Dolar AS di Bawah Rp 14.200, Rupiah Sah Jadi Juara Asia!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 August 2019 12:26
Dolar AS di Bawah Rp 14.200, Rupiah Sah Jadi Juara Asia!
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Dolar AS berhasil didorong ke bawah Rp 14.200 sehingga rupiah kini mantap di puncak klasemen mata uang utama Asia.

Pada Senin (19/8/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.195. Rupiah menguat 0,25% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Kala pembukaan pasar, rupiah sudah menguat 0,14%. Seiring jalan, apresiasi rupiah menebal sehingga dolar AS berhasil terdorong ke bawah Rp 14.200.

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini:



Hal lain yang membanggakan adalah penguatan rupiah jadi yang terbaik di Asia. Kala sebagian besar mata uang utama Benua Kuning melemah di hadapan dolar AS, rupiah berhasil menguat.


Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:06 WIB:

 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari dalam negeri, rupiah menyimpan energi untuk technical rebound karena pekan lalu melemah. Sepanjang pekan lalu, rupiah melemah 0,32% di hadapan dolar AS. Padahal mata uang Asia lainnya menguat, seperti dolar Singapura (0,09%), ringgit Malaysia (0,17%), dolar Taiwan (0,21%), yuan China (0,28%), atau won Korea Selatan (0,49%).

Selain itu, kemungkinan investor masih memberikan apresiasi terhadap Nota Keuangan dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhir pekan lalu. Pelaku pasar melihat ada komitmen dari pemerintah untuk ikut mendorong permintaan domestik, yang menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi di tengah kelesuan ekspor.

Jokowi mengusulkan perluasan program Bantuan Sosial (Bansos) dengan menambah 'kartu sakti' yaitu Kartu Pra Kerja dan Kartu Sembako. Pemerintah juga memperluas cakupan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dengan rencana peluncuran KIP Kuliah.

Selain itu, pemerintah juga terus berupaya mengundang investasi dengan berbagai insentif pajak seperti super deduction tax (pengurangan laba kena pajak) dan mini tax holiday untuk penanaman modal di bawah Rp 500 miliar. Ketika investor masuk, maka lapangan kerja terbuka dan konsumsi rumah tangga terdongkrak.

Baca: Sttt...Ada yang Baru dari Pemerintah Untuk 2020 

Program-program tersebut tidak membuat defisit anggaran tahun depan membengkak, diperkirakan 'hanya' 1,76% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan perkiraan 2019 yaitu 1,93% PDB. Pembiayaan utang untuk 2020 adalah Rp 351,9 triliun, lebih sedikit dibandingkan 2019 yang diperkirakan Rp 373,9 triliun.



Artinya, pemerintah kemungkinan tidak akan membanjiri pasar dengan penerbitan obligasi yang agresif. Pemerintah tidak akan berebut dana dengan sektor swasta, tidak tercipta crowding out effect yang menyebabkan perang suku bunga.



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sentimen positif dari eksternal pun lumayan banyak. Pertama, kekhawatiran terhadap resesi yang begitu terasa pada pekan lalu kini berangsur sirna.

Salah satu sinyal resesi, yaitu inversi yield pemerintah AS tenor dua dan 10 tahun, juga sudah tidak lagi terjadi. Pada pukul 11:51 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun adalah 1,5044% sementara yang 10 tahun berada di 1,5826%. Tidak ada inversi, yield tenor pendek lebih tinggi ketimbang tenor panjang.



Investor juga lega karena pemerintah dan bank sentral di sejumlah negara siap untuk menggelontorkan stimulus demi menangkal ancaman resesi. Di Jerman, pemerintahan koalisi pimpinan Kanselir Angela Merkel menegaskan siap untuk merilis stimulus fiskal untuk meredam perlambatan ekonomi.

Mengutip laporan majalah Der Spiegel, dilansir Reuters, pemerintah Jerman siap untuk mengubah anggaran berimbang menuju defisit sebagai sebuah langkah counter-cyclical. Bukan apa-apa, ancaman perlambatan ekonomi memang sudah sangat terasa di Negeri Panser.


Kemudian di China, Bank Sentral Negeri Tirai Bambu (PBoC) mengungkapkan akan memperkenalkan suku bunga acuan baru yang berpedoman kepada fasilitas likuiditas jangka menengah. Seperti diwartakan Reuters, suku bunga acuan yang baru ini diharapkan bisa mendorong penurunan suku bunga kredit perbankan sehingga aktivitas ekonomi dapat terangkat.

"Melalui reformasi ini, suku bunga di tingkat perbankan akan mengacu kepada LPR (Loan Prime Rate) dan LPR berpedoman kepada MLF (Medium-term Lending Facility). Jadi akan tercipta transmisi yang mulus. Ke depan, saat suku bunga acuan turun maka suku bunga kredit juga akan turun, yang dapat menekan biaya bagi korporasi," ungkap Ma Jun, Penasihat PBoC.

Kedua, masih ada harapan AS-China bisa mencapai damai dagang. Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengungkapkan tim negosiasi dagang AS dan China akan berkomunikasi secara intensif dalam 10 hari ke depan. Apabila komunikasi ini positif, maka rencana dialog dagang di Washington pada awal September bisa terlaksana.

Baca: Trump: AS Baik-Baik Saja Dengan China dan Tidak Ada Resesi 

"(Perkembangan dialog dagang AS-China) cukup baik. Oleh karena itu, tidak ada risiko resesi. Konsumen terus bekerja, upah naik, mereka terus melakukan konsumsi dan menabung," kata Kudlow dalam wawancara dengan Fox News Sunday, seperti diberitakan oleh Reuters.

Berbagai sentimen positif eksternal itu berhasil membangkitkan nafsu pelaku pasar terhadap aset-aset berisiko di negara berkembang. Indonesia pun menikmati arus modal yang mampu menopang penguatan rupiah.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular