Berayun Kencang Lawan Dolar AS, Euro Mau Kemana Sih?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
09 August 2019 15:19
Jones memprediksi euro baru akan menguat dan menjadi bullish jika mampu menembus level resisten kunci.
Foto: euro (REUTERS/Heinz-Peter Bader)
Jakarta, CNBC Indonesia -- Mata uang euro bergerak fluktuatif, menguat-melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sejak perdagangan Selasa (6/8/19) hingga hari ini Jumat (9/8/19). Arah pergerakan mata uang 19 ini menjadi tidak jelas semenjak menguat tajam pada Senin (5/8/19).

Pada pukul 14:55 WIB, euro diperdagangkan di level US$ 1,1188 atau menguat 0,08% di pasar spot, berdasarkan data Refinitiv. Pergerakan tersebut terjadi akibat fundamental euro yang kurang bagus, begitu juga dengan dolar AS.

European Central Bank (ECB) diprediksi kuat akan memangkas suku bunga pada bulan September nanti, begitu juga dengan Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed).



Presiden ECB, Mario Draghi, saat mengumumkan kebijakan moneter 25 Juli lalu bersikap tidak terlalu dovish yang membuat pelaku pasar memprediksi ECB tidak akan terlalu agresif dalam melonggarkan kebijakan moneter.

Draghi mengatakan dalam jangka menengah inflasi diperkirakan akan meningkat akibat berlanjutnya ekspansi ekonomi serta pertumbuhan upah yang cukup bagus.

Pernyataan terkait inflasi tersebut bisa jadi indikasi jika ECB tidak akan terlalu agresif dalam memberikan stimulus moneter. Pemangkasan suku kemungkinan akan dilakukan satu kali saja, dan program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) jika ada juga tidak terlalu besar jumlahnya.


Namun, kini kondisi berubah, isu perang mata uang membuat ECB bisa saja agresif dalam melonggarkan kebijakan moneter. Sebelum isu perang mata uang muncul, euro menyentuh level terlemah sejak Mei 2017 sebesar US$ 1,1025 pada 1 Agustus lalu.

Semenjak saat itu euro telah menguat lebih dari 1,5%, hal tersebut tentunya memberikan tekanan bagi ECB untuk menggelontorkan stimulus guna meredam penguatan euro, bahkan ada kemungkinan melemahkan euro.

Penguatan euro berdampak kurang bagus, produk-produk dari zona euro akan kalah bersaing dengan China yang nilai tukar mata uangnya terus dilemahkan. Ekspor dari Benua Biru kemungkinan akan merosot, dan berdampak buruk bagi perekonomian.

Di sisi lain, The Fed juga diprediksi kembali agresif memangkas suku bunga di tahun ini akibat eskalasi perang dagang AS-China serta depresiasi kurs yuan China. Dua faktor tersebut diprediksi akan semakin menekan ekonomi AS sehingga The Fed harus agresif memangkas suku bunga.


Data dari piranti FedWatch milik CME Group siang ini menunjukkan probabilitas suku bunga turun 25 basis poin (bps) ke 1,75%-2% pada September mencapai 78,8%. Sementara kemungkinan penurunan 50 bps ke 1,5%-1,75% adalah 21,2%

Piranti yang sama menunjukkan probabilitas suku bunga 1,5%-1,75% sebesar 42,5%, terbesar diantara probabilitas suku bunga lainnya. Ini berarti The Fed diprediksi kuat akan memangkas suku bunga bulan depan, dan akan peluang cukup besar melakukan hal yang sama pada bulan Desember.

Sama-sama diprediksi akan agresif memangkas suku bunga membuat arah peregerakan euro masih belum jelas, dan dikatakan berada pada fase konsolidasi oleh Karen Jones, analis dari Commerzbank.

Jones memprediksi euro baru akan menguat dan menjadi bullish jika mampu menembus resisten kunci di kisaran US$ 1,1360 sampai US$ 1,1377. Sebaliknya jika bergerak turun support berada di kisaran US$ US$ 1,1150 sampai US$ 1,1106, dan support kunci di level US$ 1,0967, sebagaimana dikutip fxstreet.com.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap) Next Article Ekonomi AS Makin Terpuruk, Euro Berbalik Menguat 0,5%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular