Gawat, Ketatnya Likuiditas Batasi Ruang Gerak Perbankan

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
27 August 2019 15:15
Gawat, Ketatnya Likuiditas Batasi Ruang Gerak Perbankan
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Belum lama ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempublikasikan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode Juni 2019.

Jika berbicara mengenai perbankan, tentu salah satu hal yang harus dilihat adalah dari sisi penyaluran kredit yang mulai lesu. Jika di bulan-bulan sebelumnya penyaluran kredit bisa membukukan pertumbuhan yang lebih kencang jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, hal tersebut tak lagi didapati pada bulan Juni.

Hingga Juni 2019, OJK mencatat bahwa penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank adalah senilai Rp 5.255,1 triliun, naik 9,8% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah ketimbang capaian pada Juni 2018 yang mencapai 11,1 (year-on-year/YoY).


Ketatnya likuiditas terbukti mulai mengendurkan kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit. Sepanjang tahun 2019, penyaluran kredit terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) atau Loan to Deposits Ratio (LDR) memang terus merangkak naik, menandakan bahwa penyaluran kredit yang deras sepanjang tahun ini tak diimbangi oleh kenaikan DPK yang memadai.

Lesunya penyerapan DPK kembali terjadi di bulan Juni. Per Juni 2019, DPK bank umum konvensional tercatat senilai Rp 5.532,9 triliun, naik 7,3% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut sejatinya memang lebih tinggi ketimbang capaian pada Juni 2018 yakni pertumbuhan sebesar 7% YoY. Namun, pertumbuhannya masih berada jauh di bawah pertumbuhan penyaluran kredit.

Per Juni 2019, LDR tercatat naik menjadi 94,98%, dari yang sebelumnya 92,76% pada Juni 2018. Per Desember 2018, LDR berada di level 94,78%.


Ketatnya likuiditas sudah terjadi sejak Mei 2018 silam atau ketika Bank Indonesia (BI) mulai mengerek naik tingkat suku bunga acuan yang jika kemudian ditotal mencapai 175 bps.

Likuiditas ketat karena bank bersaing secara sengit dengan pemerintah dalam menyerap dana masyarakat. Penyebabnya, semenjak BI mulai menginjak gas pengetatan, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah terus bergerak ke utara.



Karena likuiditas ketat, mau tak mau suku bunga pinjaman yang ditawarkan bank harus menarik. Alhasil, marjin bunga bersih/Net Interest Margin (NIM) perbankan menjadi menipis.

Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.

Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.

Pada Juni 2018, NIM bank umum konvensional berada di level 5,11%. Pada Juni 2019, nilainya sudah ambruk menjadi 4,9% saja.


Kini, BI sudah memberikan bala bantuan baru bagi perbankan dalam menghadapi ketatnya permasalahan likudiitas, yakni dengan kembali memangkas tingkat suku bunga acuan.

Pasca menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu (21/8/2019) dan berakhir hari Kamis (22/8/2019), BI memutuskan untuk memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps, menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan selama dua bulan beruntun.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Agustus 2019 memutuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (22/8/2019).


Keputusan ini merupakan kejutan lantaran konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan BI akan menahan tingkat suku bunga acuan di level 5,75%, walaupun keputusan ini sejatinya sesuai dengan proyeksi dari Tim Riset CNBC Indonesia bahwa BI akan memangkas tingkat suku bunga acuan, minimal 25 bps. Dari 13 ekonom yang kami survei, hanya terdapat empat yang memperkirakan akan ada pemangkasan, yakni sebesar 25 basis poin (bps).


Dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut, ada peluang bahwa yield obligasi pemerintah akan bergerak ke bawah.   Penurunan yield lantas akan menempatkan deposito perbankan di posisi yang cenderung lebih menarik, sehingga aliran dana yang sempat masuk ke pasar obligasi bisa ditarik masuk ke sistem perbankan.

Namun, agaknya sulit mengharapkan hal ini terjadi. Pasalnya, dalam beberapa waktu terakhir, bahkan pasca BI memangkas tingkat suku bunga acuan pada hari Kamis, yield obligasi pemerintah Indonesia malah bergerak ke utara. Penyebabnya, eskalasi perang dagang AS-China.

Saat ini, banyak kalangan berpendapat bahwa perang dagang AS-China masih akan berlarut-larut hingga tahun depan. Implikasinya, yield obligasi Indonesia bisa terus bergerak ke atas dan membuat perbankan terus berebutan dana dengan pemerintah.

Jika benar ini yang terjadi, permasalahan ketatnya likuiditas yang kini sedang dihadapi perbankan akan sulit untuk diselesaikan dan profitabilitas mereka pun menjadi taruhannya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular