
Top! Bursa Asia Melemah, IHSG Malah Hijau 2 Hari Beruntun

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan Rabu ini (18/9/2019) dengan kenaikan tipis sebesar 0,03% ke level 6.238,71, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus memperlebar penguatan seiring dengan berjalannya waktu.
Per akhir sesi dua, indeks saham acuan di Indonesia tersebut menguat 0,64% ke level 6.276,63.
Penguatan pada hari ini menandai apresiasi selama 2 hari beruntun. Pada perdagangan kemarin (17/9/2019), IHSG mengakhiri hari dengan apresiasi sebesar 0,28%.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendongkrak kinerja IHSG di antaranya: PT Astra International Tbk/ASII (+3,47%), PT Sinar Mas Multiartha Tbk/SMMA (+13,64%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+3,23%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (+1,94%), dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+1,9%).
Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru ditransaksikan melemah: indeks Nikkei melemah 0,18%, indeks Hang Seng turun 0,13%, dan indeks Straits Times jatuh 0,53%.
Pelaku pasar saham Benua Kuning dibuat grogi seiring dengan kekhawatiran yang mewarnai pertemuan The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS.
Kemarin waktu setempat, The Fed mulai menggelar pertemuan yang akan berlangsung selama dua hari dan hasilnya akan diumumkan pada Kamis (19/9/2019) dini hari waktu Indonesia.
Sekadar mengingatkan, pada akhir bulan Juli The Fed mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps, menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan pertama sejak tahun 2008 silam.
Sejauh ini, pelaku pasar memang masih menaruh ekspektasi bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipangkas oleh The Fed. Namun, ekspektasinya tak lagi sebesar dulu.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 18 September 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan kali ini tinggal tersisa 56,5%. Padahal seminggu sebelumnya, probabilitasnya masih berada di level 87,7%.
Situasi yang berubah secara drastis tersebut dipicu oleh lonjakan harga minyak mentah dunia. Pada perdagangan hari Senin (16/9/2019), harga minyak mentah WTI kontrak acuan melejit hingga 14,68%, sementara harga minyak brent kontrak acuan melesat 14,61%.
Harga minyak mentah dunia melesat seiring dengan serangan drone yang menyasar kilang dan ladang minyak di Arab Saudi.
Pada akhir pekan kemarin, serangan menggunakan drone diluncurkan ke Arab Saudi dan menyebabkan kerusakan di kilang minyak terbesar dunia dan ladang minyak terbesar kedua di kerajaan tersebut. Kaum pemberontak Houthi yang berasal dari Yemen sudah mengklaim menjadi pihak yang bertanggung jawab atas serangan tersebut.
![]() |
Akibat serangan tersebut, Saudi Aramco terpaksa memangkas produksinya hingga sekitar 50%. Output yang hilang dari serangan tersebut mencapai 5,7 juta barel per hari atau setara dengan 5% dari total produksi minyak mentah global secara harian.
Memang, harga minyak mentah dunia terkoreksi pada perdagangan kemarin dan hari ini. Namun, koreksinya tak sebanding dengan lesatan harga pada awal pekan.
Untuk diketahui, The Fed memperhatikan dua indikator utama dalam merumuskan kebijakan suku bunga acuannya, yakni kondisi pasar tenaga kerja dan inflasi.
Berbicara mengenai kondisi pasar tenaga kerja, saat ini pasar tenaga kerja AS sedang berada dalam posisi yang oke. Per September 2019, tingkat pengangguran di AS berada di level 3,7% yang merupakan kisaran terendah dalam setidaknya 20 tahun terakhir.
Berbicara mengenai inflasi, saat ini tingkat inflasi AS berada di level yang rendah. Untuk diketahui, acuan yang digunakan oleh The Fed untuk mengukur tingkat inflasi adalah Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index.
Data teranyar, Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index tercatat tumbuh sebesar 1,6% secara tahunan pada Juli 2019, masih cukup jauh di bawah target The Fed yang sebesar 2%.
Nah, lonjakan harga minyak dunia dipandang bisa mendongkrak inflasi di AS. Kala harga minyak mentah dunia melejit, harga bensin di AS akan naik sehingga biaya logistik akan menjadi lebih mahal. Pada akhirnya, harga barang dan jasa yang ditawarkan ke konsumen akan ikut terkerek naik.
Ekspektasi atas melonjaknya inflasi kini membuat pelaku pasar mulai meragukan pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh The Fed.
Dikhawatirkan, absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut oleh The Fed akan membawa perekonomian AS mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Ada Asa Damai Dagang AS-China
