Surat Utang Pemerintahan Jokowi Diburu Investor, Harga Naik!
19 August 2019 10:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi pemerintah Indonesia naik di perdagangan hari ini. Imbal hasil (yield) di seluruh tenor bergerak turun, yang menandakan harga instrumen ini naik karena tingginya minat pelaku pasar.
Pada Senin (19/8/2019) pukul 10:30 WIB, berikut perkembangan yield surat utang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk berbagai tenor:
Pasar obligasi pemerintah terimbas sentimen positif yang bertaburan, terutama dari luar negeri. Pertama, kekhawatiran terhadap resesi yang begitu terasa pada pekan lalu kini berangsur sirna. Salah satu sinyal resesi, yaitu inversi yield pemerintah AS tenor dua dan 10 tahun, juga sudah tidak lagi terjadi.
Pada pukul 10:32 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun adalah 1,5048% sementara yang 10 tahun berada di 1,5826%. Tidak ada inversi, yield tenor pendek lebih tinggi ketimbang tenor panjang.
Investor juga lega karena pemerintah dan bank sentral di sejumlah negara siap untuk menggelontorkan stimulus demi menangkal ancaman resesi. Di Jerman, pemerintahan koalisi pimpinan Kanselir Angela Merkel menegaskan siap untuk merilis stimulus fiskal untuk meredam perlambatan ekonomi.
Mengutip laporan majalah Der Spiegel, dilansir Reuters, pemerintah Jerman siap untuk mengubah anggaran berimbang menuju defisit sebagai sebuah langkah counter-cyclical. Bukan apa-apa, ancaman perlambatan ekonomi memang sudah sangat terasa di Negeri Panser.
Kemudian di China, Bank Sentral Negeri Tirai Bambu (PBoC) mengungkapkan akan memperkenalkan suku bunga acuan baru yang berpedoman kepada fasilitas likuiditas jangka menengah. Seperti diwartakan Reuters, suku bunga acuan yang baru ini diharapkan bisa mendorong penurunan suku bunga kredit perbankan sehingga aktivitas ekonomi dapat terangkat.
"Melalui reformasi ini, suku bunga di tingkat perbankan akan mengacu kepada LPR (Loan Prime Rate) dan LPR berpedoman kepada MLF (Medium-term Lending Facility). Jadi akan tercipta transmisi yang mulus. Ke depan, saat suku bunga acuan turun maka suku bunga kredit juga akan turun, yang dapat menekan biaya bagi korporasi," ungkap Ma Jun, Penasihat PBoC.
Kedua, masih ada harapan AS-China bisa mencapai damai dagang. Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengungkapkan tim negosiasi dagang AS dan China akan berkomunikasi secara intensif dalam 10 hari ke depan. Apabila komunikasi ini positif, maka rencana dialog dagang di Washington pada awal September bisa terlaksana.
"(Perkembangan dialog dagan AS-China) cukup baik. Oleh karena itu, tidak ada risiko resesi. Konsumen terus bekerja, upah naik, mereka terus melakukan konsumsi dan menabung," kata Kudlow dalam wawancara dengan Fox News Sunday, seperti diberitakan oleh Reuters.
Berbagai sentimen positif eksternal itu berhasil membangkitkan nafsu pelaku pasar terhadap aset-aset berisiko di negara berkembang. Indonesia pun menikmati arus modal yang mampu menopang penguatan harga obligasi negara.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pada Senin (19/8/2019) pukul 10:30 WIB, berikut perkembangan yield surat utang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk berbagai tenor:
Pasar obligasi pemerintah terimbas sentimen positif yang bertaburan, terutama dari luar negeri. Pertama, kekhawatiran terhadap resesi yang begitu terasa pada pekan lalu kini berangsur sirna. Salah satu sinyal resesi, yaitu inversi yield pemerintah AS tenor dua dan 10 tahun, juga sudah tidak lagi terjadi.
Pada pukul 10:32 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun adalah 1,5048% sementara yang 10 tahun berada di 1,5826%. Tidak ada inversi, yield tenor pendek lebih tinggi ketimbang tenor panjang.
Investor juga lega karena pemerintah dan bank sentral di sejumlah negara siap untuk menggelontorkan stimulus demi menangkal ancaman resesi. Di Jerman, pemerintahan koalisi pimpinan Kanselir Angela Merkel menegaskan siap untuk merilis stimulus fiskal untuk meredam perlambatan ekonomi.
Mengutip laporan majalah Der Spiegel, dilansir Reuters, pemerintah Jerman siap untuk mengubah anggaran berimbang menuju defisit sebagai sebuah langkah counter-cyclical. Bukan apa-apa, ancaman perlambatan ekonomi memang sudah sangat terasa di Negeri Panser.
Kemudian di China, Bank Sentral Negeri Tirai Bambu (PBoC) mengungkapkan akan memperkenalkan suku bunga acuan baru yang berpedoman kepada fasilitas likuiditas jangka menengah. Seperti diwartakan Reuters, suku bunga acuan yang baru ini diharapkan bisa mendorong penurunan suku bunga kredit perbankan sehingga aktivitas ekonomi dapat terangkat.
"Melalui reformasi ini, suku bunga di tingkat perbankan akan mengacu kepada LPR (Loan Prime Rate) dan LPR berpedoman kepada MLF (Medium-term Lending Facility). Jadi akan tercipta transmisi yang mulus. Ke depan, saat suku bunga acuan turun maka suku bunga kredit juga akan turun, yang dapat menekan biaya bagi korporasi," ungkap Ma Jun, Penasihat PBoC.
Kedua, masih ada harapan AS-China bisa mencapai damai dagang. Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengungkapkan tim negosiasi dagang AS dan China akan berkomunikasi secara intensif dalam 10 hari ke depan. Apabila komunikasi ini positif, maka rencana dialog dagang di Washington pada awal September bisa terlaksana.
"(Perkembangan dialog dagan AS-China) cukup baik. Oleh karena itu, tidak ada risiko resesi. Konsumen terus bekerja, upah naik, mereka terus melakukan konsumsi dan menabung," kata Kudlow dalam wawancara dengan Fox News Sunday, seperti diberitakan oleh Reuters.
Berbagai sentimen positif eksternal itu berhasil membangkitkan nafsu pelaku pasar terhadap aset-aset berisiko di negara berkembang. Indonesia pun menikmati arus modal yang mampu menopang penguatan harga obligasi negara.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Artikel Selanjutnya
SUN Cetak Rekor, Pengamat: SUN RI Masih Menarik Bagi Investor
(aji/aji)