Jangan Nyinyir: IHSG Terburuk Se-Asia & Rupiah Terburuk Kedua

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 September 2019 14:53
Jangan Nyinyir: IHSG Terburuk Se-Asia & Rupiah Terburuk Kedua
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Senin ini menjadi Senin yang begitu kelam bagi pasar keuangan tanah air. Bagaimana tidak, pasar keuangan Indonesia dilanda tekanan jual dengan intensitas yang begitu besar pada perdagangan perdana di pekan ini.

Hingga berita ini diturunkan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang merupakan indeks saham acuan di Indonesia ambruk hingga 2,03% ke level 6.206,07. Sejatinya, mayoritas bursa saham utama kawasan Asia juga ditransaksikan melemah. Namun, koreksi hingga 2% lebih yang dibukukan IHSG menjadikannya indeks saham dengan kinerja terburuk di kawasan Asia.



Sementara itu, rupiah melemah sebesar 0,62% di pasar spot ke level 14.046/dolar AS. Rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia setelah rupee yang terkoreksi 0,79% melawan dolar AS.



Sejatinya, ada sentimen positif yang menyertai perdagangan hari ini yakni hubungan AS-China yang kian mesra di bidang perdagangan. Menjelang akhir pekan kemarin, Kementerian Perdagangan China mengumumkan bahwa produk-produk agrikultur asal AS seperti kedelai dan daging babi akan dimasukkan ke dalam daftar produk yang diberikan pembebasan atas bea masuk tambahan, dilansir dari CNBC International.

Pengumuman tersebut melengkapi pengumuman pada hari Rabu (11/9/2019) kala Kementerian Keuangan China mengumumkan daftar produk impor asal AS yang akan dibebaskan dari pengenaan bea masuk baru. Melansir CNBC International, ada sebanyak 16 jenis produk impor yang diberikan pembebasan oleh China, termasuk pakan ternak, obat untuk kanker, dan pelumas. Pembebasan ini akan mulai berlaku pada tanggal 17 September hingga September 2020.

Pembebasan produk agrikultur asal AS dari bea masuk tambahan diumumkan pasca Presiden AS Donald Trump mengumumkan melalui media sosial Twitter bahwa kenaikan bea masuk bagi produk impor asal China yang sebelumnya dijadwalkan akan mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober, diundur menjadi tanggal 15 Oktober.

Untuk diketahui, bea masuk yang diundur tersebut merupakan bea masuk yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 250 miliar. Pemerintahan Presiden Trump akan menaikkan bea masuk bagi produk senilai US$ 250 miliar tersebut menjadi 30%, dari yang sebelumnya 25%.

Trump mengungkapkan bahwa keputusan tersebut diambil berdasarkan permintaan dari Wakil Perdana Menteri China Liu He, beserta dengan fakta bahwa tanggal 1 Oktober merupakan peringatan ke 70 tahun dari lahirnya Republik Rakyat China.

Seharusnya kehadiran sentimen positif, apalagi jika berbau damai dagang AS-China, bisa memantik aksi beli atas instrumen keuangan di negara-negara Asia.

Namun apa daya, potensi perang antara AS dengan Iran membuat pelaku pasar panik dan meninggalkan instrumen keuangan di negara-negara Asia.

Pada akhir pekan kemarin, serangan menggunakan pesawat tanpa awak (drone) diluncurkan ke Arab Saudi dan menyebabkan kerusakan di kilang minyak terbesar dunia dan ladang minyak terbesar kedua di kerajaan tersebut. Akibat serangan tersebut, Saudi Aramco terpaksa memangkas produksinya hingga sekitar 50%.

Walau kaum pemberontak Houthi yang berasal dari Yemen sudah mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut, AS menuduh Iran sebagai dalangnya, sebuah tuduhan yang sudah dibantah sendiri oleh Iran.

Trump mengatakan bahwa AS kini telah siap untuk melakukan serangan, namun pihaknya menunggu konfirmasi dari Arab Saudi terkait dengan dalang di balik serangan tersebut sebelum meluncurkan aksi balasan. Perkembangan tersebut sangat mungkin membuat AS benar-benar menyerang Iran.

Untuk diketahui, tensi antar kedua negara memang sudah memanas dalam beberapa waktu terakhir. Hubungan kedua negara mulai memanas pasca AS menarik diri dari kesepakatan internasional yang bertujuan untuk membatasi ruang gerak Iran dalam mengembangkan senjata nuklir. Menurut Trump, kesepakatan tersebut tak cukup dalam membatasi ruang gerak Iran. AS pun pada akhirnya kembali mengenakan sanksi ekonomi bagi Tehran.

Bahkan, Trump sempat hampir meluncurkan serangan kepada Iran pada bulan Juni pasca  drone asal AS ditembak oleh pihak Iran. Namun, Trump akhirnya melunak lantaran khawatir akan ada banyak korban jiwa yang berjatuhan jika serangan tersebut tetap dieksekusi.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Cukai Rokok Naik Drastis, Surplus Neraca Dagang Jauh di Bawah Ekspektasi

Tekanan terhadap pasar saham dan mata uang tanah air lebih besar jika dibandingkan dengan yang dialami negara-negara tetangga seiring dengan kehadiran sentimen negatif dari dalam negeri.

Untuk pasar saham, ada kenaikan tarif cukai rokok yang begitu drastis. Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23% mulai Januari 2020.

Keputusan tersebut dikemukakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai menggelar rapat secara tertutup di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Sri Mulyani mengatakan bahwa dengan kenaikan tarif cukai rokok tersebut, maka harga jual eceran (HJE) pun mengalami kenaikan hingga 35%.

"Kenaikan average 23% untuk tarif cukai, dan 35% dari harga jualnya yang akan kami tuangkan dalam Permenkeu," kata Sri Mulyani.

Untuk diketahui, pada tahun 2019 pemerintah memutuskan untuk tak menaikkan tarif cukai rokok.

Saham-saham emiten produsen rokok pun dilego pelaku pasar. Hingga berita ini diturunkan, harga saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) ambruk 18,57%, menjadikannya saham dengan kontribusi negatif terbesar bagi IHSG. Sementara itu, harga saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) anjlok 19,51%, menjadikannya saham dengan kontribusi negatif terbesar kedua bagi IHSG.

Di titik terendahnya hari ini, harga saham HMSP sempat jatuh hingga 22% yang merupakan kinerja terburuk sejak tahun 1991. Sementara itu, di titik terlemahnya hari ini harga saham GGRM sempat turun sebanyak 22% juga, menandai kinerja terburuk sejak Mei 1998.

Dikhawatirkan, kenaikan tarif cukai rokok yang begitu signifikan pada tahun depan akan menekan konsumsi masyarakat.

Untuk rupiah, tekanan dari dalam negeri datang dari rilis data perdagangan internasional periode Agustus 2019 oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Sepanjang bulan Agustus, BPS mencatat bahwa ekspor jatuh 9,99% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan kontraksi sebesar 5,7% saja. Sementara itu, impor terkontraksi sebesar 15,6%, juga lebih dalam dibandingkan konsensus yang memperkirakan penurunan sebesar 11,295%. Alhasil, surplus neraca dagang pada bulan lalu hanyalah sebesar US$ 80 juta, jauh lebih kecil dari proyeksi yang sebesar US$ 146 juta.

Surplus neraca dagang yang jauh lebih rendah dari ekspektasi membuat pelaku pasar khawatir bahwa defisit transaksi berjalan/currenct account deficit (CAD) akan terus bengkak di kuartal III-2019.

Pada kuartal I-2019, BI mencatat CAD berada di level 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 2,01% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 3,04% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 3,01% dari PDB.

Ketika CAD tak juga bisa diredam, maka rupiah memang akan mendapatkan tekanan. Untuk diketahui, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/ank) Next Article Sentimen Negatif Menyerbu, Begini 'Jeritan' Pasar Keuangan RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular