Investor Kalang Kabut, Ini Potret Lesunya Pasar Keuangan RI!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
26 August 2019 13:58
Investor Kalang Kabut, Ini Potret Lesunya Pasar Keuangan RI!
Foto: Gedung Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Investor di pasar keuangan global pada saat ini sedang kalang kabut. Bagaimana tidak, bursa saham AS alias Wall Street yang merupakan kiblat bursa saham sekaligus pasar keuangan global babak belur menjelang akhir pekan.

Pada perdagangan hari Jumat (23/8/2019), indeks Dow Jones ditutup anjlok 2,37%, indeks S&P 500 ambruk 2,59%, dan indeks Nasdaq Composite merosot 3%. Koreksi yang dalam menjelang akhir pekan membuat Wall Street ikut jatuh secara dalam secara mingguan. Dalam sepekan, indeks Dow Jones turun 0,99%, indeks S&P 500 ambruk 1,44%, dan indeks Nasdaq Composite anjlok 1,83%.

Eskalasi perang dagang AS-China menjelang akhir pekan terbukti sukses dalam memantik aksi jual dengan intensitas yang begitu besar di bursa saham Negeri Paman Sam. Eskalasi pertama dari pengumuman China bahwa pihaknya akan membebankan bea masuk bagi produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Pembebanan bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif dalam dua waktu, yakni 1 September dan 15 Desember. Bea masuk yang dikenakan China berkisar antara 5%-10%.

Lebih lanjut, China juga mengumumkan pengenaan bea masuk senilai 25% terhadap mobil asal pabrikan AS, serta bea masuk sebesar 5% atas komponen mobil, berlaku efektif pada 15 Desember. Untuk diketahui, China sebelumnya telah berhenti membebankan bea masuk tersebut pada bulan April, sebelum kini kembali mengaktifkannya.

"Sebagai respons terhadap tindakan AS, China terpaksa mengambil langkah balasan," tulis pernyataan resmi pemerintah China, dilansir dari CNBC International.

Eskalasi berikutnya datang dari langkah AS yang merespons bea masuk balasan dari China dengan bea masuk versinya sendiri. Melalui cuitan di Twitter, Trump mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.

Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.

"...Yang menyedihkan, pemerintahan-pemerintahan terdahulu telah membiarkan China lolos dari praktek perdagangan yang curang dan tidak berimbang, yang mana itu telah menjadi beban yang sangat berat yang harus ditanggung oleh masyarakat AS. Sebagai seorang Presiden, saya tak lagi bisa mengizinkan hal ini terjadi!...." cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.

Tak hanya saling balas bea masuk, Trump nampak sudah semakin all-in dalam menghadapi perang dagang dengan China. Sebelum mengumumkan bea masuk baru terhadap importasi produk asal China, melalui serangkaian cuitan di Twitter, Trump memerintahkan perusahaan-perusahaan asal AS untuk meninggalkan China.
"Perusahaan-perusahaan hebat asal AS dengan ini diperintahkan untuk segera mulai mencari alternatif atas China, termasuk membawa perusahaan-perusahaan Anda pulang dan membuat produk-produk Anda di AS," cetus Trump.

Memang, hingga saat ini belum jelas apakah Trump memang punya kuasa untuk mengutus perusahaan-perusahaan asal AS untuk hengkang dari China. Namun, jika ternyata sampai ada celah di sistem hukum AS yang bisa dimanfaatkan Trump untuk mengeksekusi perintahnya tersebut, dampaknya dipastikan akan parah.

Bagaimana tidak, sejauh ini China merupakan penyuplai barang terbesar bagi AS. Ada begitu banyak perusahaan-perusahaan AS yang membangun pabrik di sana lantaran biaya produksi yang lebih murah.

Jika sampai perusahaan-perusahaan asal AS dipaksa hengkang dari China, kegiatan produksi di seluruh dunia bisa terganggu dan ancaman resesi menjadi kian nyata.
Seiring dengan bara perang dagang AS-China yang begitu panas, pasar keuangan tanah air pun dilanda tekanan jual. Per akhir sesi satu perdagangan hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat koreksi sebesar 0,99% ke level 6.193,89. Pada titik terlemahnya hari ini di level 6.149,02, IHSG tercatat anjlok sebesar 1,7%.  

Investor asing ikut berperan dalam mendorong IHSG terperosok ke zona merah. Per akhir sesi satu, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 307 miliar di pasar reguler.


Beralih ke pasar obligasi, hingga siang hari ini pasar obligasi tanah air membukukan koreksi, ditunjukkan oleh mayoritas imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia seri acuan yang bergerak naik.

Di pasar obligasi, yang menjadi acuan adalah tenor 5 tahun (FR0077), 10 (FR0078), 15 (FR0068), dan 20 tahun (FR0079). Hingga siang hari ini, yield obligasi tenor 5, 10, dan 20 tahun seri acuan naik masing-masing sebesar 6,3 bps, 5,7 bps, dan 0,9 bps.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.



Beralih ke rupiah, hingga siang hari ini rupiah tercatat melemah sebesar 0,39% di pasar spot ke level Rp 14.265/dolar AS.

Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi terus saling balas mengenakan bea masuk untuk produk impor dari masing-masing negara, apalagi jika sampai AS memaksa perusahaan-perusahaan untuk hengkang dari China, memang aktivitas konsumsi dan investasi akan terpengaruh yang pada akhirnya membuat aktivitas perdagangan dunia menjadi lesu.

Pada tahun 2017, International Monetary Fund (IMF) mencatat pertumbuhan ekonomi global melonjak menjadi 3,789%, dari yang sebelumnya 3,372% pada tahun 2016, sekaligus menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2011.

Pada tahun 2018, pertumbuhan ekonomi global melandai menjadi 3,598%. Untuk tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan kembali melandai menjadi 3,328%. Jika terealisasi, maka akan menandai laju pertumbuhan ekonomi terburuk sejak tahun 2009 kala perekonomian global justru terkontraksi sebesar 0,107% akibat krisis keuangan global.

Seiring dengan tingginya risiko yang membayangi perekonomian global, pelaku pasar memilih untuk melepas instrumen keuangan di Indonesia yang relatif berisiko dan mengalihkannya ke instrumen yang masuk kategori safe haven seperti dolar AS. Hingga berita ini diturunkan, indeks dolar AS tercatat menguat sebesar 0,04%.

Selain itu, emas yang juga merupakan safe haven ikut menjadi preferensi bagi pelaku pasar. Hingga berita ini diturunkan, harga emas di pasar spot dunia menguat 1% ke level US$ 1.541,42/troy ons.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular