
Kondisi Eksternal Terkendali, IHSG Hijau 2 Hari Beruntun
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 September 2019 16:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan dengan apresiasi sebesar 0,39% ke level 6.294,28, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tak pernah sekalipun merasakan pahitnya zona merah pada perdagangan hari ini, Kamis (5/9/2019).
Per akhir sesi dua, data BEI mencatat, indeks saham acuan di Indonesia tersebut menguat sebesar 0,59% ke level 6.306,8, menandai apresiasi selama 2 hari beruntun. Pada perdagangan kemarin (4/9/2019), IHSG menguat tipis sebesar 0,13%.
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga melaju di zona hijau: indeks Nikkei melesat 2,12%, indeks Shanghai menguat 0,96%, indeks Straits Times naik 0,38%, dan indeks Kospi terapresiasi 0,82%.
Kabar gembira terkait perkembangan perang dagang AS-China sukses membuat pelaku pasar saham Benua Kuning melakukan aksi beli dengan intensitas yang besar. Pada hari ini, Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa delegasi kedua negara melakukan perbincangan via sambungan telepon pada pagi hari.
Perbincangan via sambungan telepon ini melibatkan berbagai tokoh penting seperti Wakil Perdana Menteri China Liu He, Gubernur Bank Sentral China Yi Gang, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin.
Hasilnya, kedua belah pihak menyepakati gelaran negosiasi dagang secara tatap muka pada awal bulan depan, dilansir dari CNBC International. AS dan China akan menggelar negosiasi tersebut di Washington, D.C. yang merupakan ibu kota dari AS.
Menurut pernyataan resmi dari Kementerian Perdagangan China, kedua belah pihak akan menggelar konsultasi pada pertengahan bulan ini sebagai bagian dari persiapan negosiasi tatap muka di awal bulan depan.
Lantas, asa damai dagang AS-China yang sempat redup kini kembali membuncah. Sebelumnya, menurut sumber-sumber yang mengetahui masalah tersebut, pejabat pemerintahan AS dan China disebut sedang kesulitan untuk menyetujui gelaran negosiasi dagang secara tatap muka, melansir Bloomberg.
Penyebabnya, AS menolak permintaan dari Beijing untuk menunda pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal China yang dimulai pada akhir pekan kemarin.
Seperti yang diketahui, pada tanggal 1 September waktu setempat AS resmi memberlakukan bea masuk baru sebesar 15% yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 112 miliar. Pakaian, sepatu, hingga kamera menjadi bagian dari daftar produk yang diincar AS pada kesempatan ini.
Di sisi lain, aksi balasan dari China berlaku selepas AS bersikeras menerapkan bea masuk baru terhadap Beijing. China mengenakan bea masuk baru yang berkisar antara 5-10% bagi sebagian produk yang masuk dalam daftar target senilai US$ 75 miliar. Daging babi, daging sapi, dan berbagai produk pertanian lainnya tercatat masuk dalam daftar barang yang menjadi lebih mahal per tanggal 1 September kemarin.
Untuk diketahui, AS masih akan mengenakan bea masuk baru terhadap berbagai produk impor China lainnya pada tanggal 15 Desember. Jika ditotal, nilai barang yang terdampak dari kebijakan AS pada hari ini dan tanggal 15 Desember nanti adalah US$ 300 miliar, dilansir dari CNBC International.
Sementara itu, sisa barang dalam daftar target senilai US$ 75 miliar yang hingga kini belum dikenakan bea masuk baru oleh China, akan mulai terdampak pada tanggal 15 Desember.
Diharapkan, gelaran negosiasi dagang pada awal bulan depan bisa membawa kedua negara meneken kesepakatan dagang, sekaligus menghindarkan perekonomian keduanya dari yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Sementara untuk China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.
Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia bisa menghindari yang namanya hard landing, maka perekonomian dunia dipastikan akan bisa melaju di level yang relatif tinggi.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 ->
Per akhir sesi dua, data BEI mencatat, indeks saham acuan di Indonesia tersebut menguat sebesar 0,59% ke level 6.306,8, menandai apresiasi selama 2 hari beruntun. Pada perdagangan kemarin (4/9/2019), IHSG menguat tipis sebesar 0,13%.
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga melaju di zona hijau: indeks Nikkei melesat 2,12%, indeks Shanghai menguat 0,96%, indeks Straits Times naik 0,38%, dan indeks Kospi terapresiasi 0,82%.
Kabar gembira terkait perkembangan perang dagang AS-China sukses membuat pelaku pasar saham Benua Kuning melakukan aksi beli dengan intensitas yang besar. Pada hari ini, Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa delegasi kedua negara melakukan perbincangan via sambungan telepon pada pagi hari.
![]() |
Perbincangan via sambungan telepon ini melibatkan berbagai tokoh penting seperti Wakil Perdana Menteri China Liu He, Gubernur Bank Sentral China Yi Gang, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin.
Hasilnya, kedua belah pihak menyepakati gelaran negosiasi dagang secara tatap muka pada awal bulan depan, dilansir dari CNBC International. AS dan China akan menggelar negosiasi tersebut di Washington, D.C. yang merupakan ibu kota dari AS.
Menurut pernyataan resmi dari Kementerian Perdagangan China, kedua belah pihak akan menggelar konsultasi pada pertengahan bulan ini sebagai bagian dari persiapan negosiasi tatap muka di awal bulan depan.
Lantas, asa damai dagang AS-China yang sempat redup kini kembali membuncah. Sebelumnya, menurut sumber-sumber yang mengetahui masalah tersebut, pejabat pemerintahan AS dan China disebut sedang kesulitan untuk menyetujui gelaran negosiasi dagang secara tatap muka, melansir Bloomberg.
Penyebabnya, AS menolak permintaan dari Beijing untuk menunda pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal China yang dimulai pada akhir pekan kemarin.
Seperti yang diketahui, pada tanggal 1 September waktu setempat AS resmi memberlakukan bea masuk baru sebesar 15% yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 112 miliar. Pakaian, sepatu, hingga kamera menjadi bagian dari daftar produk yang diincar AS pada kesempatan ini.
Di sisi lain, aksi balasan dari China berlaku selepas AS bersikeras menerapkan bea masuk baru terhadap Beijing. China mengenakan bea masuk baru yang berkisar antara 5-10% bagi sebagian produk yang masuk dalam daftar target senilai US$ 75 miliar. Daging babi, daging sapi, dan berbagai produk pertanian lainnya tercatat masuk dalam daftar barang yang menjadi lebih mahal per tanggal 1 September kemarin.
Untuk diketahui, AS masih akan mengenakan bea masuk baru terhadap berbagai produk impor China lainnya pada tanggal 15 Desember. Jika ditotal, nilai barang yang terdampak dari kebijakan AS pada hari ini dan tanggal 15 Desember nanti adalah US$ 300 miliar, dilansir dari CNBC International.
Sementara itu, sisa barang dalam daftar target senilai US$ 75 miliar yang hingga kini belum dikenakan bea masuk baru oleh China, akan mulai terdampak pada tanggal 15 Desember.
Diharapkan, gelaran negosiasi dagang pada awal bulan depan bisa membawa kedua negara meneken kesepakatan dagang, sekaligus menghindarkan perekonomian keduanya dari yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Sementara untuk China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.
Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia bisa menghindari yang namanya hard landing, maka perekonomian dunia dipastikan akan bisa melaju di level yang relatif tinggi.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 ->
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular