
Fitch: BI Bakal Pangkas Suku Bunga hingga 4,25% di 2020
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
20 September 2019 16:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga riset global, Fitch Solutions (Fitch) memproyeksi Bank Indonesia akan kembali memangkas tingkat suku bunga acuan pada akhir tahun depan mengingat tingkat pertumbuhan ekonomi yang tidak mencapai target dan laju inflasi yang terbilang 'jinak'.
Dalam laporan yang dirilis hari ini, Jumat (20/9/2019), BI diperkirakan akan memotong suku bunga BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) hingga 4,25% pada akhir tahun depan.
Ini berarti Fitch Solution mengestimasi akan ada tambahan pemangkasan 75 basis poin (bps) hingga 2020 dari posisi BI 7DRR saat ini yang senilai 5,25% yang diturunkan pada Kamis kemarin.
Suku bunga acuan BI tersebut juga sudah diturunkan dari sebelumnya 5,5% pada 22 Agustus 2019.
Menurut Fitch, fokus utama kebijakan moneter BI dalam waktu dekat masih untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada paruh pertama tahun ini, laju PDB (Produk Domestik Bruto) ada di angka 5,1% secara tahunan, di bawah titik tengah kisaran target BI, yakni 5-5,4%.
Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur BI pada Kamis kemarin mengatakan, Bank Indonesia akan mempertahankan bauran kebijakan yang akomodatif ke depan, sejalan dengan proyeksi laju inflasi yang rendah, stabilitas eksternal yang berkelanjutan, dan pentingnya membangun momentum pertumbuhan ekonomi.
Ini berarti, BI akan terus memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dalam pengambilan kebijakan moneter selama inflasi dan ketidakpastian global tidak tiba-tiba terekskalasi.
Lebih lanjut, dalam beberapa kuartal ke depan, Fitch menganalisis laju inflasi Indonesia masih akan di bawah target inflasi yang ditetapkan BI. Rata-rata laju inflasi Indonesia diproyeksi sebesar 3,1% untuk 2019 dan 3,5% di 2020.
Hal ini memungkinkan bank sentral memiliki ruang gerak yang lebih besar untuk kembali melonggarkan kebijakan moneter agar dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Di lain pihak, patut dicermati terdapat risiko yang memungkinkan BI tidak mengambil sikap dovish (kalem) malah justru agresif atau hawkish, yakni jika mata uang Garuda alias rupiah bisa tertekan terhadap dolar AS.
Rupiah dapat dengan mudah berfluktuasi jika harga minyak dunia kembali menunjukkan tren penguatan. Sebagai negara net importir minyak, tingginya harga emas hitam dapat menekan neraca perdagangan Indonesia sekaligus transaksi berjalan.
Selain itu, situasi geopolitik yang tidak stabil juga akan menyakiti rupiah, terutama terkait dengan perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China.
Jika terjadi ekskalasi perang dagang, investor akan memilih untuk berinvestasi di aset-aset aman (safe haven), sehingga mata uang Ibu Pertiwi ditinggalkan alias terkena aksi jual. Hal ini dapat menyebabkan depresiasi atas nilai tukar rupiah yang berujung pada peningkatan laju inflasi.
Sensitifitas rupiah atas sentimen perang dagang AS-China terlihat pada grafik di bawah ini, di mana saat babak perang dagang memanas di semester II tahun lalu, rupiah melemah hingga menyentuh level Rp 15.000/US$.
Kemudian, pelemahan rupiah juga terlihat di bulan Mei dan Agustus kalo tensi dagang kedua negara semakin memuncak tatkala Washington dan Beijing saling mengirimkan ancaman untuk menaikkan bea masuk.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas) Next Article BI Pede The Fed Tak Naikkan Bunga di 2019 dan 2020
Dalam laporan yang dirilis hari ini, Jumat (20/9/2019), BI diperkirakan akan memotong suku bunga BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) hingga 4,25% pada akhir tahun depan.
Ini berarti Fitch Solution mengestimasi akan ada tambahan pemangkasan 75 basis poin (bps) hingga 2020 dari posisi BI 7DRR saat ini yang senilai 5,25% yang diturunkan pada Kamis kemarin.
Suku bunga acuan BI tersebut juga sudah diturunkan dari sebelumnya 5,5% pada 22 Agustus 2019.
Menurut Fitch, fokus utama kebijakan moneter BI dalam waktu dekat masih untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada paruh pertama tahun ini, laju PDB (Produk Domestik Bruto) ada di angka 5,1% secara tahunan, di bawah titik tengah kisaran target BI, yakni 5-5,4%.
Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur BI pada Kamis kemarin mengatakan, Bank Indonesia akan mempertahankan bauran kebijakan yang akomodatif ke depan, sejalan dengan proyeksi laju inflasi yang rendah, stabilitas eksternal yang berkelanjutan, dan pentingnya membangun momentum pertumbuhan ekonomi.
Ini berarti, BI akan terus memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dalam pengambilan kebijakan moneter selama inflasi dan ketidakpastian global tidak tiba-tiba terekskalasi.
Lebih lanjut, dalam beberapa kuartal ke depan, Fitch menganalisis laju inflasi Indonesia masih akan di bawah target inflasi yang ditetapkan BI. Rata-rata laju inflasi Indonesia diproyeksi sebesar 3,1% untuk 2019 dan 3,5% di 2020.
Hal ini memungkinkan bank sentral memiliki ruang gerak yang lebih besar untuk kembali melonggarkan kebijakan moneter agar dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Di lain pihak, patut dicermati terdapat risiko yang memungkinkan BI tidak mengambil sikap dovish (kalem) malah justru agresif atau hawkish, yakni jika mata uang Garuda alias rupiah bisa tertekan terhadap dolar AS.
Rupiah dapat dengan mudah berfluktuasi jika harga minyak dunia kembali menunjukkan tren penguatan. Sebagai negara net importir minyak, tingginya harga emas hitam dapat menekan neraca perdagangan Indonesia sekaligus transaksi berjalan.
Selain itu, situasi geopolitik yang tidak stabil juga akan menyakiti rupiah, terutama terkait dengan perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China.
Jika terjadi ekskalasi perang dagang, investor akan memilih untuk berinvestasi di aset-aset aman (safe haven), sehingga mata uang Ibu Pertiwi ditinggalkan alias terkena aksi jual. Hal ini dapat menyebabkan depresiasi atas nilai tukar rupiah yang berujung pada peningkatan laju inflasi.
Sensitifitas rupiah atas sentimen perang dagang AS-China terlihat pada grafik di bawah ini, di mana saat babak perang dagang memanas di semester II tahun lalu, rupiah melemah hingga menyentuh level Rp 15.000/US$.
Kemudian, pelemahan rupiah juga terlihat di bulan Mei dan Agustus kalo tensi dagang kedua negara semakin memuncak tatkala Washington dan Beijing saling mengirimkan ancaman untuk menaikkan bea masuk.
![]() |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas) Next Article BI Pede The Fed Tak Naikkan Bunga di 2019 dan 2020
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular