Poundstreling Amblas, Ini Potensi Cuan di Forex Pekan Depan

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 August 2019 18:17
Poundstreling Amblas, Ini Potensi Cuan di Forex Pekan Depan
Foto: Ilustrasi mata uang poundsterling (REUTERS/Simon Dawson )
Jakarta, CNBC Indonesia - Geliat pasar forex dalam dua pekan terakhir, mata uang poundsterling amblas sementara yen menguat signifikan, dolar AS loyo.

Performa poundsterling balik buruk pada perdagangan Jumat (9/8/19) setelah jeblok mendekati level terlemah 34 tahun. Dalam sehari poundsterling kehilangan nilainya sebesar 0,8% dan mencapai level US$ 1,2034, berdasarkan data Refinitiv. Level tersebut menjadi yang terlemah sejak Januari 2017. Kala itu level terlemah poundsterling adalah US$ 1,1979.



Mundur lagi ke belakang, poundsterling mengalami flash crash pada 7 Oktober 2016, ketika secara tiba-tiba poundsterling jeblok ke level US$ 1,1450, namun tidak lama kemudian kembali pulih dan mengakhiri perdagangan hari itu di level US$ 1,2432, melansir data Refinitiv.

Titik terendah saat flash crash tersebut merupakan level terlemah 31 tahun poundsterling melawan dolar AS. Saat itu nilai tukar poundsterling tiba-tiba jeblok hampir 10%, dan dengan cepat berbalik lagi. Belum jelas penyebab flash crash, tetapi media-media internasional melaporkan hal itu sebagai akibat aksi jual besar yang dilakukan sistem komputer.

Jika tidak melihat titik terendah saat flash crash, maka level terlemah poundsterling dalam 31 tahun terakhir adalah US$ 1,2054 di bulan Januari 2017. Melihat posisi saat ini, level tersebut tidak terlalu jauh, jika berhasil, dilewati, maka poundsterling akan mencatat level terlemah 34 tahun melawan dolar AS.


Poundsterling di pekan ini akan menjadi mata uang yang paling menarik untuk ditransaksikan. Tekanan kuat dialami pound setelah data menunjukkan ekonomi Inggris mengalami kontraksi di kuartal-II 2019.

Data dari Office for National Statistic (ONS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) Inggris sebesar -0,2% alias berkontraksi di kuartal-II tahun ini dari kuartal sebelumnya yang tumbuh 0,5%. Kontraksi tersebut merupakan yang pertama sejak kuartal-IV 2012.



Kontraksi yang dialami Inggris bahkan terjadi sebelum keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober nanti, dan kini ancaman resesi menjadi semakin nyata. Suatu negara dikatakan mengalami resesi jika PDB-nya berkontraksi dua kuartal berturut-turut.

Inggris diprediksi akan mengalami resesi seandainya keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun atau yang dikenal dengan istilah no-deal Brexit pada 31 Oktober nanti. Namun kini, sebelum Brexit terjadi ekonomi Inggris malah sudah berkontraksi.

Poundsteling kembali akan mendapat "cobaan" dari rilis data rata-rata upah Inggris pada hari Selasa (13/8/19) dan data inflasi pada hari Rabu (14/8/19). Mata uang Inggris ini berpeluang amblas lebih dalam jika dua data tersebut menunjukkan penurunan.

Tanpa dua data tersebut poundsterling juga terlihat masih akan tertekan akibat potensi terjadinya no-deal Brexit yang semakin menguat. Hasil survei Reuters terhadap para ekonom pada periode 2-7 Agustus lalu menunjukkan potensi terjadinya no-deal Brexit sebesar 35%, naik dibandingkan survei yang dilakukan bulan Juli lalu sebesar 30%.

Selain itu hasil survei Reuters terhadap ahli strategi forex menunjukkan poundsterling diprediksi akan amblas dan bergerak di kisaran US$ 1,17-US$ 1,20 sebelum 31 Oktober.

Poundsterling berpeluang masih akan terus melemah selama tertahan di bawah level US$ 1,21 yang ditembus pada perdagangan Jumat.

Halaman Selanjutnya >>>

Mata uang euro memang menguat pada perdagangan Jumat, tetapi posisinya menjadi rentan akibat kisruh politik Italia. Koalisi partai pemerintah pecah setelah Wakil Perdana Menteri, Matteo Salvini mengatakan kolalisi pemerintah tidak bisa bekerja dan meminta diadakan Pemilu Sela. 

Partai Lega pimpinan Matteo Salvini pecah kongsi dengan Partai Pergerakan Lima Bintang (Five Star Movement/M5S) akibat masalah jalur kereta cepat yang menghubungkan Italia dan Prancis. 

Kisruh politik Italia menambah sentimen negatif bagi mata uang euro yang saat ini dibebani potensi pemangkasan suku bunga oleh European Central Bank (ECB) pada bulan September. 

Presiden ECB, Mario Draghi, saat mengumumkan kebijakan moneter 25 Juli lalu bersikap tidak terlalu dovish yang membuat pelaku pasar memprediksi ECB tidak akan terlalu agresif dalam melonggarkan kebijakan moneter. 

Namun, kini kondisi berubah, isu perang mata uang membuat ECB bisa saja agresif dalam melonggarkan kebijakan moneter. Sebelum isu perang mata uang muncul, euro menyentuh level terlemah sejak Mei 2017 sebesar US$ 1,1025 pada 1 Agustus lalu. 

Semenjak saat itu euro telah menguat lebih dari 1,5%, hal tersebut tentunya memberikan tekanan bagi ECB untuk menggelontorkan stimulus guna meredam penguatan euro, bahkan ada kemungkinan melemahkan euro. 


Penguatan euro berdampak kurang bagus, produk-produk dari zona euro akan kalah bersaing dengan China yang nilai tukar mata uangnya terus dilemahkan. Ekspor dari Benua Biru kemungkinan akan merosot, dan berdampak buruk bagi perekonomian. 

Euro masih bisa selamat dari penurunan akibat Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) juga diprediksi kuat akan agresif memangkas suku bunga di tahun ini. Tetapi dengan kondisi politik Italia yang sedang memanas, tekanan menjadi lebih besar, dan berpeluang melemah di pekan ini. 

Sementara itu, pelan tapi pasti mata uang yen Jepang terus menguat melawan dolar AS. Kondisi ekonomi, perang dagang, dan situasi politik saat ini sepertinnya mendukung bagi Mata Uang Negeri Matahari Terbit. 

Yen merupakan mata uang yang dianggap safe haven, ketika kondisi ekonomi global dipenuhi ketidakpastian, maka mata uang yen akan menjadi incaran pelaku pasar. 

Jika perang dagang kembali tereskalasi, dan Bank Sentral China kembali mendepresiasi mata uangnya, kurs yen berpotensi menguat lagi di pekan ini. 


Dari negeri Paman Sam, data inflasi pada hari Rabu dan penjualan ritel di hari Kamis yang juga dapat mempengaruhi probabilitas pemangkasan suku bunga The Fed, dan tentunya akan berpengaruh ke pasar forex. 

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular