
Jangan Nyinyir: IHSG Terburuk Se-Asia & Rupiah Terburuk Kedua

Tekanan terhadap pasar saham dan mata uang tanah air lebih besar jika dibandingkan dengan yang dialami negara-negara tetangga seiring dengan kehadiran sentimen negatif dari dalam negeri.
Untuk pasar saham, ada kenaikan tarif cukai rokok yang begitu drastis. Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23% mulai Januari 2020.
Keputusan tersebut dikemukakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai menggelar rapat secara tertutup di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Sri Mulyani mengatakan bahwa dengan kenaikan tarif cukai rokok tersebut, maka harga jual eceran (HJE) pun mengalami kenaikan hingga 35%.
"Kenaikan average 23% untuk tarif cukai, dan 35% dari harga jualnya yang akan kami tuangkan dalam Permenkeu," kata Sri Mulyani.
Untuk diketahui, pada tahun 2019 pemerintah memutuskan untuk tak menaikkan tarif cukai rokok.
Saham-saham emiten produsen rokok pun dilego pelaku pasar. Hingga berita ini diturunkan, harga saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) ambruk 18,57%, menjadikannya saham dengan kontribusi negatif terbesar bagi IHSG. Sementara itu, harga saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) anjlok 19,51%, menjadikannya saham dengan kontribusi negatif terbesar kedua bagi IHSG.
Di titik terendahnya hari ini, harga saham HMSP sempat jatuh hingga 22% yang merupakan kinerja terburuk sejak tahun 1991. Sementara itu, di titik terlemahnya hari ini harga saham GGRM sempat turun sebanyak 22% juga, menandai kinerja terburuk sejak Mei 1998.
Dikhawatirkan, kenaikan tarif cukai rokok yang begitu signifikan pada tahun depan akan menekan konsumsi masyarakat.
Untuk rupiah, tekanan dari dalam negeri datang dari rilis data perdagangan internasional periode Agustus 2019 oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Sepanjang bulan Agustus, BPS mencatat bahwa ekspor jatuh 9,99% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan kontraksi sebesar 5,7% saja. Sementara itu, impor terkontraksi sebesar 15,6%, juga lebih dalam dibandingkan konsensus yang memperkirakan penurunan sebesar 11,295%. Alhasil, surplus neraca dagang pada bulan lalu hanyalah sebesar US$ 80 juta, jauh lebih kecil dari proyeksi yang sebesar US$ 146 juta.
Surplus neraca dagang yang jauh lebih rendah dari ekspektasi membuat pelaku pasar khawatir bahwa defisit transaksi berjalan/currenct account deficit (CAD) akan terus bengkak di kuartal III-2019.
Pada kuartal I-2019, BI mencatat CAD berada di level 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 2,01% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 3,04% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 3,01% dari PDB.
Ketika CAD tak juga bisa diredam, maka rupiah memang akan mendapatkan tekanan. Untuk diketahui, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank)