
Awas! Harga Minyak Mentah Bikin "Hantu" Resesi Kian Mendekat

Wall Street yang masuk ke zona merah tentunya mengirim hawa negatif ke bursa Asia pagi ini, begitu juga ke pasar finansial dalam negeri. Pergerakan harga minyak mentah menjadi perhatian utama pasar hari ini, begitu juga perkembangan kondisi di Timur Tengah.
Pada perdagangan Senin, harga minyak mentah jenis Brent melonjak 13% ke level US$ 68 per barel dan jenis West Texas Intermediate (WTI) melesat 12% ke kisaran US$ 61 per barel
Kenaikan harga minyak mentah bukan kabar bagus bagi Indonesia, beban impor akan membengkak. Data yang dirilis BPS Senin kemarin menunjukkan surplus neraca dagang, berkat surplus di sektor non-migas. Dari sektor migas masih mengalami defisit US$ 755,1 juta.
Defisit tersebut bisa membengkak jika harga minyak mentah terus terbang tinggi, dampaknya neraca dagang berpotensi mengalami defisit lagi, dan tentunya akan berdampak defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang selama ini menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia.
Sehingga jika harga minyak mentah kembali menguat tajam pada perdagangan hari ini, pasar finansial dalam negeri bisa kembali terpukul.
Tidak hanya Indonesia, kondisi ekonomi global juga terancam semakin melambat jika harga minyak mentah terus menguat. Analis dari Goldman Sachs mengatakan jika produksi minyak Arab Saudi belum pulih dalam enam pekan ke depan, maka harga minyak Brent akan mencapai US$ 75 per barel, sebagaimana dilansir CNBC International.
Masih berdasarkan pemberitaan CNBC International, harga minyak mentah bahkan diprediksi mencapai level US$ 100 per barel jika Perang Teluk sampai terjadi lagi. Analis dari Again Capital, John Kilduff, mengatakan jika terjadi eskalasi di Timur Tengah dan menjadi perang maka harga minyak mentah akan menuju US$ 100 per barel.
Sektor manufaktur di negara-negara maju sedang mengalami pelambatan ekspansi, bahkan sebagian seperti di Eropa sudah mengalami kontraksi enam bulan berturut-turut. Harga minyak mentah yang semakin mahal tentunya akan meningkatkan cost yang dikeluarkan industri pengolahan ini, Dampaknya, kontraksi kemungkinan akan semakin dalam, perekonomian global akan semakin melambat, dan "hantu" resesi akan semakin mendekat.
Sebelum harga minyak melesat naik, Bankrate melakukan survei terhadap para ekonom, hasilnya ada peluang sebesar 41% resesi melanda AS tepat pada pemilihan Presiden AS November 2020.
Jika harga minyak mentah semakin mahal, tentunya peluang terjadinya resesi di AS akan semakin meningkat, atau malah semakin mendekat. Akibatnya persepsi pelaku pasar kini kembali memburuk dibandingkan pekan lalu, apalagi melihat data ekonomi China yang dirilis Senin kemarin.
Pertumbuhan produksi Industri China merosot ke level terendah 17 ½ tahun di bulan Agustus. Pertumbuhan dilaporkan sebesar 4,4% year-on-year (YoY), menjadi yang terendah sejak bulan Februari 2002, dan jauh di bawah estimasi Reuters sebesar 5,2%.
Semua faktor tersebut membuat sentimen pelaku pasar yang pekan lalu "berbunga-bunga" kini menjadi murung kembali. Pasar finansial dalam negeri masih belum akan lepas dari tekanan akibat jika harga minyak mentah terus melesat naik akibat gejolak di Timur Tengah yang memberikan efek negatif di dalam negeri dilihat dari CAD, serta efek negatif dari eksternal akibat resesi yang semakin mendekat.
BERLANJUT KE HALAMAN 4
