Ekonomi China Terlemah Sejak 1990, Ini Respons Pasar Keuangan

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 January 2020 11:42
Ekonomi China Terlemah Sejak 1990, Ini Respons Pasar Keuangan
Foto: Reurters

Jakarta, CNBC Indonesia - Sentimen utama bagi pasar keuangan dunia pada perdagangan terakhir di pekan ini, Jumat (17/1/2020), datang dari rilis data ekonomi China.

Sepanjang kuartal IV-2019, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 6% secara tahunan, sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh Reuters. Untuk keseluruhan tahun 2019, perekonomian Negeri Panda tumbuh sebesar 6,1%, juga sesuai dengan estimasi.

Lantas, pertumbuhan ekonomi China melambat signifikan dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.

Walaupun perekonomian China begitu loyo, nyatanya pasar saham Asia justru bergerak di zona hijau. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei terapresiasi 0,49%, indeks Shanghai menguat 0,2%, indeks Hang Seng naik 0,3%, indeks Straits Times terkerek 0,04%, dan indeks Kospi bertambah 0,17%.

Tak hanya bursa saham Asia, bursa saham AS tampaknya juga akan merespons positif rilis data ekonomi China yang terbilang lemah tersebut. Hingga berita ini diturunkan, kontrak futures indeks Dow Jones mengimplikasikan kenaikan sebesar 35,36 poin, sementara indeks S&P 500 dan indeks Nasdaq Composite diimplikasikan naik masing-masing sebesar 2,29 dan 4,75 poin.


Jika dihitung persentasenya, maka indeks Dow Jones diimplikasikan naik sebesar 0,12% pada pembukaan perdagangan nanti malam, sementara indeks S&P 500 dan indeks Nasdaq Composite diimplikasikan menguat masing-masing sebesar 0,07% dan 0,05%.

Sebagai catatan, pada penutupan perdagangan kemarin, Kamis (16/1/2020), indeks Dow Jones naik 0,92%, indeks S&P 500 menguat 0,84%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 1,06%. Ketiga indeks saham acuan di AS tersebut ditutup di level tertinggi sepanjang masa.

Di sisi lain, instrumen safe haven justru ditinggalkan. Hingga berita ini diturunkan, yen melemah 0,06% di pasar spot melawan dolar AS. Sementara itu, franc yang juga merupakan safe haven terdepresiasi 0,11% melawan dolar AS.

Walaupun pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990, nyatanya hal tersebut sudah diekspektasikan oleh pelaku pasar. Seperti yang sudah disebutkan, angka pertumbuhan ekonomi China untuk periode kuartal IV-2019 dan keseluruhan tahun 2019 sesuai dengan konsensus.

Lantas, pelaku pasar pun tak lagi kaget dengan perlambatan perekonomian China yang signifikan. Justru, fakta bahwa perlambatan ekonomi China tidaklah separah yang diekspektasikan menjadi faktor yang membuat pelaku pasar memburu instrumen berisiko seperti saham.

[Gambas:Video CNBC]



Kedepannya, ada ekspektasi yang besar bahwa perlambatan ekonomi China bisa diredam. Pasalnya, AS dan China kini telah resmi meneken kesepakatan dagang tahap satu yang akan menjadi kunci dalam meredam tekanan terhadap perekonomian China.

Pada hari Rabu waktu setempat (15/1/2020), AS dan China menandatangani kesepakatan dagang tahap satu di Gedung Putih, AS. Dari pihak AS, penandatanganan dilakukan langsung oleh Presiden Donald Trump, sementara pihak China mengirim Wakil Perdana Menteri Liu He.

"Hari ini kami mengambil langkah penting yang belum pernah dilakukan sebelumnya dengan China, yang akan memastikan perdagangan yang adil dan saling menguntungkan," kata Trump saat seremoni penandatanganan di Gedung Putih, Washington, AS, seperti dikutip dari AFP.

"Bersama-sama, kita (akan) memperbaiki kesalahan masa lalu," kata Trump lagi.

"Negosiasi ini sulit bagi kami. Tapi ini terobosan yang sangat luar biasa."

Sementara itu, pihak China juga melontarkan nada positif terkait kesepakatan dagang tahap satu dengan AS.

"Kesepakatan ini baik untuk China, untuk AS, dan untuk seluruh dunia," ucap Liu kala membacakan surat dari Presiden China Xi Jinping kepada Trump.

Sesuai dengan yang diumumkan oleh Trump pada bulan Desember, melalui kesepakatan dagang tahap satu AS akan memangkas bea masuk sebesar 15% terhadap produk impor asal China senilai US$ 120 miliar menjadi setengahnya atau 7,5%.

Sebelumnya, AS telah membatalkan rencana untuk mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal China pada tanggal 15 Desember. Untuk diketahui, nilai produk impor asal China yang akan terdampak oleh kebijakan ini sejatinya mencapai US$ 160 miliar.

Lebih lanjut, kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China memasukkan komitmen dari China untuk membeli produk asal AS senilai US$ 200 miliar dalam kurun waktu dua tahun.

Kemudian, kesepakatan dagang tahap satu AS-China juga akan membereskan komplain dari AS terkait pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam.

Melalui kesepakatan dagang tahap satu, China diwajibkan untuk membuat proposal terkait lankah-langkah yang akan diadopsi untuk memperkuat perlindungan hak kekayaan intelektual. Proposal tersebut harus disampaikan ke AS dalam waktu 30 hari setelah kesepakatan dagang tahap satu resmi berlaku.

Terkait dengan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam, di dalam kesepakatan dagang tahap satu disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan harus bisa beroperasi di China “tanpa adanya paksaan atau tekanan dari pihak lain untuk mentransfer teknologinya ke pihak lain.”
Sebelum pendandatanganan kesepakatan dagang tahap satu, AS memutuskan untuk mencopot label “manipulator mata uang” yang sempat disematkannya kepada China.

Seperti yang diketahui, sebelumnya pada tahun lalu AS melalui kementerian keuangannya menyematkan label “manipulator mata uang” kepada Beijing. Penyebabnya, People’s Bank of China (PBOC) selaku bank sentral China seringkali dengan sengaja melemahkan nilai tukar yuan. Hal ini dilakukan untuk menggenjot ekspor Negeri Panda.

Melansir World Economic Outlook (WEO) periode Oktober 2019 yang dipublikasikan oleh International Monetary Fund (IMF), perekonomian China diproyeksikan tumbuh sebesar 5,819% pada tahun 2020, yang berarti perlambatannya tak separah perlambatan di tahun 2019.

Ingat, proyeksi tersebut dibuat oleh IMF pada Oktober 2019 kala AS dan China belum mengumumkan dicapainya kesepakatan dagang tahap satu. Dengan kini kesepakatan dagang tahap satu sudah diteken, angka pertumbuhan ekonomi China untuk tahun 2020 tentu bisa lebih tinggi lagi.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular