Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial Indonesia memerah pada perdagangan Senin (16/9/19) kemarin. Memburukya persepsi pelaku pasar setelah serangan pesawat nirawak atau drone di dua fasilitas minyak Arab Saudi berdampak negatif ke pasar finansial global.
Rupiah yang pekan lalu perkasa dengan menguat hampir 1% ke level Rp 13.960, Senin kemarin kembali ke atas Rp 14.000/US$. Mata Uang Garuda melemah 0,54%, menjadi pelemahan harian terbesar sejak 1 Agustus lalu.
Sementara itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,82% ke level 6.219,28, menjadi penurunan terbesar sejak 5 Agustus.
Sejatinya, mayoritas bursa saham utama kawasan Asia juga ditransaksikan melemah. Namun, koreksi hingga 1,8% lebih yang dibukukan IHSG menjadikannya indeks saham dengan kinerja terburuk di kawasan Asia.
Selain tekanan dari eksternal, tekanan bagi IHSG juga datang dari kenaikan cukai tembakau sebesar 23% mulai tahun 2020 yang memukul emiten rokok. Saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) amblas 20,64% dan PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) anjlok 18,21%.
Dari pasar obligasi, imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 10 tahun naik 0,35 bps. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. Dengan demikian, berarti terjadi aksi jual di pasar obligasi.
Serangan drone ke fasilitas minyak mentah Arab Saudi menjadi headline di awal pekan. Pada akhir pekan lalu, sekitar 10 drone menyerang salah satu ladang minyak terbesar Arab Saudi di Hijra Khurais dan fasilitas pemrosesan minyak mentah di dunia di Abqaiq.
Pemberontak Houthi mengklaim serangan tersebut, tetapi Amerika Serikat (AS) justru mengatakan Iran ada di balik serangan tersebut. Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo menuduh Iran meluncurkan serangan terhadap pasokan energi dunia yang belum pernah terjadi sebelumnya, melansir CNBC International.
Tuduhan dari AS tersebut tentunya kembali meningkatkan ketegangan dengan Iran. Hubungan dua negara ini sebelumnya sudah memburuk sejak Presiden AS Donald Trump menarik diri dari perjanjian nuklir dengan Iran. Trump malah menerapkan sanksi ekonomi kepada Iran.
Presiden Trump kini menyatakan bersiap untuk memberikan serangan balasan, tapi masih menunggu Pemerintah Arab Saudi memastikan siapa pelakunya.
Teheran tentu tidak terima atas tuduhan tersebut. Abbas Mousavi, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, menyatakan bahwa tudingan AS dan sekutunya tidak berdasar.
Bahkan Iran siap apabila harus berperang dengan AS dan sekutunya. Amarali Hajizadeh, Kepala Staff Angkatan Udara Garda Revolusioner Iran, mengungkapkan pangkalan AS di Timur Tengah masuk dalam jangkauan misil mereka.
"Semua orang harus tahu bahwa seluruh basis pangkalan AS dan kapal induk mereka dalam jarak lebih dari 2.000 km di sekitar Iran masuk dalam cakupan misil kami. Iran selalu siap untuk perang dalam skala penuh," tegasnya, seperti diwartakan Reuters.
AS dan Iran sudah bersiap angkat senjata. Kalau situasi memburuk dan ada pemantik lebih lanjut, bukan tidak mungkin Perang Teluk Jilid III bakal meletus, dan sentimen pelaku pasar pun memburuk.
Akibat buruknya sentimen pelaku pasar, kabar cukup bagus dari dalam negeri. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan ekspor dan impor pada Agustus 2019. Ekspor tercatat US$ 14,28 miliar sementara impor mencapai US$ 14,20 miliar. Dengan demikian surplus pada Agustus 2019 untuk neraca dagang mencapai US$ 85,1 juta, membaik dari defisit US$ 60 juta di bulan Juli.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Bursa saham AS juga tidak lepas dari tekanan akibat ketegangan di Timur Tengah, Wall Street masuk ke zona merah. Indeks Dow Jones mengakhiri reli atau kenaikan beruntunnya selama delapan hari, setelah mengakhiri perdagangan Senin di level 27.076,82 atau melemah 0,5%.
Padahal Dow Jones sedikit lagi bisa mencapai rekor tertinggi sepanjang masa 27.398,68 yang dicapai pada bulan lalu.
Tidak hanya Dow Jones, indeks S&P 500 dan Nasdaq juga melemah masing-masing 0,3% ke level 2.997,96 dan 8.153,54.
Persepsi investor akan membaiknya kondisi ekonomi global seakan lenyap begitu saja setelah serangan yang terjadi fasilitas minyak Arab Saudi.
Pada pekan lalu, sentimen pelaku pasar sedang bagus-bagusnya yang membuat Wall Street terus menghijau.
Mesranya hubungan AS-China juga menjadi pendorong utama kenaikan Wall Street. Selain itu, paket stimulus moneter yang digelontorkan dari European Central Bank (ECB) semakin menambah risk appetite pelaku pasar.
Dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis pekan lalu, ECB memangkas suku bunga deposito (deposit facility) sebesar 10 basis poin (bps) menjadi -0,5%, sementara main refinancing facility tetap sebesar 0% dan suku bunga pinjaman (lending facility) juga tetap sebesar 0,25%.
ECB juga mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantitative easing yang sebelumnya sudah dihentikan pada akhir tahun lalu.
Program pembelian aset kali ini akan dimulai pada 1 November dengan nilai 20 miliar euro per bulan. Berdasarkan rilis ECB yang dilansir Reuters, QE kali ini tanpa batas waktu, artinya akan terus dilakukan selama dibutuhkan untuk memberikan stimulus bagi perekonomian zona euro.
Mesranya hubungan AS-China dan kebijakan moneter ECB membuat selera terhadap risiko (risk appetite) pelaku pasar meningkat. Namun ini semua lenyap, investor malah dibuat cemas akan kemungkinan terjadinya Perang Teluk Jilid III.
Apalagi, ancaman akan serangan ke fasilitas minyak mentah Arab Saudi masih terus digaungkan oleh pemberontak Houthi.
Dalam pernyataan resminya, para pemberontak mengatakan akan terus menargetkan instalasi minyak negara kerjaan itu sebagai sasaran serangan. "Senjata kami bisa menjangkau area mana saja di Arab Saudi," ujar pemberontak Houthi dalam siaran televisi miliknya.
BERLANJUT KE HALAMAN 3
Wall Street yang masuk ke zona merah tentunya mengirim hawa negatif ke bursa Asia pagi ini, begitu juga ke pasar finansial dalam negeri. Pergerakan harga minyak mentah menjadi perhatian utama pasar hari ini, begitu juga perkembangan kondisi di Timur Tengah.
Pada perdagangan Senin, harga minyak mentah jenis Brent melonjak 13% ke level US$ 68 per barel dan jenis West Texas Intermediate (WTI) melesat 12% ke kisaran US$ 61 per barel
Kenaikan harga minyak mentah bukan kabar bagus bagi Indonesia, beban impor akan membengkak. Data yang dirilis BPS Senin kemarin menunjukkan surplus neraca dagang, berkat surplus di sektor non-migas. Dari sektor migas masih mengalami defisit US$ 755,1 juta.
Defisit tersebut bisa membengkak jika harga minyak mentah terus terbang tinggi, dampaknya neraca dagang berpotensi mengalami defisit lagi, dan tentunya akan berdampak defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang selama ini menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia.
Sehingga jika harga minyak mentah kembali menguat tajam pada perdagangan hari ini, pasar finansial dalam negeri bisa kembali terpukul.
Tidak hanya Indonesia, kondisi ekonomi global juga terancam semakin melambat jika harga minyak mentah terus menguat. Analis dari Goldman Sachs mengatakan jika produksi minyak Arab Saudi belum pulih dalam enam pekan ke depan, maka harga minyak Brent akan mencapai US$ 75 per barel, sebagaimana dilansir CNBC International.
Masih berdasarkan pemberitaan CNBC International, harga minyak mentah bahkan diprediksi mencapai level US$ 100 per barel jika Perang Teluk sampai terjadi lagi. Analis dari Again Capital, John Kilduff, mengatakan jika terjadi eskalasi di Timur Tengah dan menjadi perang maka harga minyak mentah akan menuju US$ 100 per barel.
Sektor manufaktur di negara-negara maju sedang mengalami pelambatan ekspansi, bahkan sebagian seperti di Eropa sudah mengalami kontraksi enam bulan berturut-turut. Harga minyak mentah yang semakin mahal tentunya akan meningkatkan cost yang dikeluarkan industri pengolahan ini, Dampaknya, kontraksi kemungkinan akan semakin dalam, perekonomian global akan semakin melambat, dan "hantu" resesi akan semakin mendekat.
Sebelum harga minyak melesat naik, Bankrate melakukan survei terhadap para ekonom, hasilnya ada peluang sebesar 41% resesi melanda AS tepat pada pemilihan Presiden AS November 2020.
Jika harga minyak mentah semakin mahal, tentunya peluang terjadinya resesi di AS akan semakin meningkat, atau malah semakin mendekat. Akibatnya persepsi pelaku pasar kini kembali memburuk dibandingkan pekan lalu, apalagi melihat data ekonomi China yang dirilis Senin kemarin.
Pertumbuhan produksi Industri China merosot ke level terendah 17 ½ tahun di bulan Agustus. Pertumbuhan dilaporkan sebesar 4,4% year-on-year (YoY), menjadi yang terendah sejak bulan Februari 2002, dan jauh di bawah estimasi Reuters sebesar 5,2%.
Semua faktor tersebut membuat sentimen pelaku pasar yang pekan lalu "berbunga-bunga" kini menjadi murung kembali. Pasar finansial dalam negeri masih belum akan lepas dari tekanan akibat jika harga minyak mentah terus melesat naik akibat gejolak di Timur Tengah yang memberikan efek negatif di dalam negeri dilihat dari CAD, serta efek negatif dari eksternal akibat resesi yang semakin mendekat.
BERLANJUT KE HALAMAN 4
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis notulen rapat kebijakan moneter bank sentral Australia (8:30 WIB.
- Rilis data sentimen ekonomi Jerman (16:00 WIB)
- Rilis data produksi industri AS (20:15 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY) | 5,05% |
Inflasi (Agustus 2019 YoY) | 3,49% |
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Agustus 2019) | 5,5% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Q2-2019) | -3,04% PDB |
Neraca pembayaran (Q2-2019) | -US$ 1,98 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2019) | US$ 126,4 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA