Bunga Acuan Sudah Dipangkas 2 Kali, kok Saham Bank Longsor?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
27 August 2019 16:36
Bunga Acuan Sudah Dipangkas 2 Kali, kok Saham Bank Longsor?
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga saham emiten-emiten perbankan mengalami koreksi dalam beberapa waktu terakhir. Terhitung sejak awal Juli hingga perdagangan Selasa ini (27/8/2019), dari enam emiten perbankan yang masuk dalam kategori BUKU 4 (bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun),empat di antaranya harus pasrah melihat harga sahamnya terkoreksi.

Data perdagangan mencatat, dalam periode tersebut, harga saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) anjlok 18,2%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) ambruk 12,1%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) jatuh 5,7%, dan PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) melemah 4,9%.

Sementara itu, dalam periode yang sama harga saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Pan Indonesia Tbk (PNBN) bisa mencetak apresiasi. Harga saham BBCA naik tipis 0,2%, sementara harga saham PNBN melejit 11,5%.



Padahal, Bank Indonesia (BI) tercatat sudah cukup agresif dalam memangkas tingkat suku bunga acuan. Selama 2 bulan beruntun sudah dua kali tingkat suku bunga acuan dipangkas oleh bank sentral yakni pada 18 Juli dan 22 Agustus lalu.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Agustus 2019 memutuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (22/8/2019).


Pemangkasan tingkat suku bunga acuan seharusnya bisa berdampak positif terhadap kinerja keuangan perbankan dan harga sahamnya.

Ketika tingkat suku bunga acuan dipangkas, ada peluang bank bisa memperbesar margin bunga bersih/Net Interest Margin (NIM). Selain itu, penyaluran kredit juga bisa dipacu untuk melaju dengan lebih deras, seiring dengan diturunkannya tingkat suku bunga kredit.

Ketatnya likuiditas yang pada akhirnya menjadi penghambat dalam menyalurkan kredit menjadi faktor yang melandasi aksi jual atas saham-saham bank dengan modal jumbo tersebut.


Belum lama ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempublikasikan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode Juni 2019. Per Juni 2019, rasio penyaluran kredit terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) atau Loan to Deposits Ratio (LDR) tercatat naik menjadi 94,98%, dari yang sebelumnya 92,76% pada Juni 2018. Per Desember 2018, LDR berada di level 94,78%.



Ketatnya likuiditas sudah terjadi sejak Mei 2018 silam atau ketika BI mulai mengerek naik tingkat suku bunga acuan yang jika kemudian ditotal mencapai 175 bps.

Likuiditas ketat karena bank bersaing secara sengit dengan pemerintah dalam menyerap dana masyarakat. Penyebabnya, semenjak BI mulai menginjak gas pengetatan, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah terus bergerak ke utara.



Ketatnya likuiditas tersebut kemudian mempengaruhi kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit. Jika di bulan-bulan sebelumnya penyaluran kredit bisa membukukan pertumbuhan yang lebih kencang jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, hal tersebut tak lagi didapati pada bulan Juni.

Hingga Juni 2019, OJK mencatat bahwa penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank adalah senilai Rp 5.255,1 triliun, naik 9,8% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah ketimbang capaian pada Juni 2018 yang mencapai 11,1 (year-on-year/YoY).


Di sisi lain, lesunya penyerapan DPK kembali terjadi di bulan Juni. Per Juni 2019, DPK bank umum konvensional tercatat senilai Rp 5.532,9 triliun, naik 7,3% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Pertumbuhan tersebut sejatinya memang lebih tinggi ketimbang capaian pada Juni 2018 yakni pertumbuhan sebesar 7% YoY. Namun, pertumbuhannya masih berada jauh di bawah pertumbuhan penyaluran kredit.

Karena likuiditas ketat, mau tak mau suku bunga pinjaman yang ditawarkan bank harus menarik. Alhasil, NIM perbankan menjadi menipis.

Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.

Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.

Pada Juni 2018, NIM bank umum konvensional berada di level 5,11%. Pada Juni 2019, nilainya sudah ambruk menjadi 4,9% saja.



BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Utak-Atik Direksi ala Menteri Rini
Selain itu, kekhawatiran terkait perombakan direksi dari bank kategori BUKU 4 yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ikut menjadi faktor yang melandasi aksi jual atas saham-sahamnya.

Pekan ini BMRI, BBNI, dan BBRI akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). RUPSLB Bank Mandiri akan digelar besok (28/8/2019), disusul oleh RUPSLB dari BNI pada hari Jumat (30/8/2019). Pada tanggal 2 September, giliran BRI yang menggelar RUPSLB.

RUPSLB tersebut merupakan permintaan dari Rini Soemarno selaku Menteri BUMN. Deputi Jasa Keuangan, Survei dan Konsultan Kementerian BUMN Gatot Trihargo sebelumnya menyebut bahwa tujuan pelaksanaan RUPSLB tersebut untuk melihat kinerja laporan keuangan selama semester I-2019 dan untuk perubahan susunan pengurus perseroan (direksi dan komisaris).

"Manajemen bisa mengusulkan agenda tambahan untuk aksi korporasi yang perlu persetujuan pemegang saham seperti akuisisi dan penerbitan bond (obligasi)," kata Gatot dalam siaran persnya, Kamis (18/7/2019).

Padahal, kalau diingat sejatinya Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah melarang para menterinya untuk membuat kebijakan strategis, minimal hingga Oktober 2019 atau sebelum periode kedua pemerintahan Jokowi.


Kalau berbicara mengenai Kementerian BUMN, salah satu fungsinya adalah mendorong perusahaan-perusahaan pelat merah untuk mencetak kinerja keuangan sebaik mungkin, guna mendukung pembiayaan belanja pemerintah melalui dividen yang mereka salurkan ke kas negara.

Guna mendorong BUMN supaya bisa mencetak kinerja yang maksimal, tentu perencanaan menjadi salah satu kuncinya. Dibutuhkan roadmap yang jelas dan terukur untuk memaksimalkan setiap sumber daya yang dimiliki oleh BUMN itu sendiri.

Nah, roadmap ini merupakan tanggung jawab dari jajaran direksi (yang saat ini santer diisukan akan dirombak secara masal oleh Menteri Rini).

Kalau tanpa sebab yang jelas jajaran direksi dirombak, tentu implementasi roadmap yang sudah dibuat dengan susah payah akan menjadi sulit untuk diimplementasikan secara maksimal.

Menteri Rini harus belajar dari kasus yang terjadi di tubuh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) yang merupakan maskapai pelat merah. Pada awal masa jabatan Menteri Rini, Arif Wibowo diangkat menjadi Dirut Garuda untuk masa kepemimpinan 2014-2019. Kala itu RUPS juga melakukan perampingan jumlah dewan direksi dari delapan menjadi enam.

Namun belum tuntas masa jabatan, Arif Wibowo keburu dilengserkan pada April 2017 dan digantikan oleh Pahala Nugraha Mansury (mantan Direktur Keuangan Bank Mandiri).

Bank Indonesia Pangkas Bunga Lagi, Kok Saham Bank Longsor?Foto: Garuda Indonesia Tinjau Kembali Kerjasama dengan Mahata Aero Teknologi (CNBC Indonesia TV)
Nasib Pahala kemudian sama dengan Arif Wibowo, dirinya dicopot dari jabatan sebelum waktunya, yakni pada September 2018 dan Pahala kemudian menjadi direktur keuangan Pertamina.

Berdasarkan RUPSLB yang berlangsung saat itu, Ari Ashkara yang merupakan Dirut PT Pelindo III didapuk menjadi pimpinan Garuda menggantikan Pahala Nugraha.

Tak sampai 5 tahun, Rini mengganti posisi Dirut Garuda sebanyak tiga kali.

Kini, mari tengok kinerja keuangan Garuda. Pada tahun 2014, Garuda membukukan kerugian bersih senilai US$ 370 juta. Masuk ke tahun 2015, penunjukan dirut baru oleh Rini berhasil memutarbalikkan kondisi keuangan perusahaan.

Kala itu, Garuda membukukan laba bersih senilai US$ 76,5 juta. Masuk ke tahun 2016, walaupun turun drastis, setidaknya perusahaan masih bisa membukukan laba bersih, yakni senilai US$ 8,1 juta.

Pada tahun 2017 kala Menteri Rini memasukkan dirut baru, Garuda membukukan rugi bersih senilai US$ 216,6 juta.

Maju ke tahun 2018 kala posisi Dirut diganti lagi, Garuda malah menciptakan skandal yang menggemparkan pasar saham tanah air. Sejatinya, Garuda membukukan laba bersih senilai US$ 809.846 kala itu.

Namun, penyajian laporan keuangan tahun 2018 terbukti tak sesuai dengan ketentuan yang berlaku hingga akhirnya membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjatuhkan sanksi kepada perusahaan, di mana salah satunya adalah memperbaiki dan menyajikan kembali Laporan Keuangan Tahunan (LKT) tahun 2018.

"Memberikan Perintah Tertulis kepada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk untuk memperbaiki dan menyajikan kembali LKT PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk per 31 Desember 2018," demikian kutipan sanksi yang diberikan OJK dalam keterangan resminya, Jumat (28/6/2019).

Selain itu, sanksi yang diberikan oleh OJK termasuk juga berupa denda administratif, baik kepada Garuda sendiri maupun kepada para direksi dan komisarisnya.

Dikhawatirkan, kalau sampai direksi dari bank-bank BUMN tersebut benar diganti, kinerja keuangannya akan memburuk. Apalagi, seperti sudah disebutkan di halaman satu, saat ini perbankan sedang menghadapi permasalahan fundamental yakni likuiditas yang begitu ketat.

Kedua hal tersebut (permasalahan likuiditas dan kekhawatiran terkait perombakan direksi) membuat saham-saham bank BUMN yang masuk ke dalam kategori BUKU 4 dilego investor.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular