
Harga SUN Mulai Terkoreksi, Reli Panjang pun Terhenti

Tidak ada sentimen negatif penyebab koreksi, sehingga penurunan harga Surat Utang Negara (SUN) hari ini lebih disebabkan oleh alasan teknis yaitu sudah masuki area jenuh beli (overbought) meskipun untuk sementara waktu.
Turunnya harga SUN itu seiring dengan koreksi yang terjadi di pasar surat utang pemerintah negara lain.
Data Refinitiv menunjukkan terkoreksinya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menaikkan tingkat imbal hasilnya (yield).
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum. Keempat seri yang menjadi acuan pasar adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.
Seri acuan yang paling melemah adalah FR0077 yang bertenor 5 tahun dengan kenaikan yield 1,4 basis poin (bps) menjadi 6,68%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Pelemahan SBN hari ini juga membuat selisih (spread) yield obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan yield surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa mencapai 553 bps, menyempit dari posisi kemarin 555 bps.
Yield US Treasury 10 tahun naik lagi 1,9 bps hingga 1,72% dari posisi kemarin 1,7%.
Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi pada pasangan seri 3 bulan-5 tahun, 2 tahun-5 tahun, 3 tahun-5 tahun, dan 3 bulan-10 tahun, yang lumrah terjadi sejak perang dagang China-AS memanas pada April lalu.
Saat ini pelaku pasar global lebih menantikan inversi yang terjadi pada yield tenor 2 tahun-10 tahun yang mulai tidak terlihat semenjak tensi AS-China adem pekan lalu, sebagai indikator yang lebih menegaskan kembali bahwa potensi resesi AS semakin dekat dibanding inversi tenor lain.
Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri lebih pendek dibanding yield seri lebih panjang.
Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Terkait dengan porsi investor di pasar SBN, data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) terakhir menunjukkan investor asing menggenggam Rp 1.011,61 triliun SBN, atau 38,43% dari total beredar Rp 2.632 triliun berdasarkan data per 9 September.
Angka kepemilikannya masih positif atau bertambah Rp 118,36 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, sehingga persentasenya masih naik dari 37,71% pada periode yang sama. Sejak akhir pekan lalu, investor asing tercatat masuk ke pasar SUN senilai Rp 1,04 triliun dan sejak awal bulan sudah surplus Rp 2,01 triliun.
Koreksi di pasar surat utang hari ini juga terjadi di pasar ekuitas dan rupiah di pasar valas, yang masing-masingnya turun 0,04% menjadi 6.334 untuk IHSG dan 0,04% menjadi Rp 14.050 per dolar SA untuk rupiah.
Dari pasar surat utang negara berkembang dan maju, koreksi masih terjadi sehingga yield mayoritas obligasi negara tersebut naik.
Hal tersebut mencerminkan investor global sedang menghindari obligasi pemerintah karena sedang dibekap sentimen positif terkait dengan sifat instrumen utang yang dinilai lebih aman dibanding pasar ekuitas.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/tas) Next Article Tunggu Suku Bunga BI Sore Ini, Harga SUN Naik Tipis
