang ketiga kali dilakukan setelah dua stock split sebelumnya digelar pada tahun 2000 dan 2003, masing-masing dengan rasio pemecahan sama yakni 1:10. Artinya, tiap 1 saham UNVR dipecah menjadi 10 saham.



Sebagai ilustrasi, jika anda memiliki 1 saham Unilever setara 10% dari total saham perseroan, maka setelah stock split kepemilikan anda berubah jadi 10 unit saham.

Hal serupa juga terjadi untuk semua pemegang saham termasuk pengendali, sehingga persentase kepemilikan saham anda di Unilever tetap 10% meski angka itu kini setara 10 saham dan bukan lagi 1 saham.

Hanya saja, pemecahan tersebut membuat harga per unit saham menjadi 1/10 lebih murah dari harga sebelumnya. Misalnya Unilever melakukan stock split tahun ini dengan rasio sama seperti dulu yakni 1:10 maka akan membuat harga saham menjadi ke level Rp 4.635 per unit, dari harga saat ini Rp 46.350 per saham.

Anda kelak hanya perlu merogoh Rp Rp 463.500 untuk beli 1 lot saham UNVR, dan bukannya Rp 4.635.000 seperti sekarang ini.

Sebagai informasi, pada perdagangan pukul 11.08, Selasa (1/10/2019), harga saham UNVR di level Rp 46.575 per saham.

Dus, dengan stock split, harga saham menjadi lebih terjangkau bagi lebih banyak investor (bukan hanya investor bermodal besar/trader kakap).


Jika lebih banyak investor mentransaksikan saham perseroan, maka likuiditas saham UNVR pun berpeluang meningkat. Bagi trader, likuiditas termasuk kunci dalam berinvestasi saham. Mudah beli, mudah juga menjual (karena banyak yang meminati).

Untuk mengecek lebih jauh mengenai konsistensi hubungan antara stock split dan peningkatan likuiditas, Tim Riset CNBC Indonesia mengumpulkan data 10 saham yang baru melakukan stock split.

Lalu, kami membandingkan perubahan bobot saham emiten terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebelum dan sesudah stock split.

Sebagaimana diketahui, bobot saham terhadap IHSG diukur dengan memasukkan faktor free float (saham yang beredar di pasar, alias dipegang publik). Semakin banyak publik yang memegang dan mentransaksikan (salah satunya dipicu oleh makin murahnya saham tersebut), maka semakin besar pula free float sebuah saham.


LANJUT KE HALAMAN 2: Stock split tak otomatis bobot saham naik

Berdasarkan data yang dikompilasi Tim Riset CNBC Indonesia, 10 saham pelaku stock split dalam 3 tahun terakhir tak selalu berujung pada kenaikan bobot saham terhadap IHSG. Hanya lima saham yang mengalami kenaikan bobot, tiga saham lain flat, dan dua malah turun.

Artinya, peluang stock split menaikkan bobot saham emiten adalah 50:50. Ini menunjukkan bahwa memecah saham dan membuat harganya menjadi lebih murah tidak otomatis membuat investor tertarik untuk lebih banyak mentransaksikan saham tersebut.

Tidak sesederhana itu, karena ada faktor lain yang mendorong investor berduyun-duyun mentransaksikan sebuah saham.


Jika diperhatikan, saham-saham yang mengalami kenaikan bobot setelah stock split adalah saham yang berkinerja positif atau bergerak dalam industri yang atraktif, seperti misalnya PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang bobot sahamnya naik hingga 1% poin sejak stock split pada 2017 hingga sekarang.

PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) yang merupakan perusahaan petrokimia terintegrasi terbesar di Indonesia juga mengalami kenaikan bobot, yakni 0,6% poin, bersamaan dengan induknya yakni Barito Pacific yang naik 0,3% poin.


Sebagai catatan, kedua perusahaan itu dikendalikan oleh Prajogo Pangestu, menjadikannya taipan paling gemar melakukan stock split.

Namun sebaliknya, Toba Bara menjadi emiten pelaku stock split yang “tertimpa tangga”, dengan koreksi harga saham sejak stock split sampai dengan sekarang, sebesar -12,5%, dan secara bersamaan bobotnya terhadap IHSG melorot dari 0,05% menjadi 0,04%.

Hal ini wajar terjadi karena perusahaan tambang yang terafiliasi dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan tersebut bergerak di bidang pertambangan batu bara yang saat ini sedang tersapu sentimen negatif turunnya permintaan China.

Demikian juga dengan saham PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR). Emiten holding grup Bakrie ini mayoritas pendapatannya berasal dari industri tambang batu bara, yang tengah menghadapi kenyataan bahwa harga komoditas tersebut turun dari US$ 101,4 per ton pada awal tahun, menjadi hanya US$ 68,15 per ton pada akhir pekan lalu.

Akankah stock split Unilever berujung pada kenaikan bobot?

Demi melihat posisinya sebagai pemain konsumer terbesar nasional dengan laba bersih terbesar ke-10 (per 2018), sangat beralasan jika kita berpeluang melihat reli harga saham dan kenaikan bobotnya terhadap IHSG seusai stock split.

Makin murah, makin besar pula peluang kenaikan itu terjadi.


TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular