Terungkap, Ini Penyebab Rupiah Kalah Jauh dari Baht!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
29 August 2019 07:33
Terungkap, Ini Penyebab Rupiah Kalah Jauh dari Baht!
Foto: Ilustrasi Investasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2019 merupakan tahun yang sulit bagi pasar keuangan Indonesia, pun begitu bagi pasar keuangan dunia. Bayangkan, berbagai sentimen negatif terus menghantui pergerakan pasar keuangan dunia di sepanjang tahun ini.

Namun yang melegakan, ternyata kinerja rupiah di sepanjang tahun ini bisa dibilang oke. Memang, sepanjang tahun ini rupiah hanya menguat tipis sebesar 0,87% di pasar spot melawan dolar AS.

Akan tetapi, mayoritas mata uang negara-negara kawasan Asia lainnya justru melemah di hadapan dolar AS. Tercatat, hanya ada empat negara yang mata uangnya bisa menaklukkan greenback pada tahun ini, termasuk Indonesia. Tiga lainnya adalah Thailand, Jepang, dan Filipina.



Khusus untuk yen, wajar jika mata uang Negeri Sakura tersebut menunjukkan kinerja yang oke sepanjang tahun ini. Pasalnya, yen merupakan safe haven atau instrumen yang akan menjadi tempat persinggahan pelaku pasar kala kondisi tak mendukung untuk masuk ke instrumen yang relatif berisiko.

Namun, kinclongnya kinerja baht selaku mata uang Thailand patut menjadi sorotan. Bukan safe haven, tapi baht mampu memukul mundur dolar AS sebesar lebih dari 5%.

Untuk diketahui, salah satu sentimen yang mewarnai pergerakan pasar keuangan dunia di sepanjang tahun ini adalah perang dagang AS-China yang kian hari kian panas saja. Menjelang dan pada akhir pekan kemarin, perang dagang antar dua negara terbesar di dunia tersebut kembali tereskalasi.

Eskalasi pertama dari pengumuman China bahwa pihaknya akan membebankan bea masuk bagi produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Pembebanan bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif dalam dua waktu, yakni 1 September dan 15 Desember. Bea masuk yang dikenakan China berkisar antara 5%-10%.

Lebih lanjut, China juga mengumumkan pengenaan bea masuk senilai 25% terhadap mobil asal pabrikan AS, serta bea masuk sebesar 5% atas komponen mobil, berlaku efektif pada 15 Desember. Untuk diketahui, China sebelumnya telah berhenti membebankan bea masuk tersebut pada bulan April, sebelum kini kembali mengaktifkannya.

Eskalasi berikutnya datang dari langkah AS yang merespons bea masuk balasan dari China dengan bea masuk versinya sendiri. Melalui cuitan di Twitter, Trump mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.

Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.

Kala perang dagang antar dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia terus-menerus memanas, perekonomian global akan mendapatkan tekanan yang signifikan dan itulah yang terjadi saat ini.

Pada tahun 2018 dan 2019, perang dagang AS-China membawa laju perekonomian dunia meredup. Pada tahun 2017, International Monetary Fund (IMF) mencatat pertumbuhan ekonomi dunia melonjak menjadi 3,789%, dari yang sebelumnya 3,372% pada tahun 2016, sekaligus menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2011.

Pada tahun 2018, pertumbuhan ekonomi dunia melandai menjadi 3,6%. Untuk tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia akan kembali melandai menjadi 3,2%. Jika terealisasi, maka akan menandai laju pertumbuhan ekonomi terburuk sejak tahun 2009 kala perekonomian dunia justru terkontraksi sebesar 0,107% akibat krisis keuangan global.

Tak heran jika mata uang negara-negara kawasan Asia dilego pelaku pasar untuk ditukarkan ke dolar AS yang juga merupakan safe haven seperti yen.

Tapi, apa yang membuat rupiah sampai kalah jauh dari baht?

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Padahal, Pertumbuhan Ekonomi Thailand Anjlok Loh

Baht mampu membukukan apresiasi yang luar biasa signifikan kala pertumbuhan ekonomi Thailand justru melambat. Tercatat, pertumbuhan ekonomi Thailand melambat dengan sangat signifikan dalam dua kuartal pertama tahun ini.

Pada kuartal I-2019, perekonomian Thailand tercatat tumbuh sebesar 2,8% secara tahunan (year-on-year/YoY), melansir data dari Refinitiv. Pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode kuartal I-2018 yang mencapai 5% YoY.

Pada kuartal II-2019, perekonomian Thailand membukukan pertumbuhan sebesar 2,3% YoY, juga melambat dari pertumbuhan periode yang sama tahun sebelumnya (kuartal II-2018) yang sebesar 4,7% YoY.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejatinya mampu menanjak di kuartal I-2019, walaupun tipis saja, sebelum akhirnya diikuti oleh perlambatan pada tiga bulan kedua tahun 2019. Namun, perlambatannya tak separah dengan yang dialami oleh Thailand.

Melansir data Refinitiv, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,07% YoY pada kuartal I-2019, naik tipis dari pertumbuhan pada kuartal I-2018 yang sebesar 5,06% YoY. Pada kuartal II-2019, perekonomian Indonesia membukukan pertumbuhan sebesar 5,05% YoY, turun dari pertumbuhan periode yang sama tahun sebelumnya (kuartal II-2018) yang sebesar 5,27% YoY.

Untuk keseluruhan tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Thailand anjlok menjadi 3,47%, dari yang sebelumnya 4,1% pada tahun 2018.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2019 diproyeksikan berada di level 5,24%, naik dari capaian tahun 2018 yang sebesar 5,17%.

Seharusnya, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi bisa menjadi modal yang besar bagi mata uang dari suatu negara untuk bergerak ke posisi yang lebih perkasa. Tapi, yang terjadi pada tahun ini justru sebaliknya. 

Thailand yang perekonomiannya bisa dibilang sedang loyo justru melihat mata uangnya terus mencetak apresiasi melawan dolar AS, sementara Indonesia yang relatif lebih oke laju perekonomiannya justru hanya mampu menguat tipis melawan greenback. 

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Fundamental Ekonomi Sudah Kokoh

Walaupun pertumbuhan ekonomi tahun ini melambat, tapi ternyata pertumbuhan ekonomi Thailand di periode-periode sebelumnya begitu pesat. Terhitung sejak tahun 2015, tak pernah sekalipun perekonomian Negeri Gajah Putih tumbuh melambat.

Pada tahun 2014, perekonomian Thailand tercatat hanya tumbuh sebesar 1%, jauh melambat jika dibandingkan dengan capaian tahun 2013 yang sebesar 2,7%. Namun pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi melonjak menjadi 3,1%.

Pada tiga tahun berikutnya (2016-2018), pertumbuhan ekonomi terus bergerak naik dengan tambahan kenaikan yang relatif besar, masing-masing menjadi 3,4%, 4%, dan 4,1%.

Sementara untuk Indonesia, perekonomian tanah air terlihat begitu terseok-seok dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2013, perekonomian Indonesia mampu membukukan pertumbuhan sebesar 5,56%, sebelum kemudian anjlok menjadi 5,01% pada tahun 2014.

Pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi kembali ambruk ke level 4,79%.

Dalam tiga tahun berikutnya (2016-2018), pertumbuhan ekonomi memang meningkat, namun besarannya kecil saja, masing-masing menjadi 5,02%, 5,07%, dan 5,17%.

Lantaran Thailand bisa memacu pertumbuhan ekonominya dengan begitu baik, fundamental perekonomiannya sudah siap untuk menghadapi guncangan eksternal yang banyak didapati pada tahun ini.

Jika berbicara mengenai mata uang, salah satu variabel penting yang mempengaruhi pergerakannya adalah posisi transaksi berjalan (current account) yang merupakan bagian dari neraca pembayaran (balance of payment).

Transaksi berjalan merupakan variabel penting dalam mendikte laju mata uang suatu negara lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen neraca pembayaran lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Terhitung semenjak tahun 2014, tak pernah sekalipun transaksi berjalan Thailand membukukan defisit. Pada tahun 2018, transaksi berjalan Thailand membukukan surplus sebesar 7,73% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

 

Kini, bandingkan dengan Indonesia. Sejak tahun 2011, tak ada lagi ceritanya transaksi berjalan mencetak surplus, yang ada selalu defisit.


Pada tahun ini, permasalahan klasik tersebut belum juga bisa ditemukan jalan keluarnya. Pada kuartal I-2019, Bank Indonesia (BI) mencatat CAD berada di level 2,6% dari PDB, jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 2,01% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 3,04% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 3,01% dari PDB.

BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Waktunya Berbenah!

Kini, pemerintah harus bergerak dengan cepat untuk berbenah. Pertumbuhan ekonomi harus digenjot, sembari diarahkan untuk mengatasi permasalahan bengkaknya CAD.

Salah satu hal yang bisa mulai dibenahi oleh pemerintah adalah terkait permasalahan pangan. Sepanjang tahun ini, carut-marut impor pangan membayangi perekonomian tanah air.

Catatan perdagangan luar negeri memperlihatkan bahwa sudah sejak tahun 1960 Indonesia terus melakukan impor beras. Pada tahun 2018, impor beras bahkan membengkak menjadi lebih dari 2 juta ton. Sepanjang Januari-Juni 2019, BPS mencatat impor beras telah mencapai 203 ribu ton.

Memang, jumlah impor beras relatif kecil ketimbang produksi beras dalam negeri. Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat produksi beras di tahun 2018 mencapai 83 juta ton.

Mungkin jika impor beras dilakukan sesekali sebagai antisipasi dari faktor cuaca yang mempengaruhi musim panen, masyarakat bisa paham dan maklum. Pasalnya, impor terkadang memang diperlukan untuk menjaga harga di tingkat konsumen. Menjaga konsumsi masyarakat memang kerap kali menjadi prioritas. Ingat, lebih dari 50% PDB Indonesia masih disumbang oleh konsumsi rumah tangga.

Namun, impor ini sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa pernah absen sekalipun, sehingga masuk akal jika pemerintah fokus untuk membenahi masalah tersebut.

Sejatinya, permasalahan impor pangan bukan terhenti pada beras. Jagung juga memiliki nasib serupa. Pada tahun 2018, total impor jagung Indonesia mencapai 737,2 ribu ton senilai US$ 159,4 juta (Rp 2,2 triliun). Jumlah impor jagung pada tahun 2018 meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 517,4 ribu ton senilai US$ 114,07 (Rp 1,59 triliun).

Sama halnya dengan beras, impor jagung juga dilakukan setiap tahun tanpa absen sekalipun, setidaknya sejak 1989, menandakan bahwa produksi dalam negeri tidak pernah mampu untuk memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri.

Tidak hanya tanaman pangan, hortikultura pun bernasib serupa.

Pada tahun 2018, tercatat ada sebanyak 582 ribu ton bawang putih impor yang masuk ke Indonesia dengan total nilai mencapai US$ 497 juta, berdasarkan data dari UN Comtrade. Dengan asumsi kurs Rp 14.000/dolar AS, nilai tersebut setara dengan Rp 6,96 triliun. Tentu bukan jumlah yang sedikit, apalagi dilakukan setiap tahun.

Bahkan, data dari UN Comtrade menunjukkan bahwa Indonesia merupakan importir bawang putih terbesar di dunia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular