
Ekonomi AS Makin Terpuruk, Euro Berbalik Menguat 0,5%
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 May 2020 20:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar euro berbalik menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) memasuki perdagangan sesi New York Selasa (12/5/2020). Data yang menunjukkan ekonomi AS semakin merosot akibat pandemi virus corona (COVID-19) memberikan tekanan bagi dolar.
Pada pukul 20:03 WIB, euro diperdagangkan di level US$ 1,0859, menguat 0,5% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sebelumnya mata uang 19 negara ini melemah 0,21% di US$ 1,0783.
Departemen Tenaga Kerja AS hari ini melaporkan indeks harga konsumen (IHK) bulan April turun 0,8% month-on-month (MoM) alias mengalami deflasi. Pada bulan Maret, AS juga mengalami deflasi sebesar 0,4%. Rilis terbaru tersebut melengkapi data yang menunjukkan merosotnya perekonomian Negeri Paman Sam.
Jumat pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang bulan April terjadi pengurangan tenaga kerja sebanyak 20,5 juta orang, dan tingkat pengangguran melonjak menjadi 14,7%, yang merupakan level tertinggi sejak Perang Dunia II.
Kebijakan karantina wilayah (lockdown) dan social distancing di AS guna meredam penyebaran virus nCov-2019 menjadi penyebab ambruknya pasar tenaga kerja. Meski demikian, rilis itu masih lebih baik dar prediksi para ekonomi yang disurvei Dow Jones yang memprediksi berkurangnya 21,5 juta tenaga kerja dengan tingkat pengangguran sebesar 16%.
Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin, bahkan memprediksi tingkat pengangguran Negeri Paman Sam akan mencapai 25%, sebelum akhirnya membaik.
"Ini bukan salah dunia usaha AS, bukan salah pekerja, ini adalah dampak dari virus. Angka pengangguran kemungkinan akan semakin buruk sebelum kembali membaik. Tahun depan akan menjadi tahun yang jauh lebih bagus," kata Mnuchin sebagaimana dilansir CNBC International, Minggu (10/5/2020).
Kebijakan karantina wilayah (lockdown) dan social distancing membuat roda perekonomian AS melambat, bahkan nyaris terhenti. Karenanya, wajar jika indikator perekonomian negeri Paman Sam "hancur-hancuran".
Di triwulan I-2020, pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/PDB) AS mengalami kontraksi alias minus 4,8%. Tidak hanya itu, sepanjang tahun ini, PDB AS juga diprediksi mengalami kontraksi 5,9% oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
Meski demikian, sama dengan pernyataan Mnuchin, IMF memprediksi di tahun depan PDB AS akan tumbuh 4,7%. Bisa dikatakan proyeksi tersebut menjadi yang paling optimis di tahun ini, sebab banyak ekonom memprediksi Negeri Sam akan mengalami resesi yang agak panjang, bahkan mengalami depresi.
Risiko terjadinya depresi diungkapkan oleh Nouriel Roubini, profesor di New York University's Stern School of Business yang juga chairman dari Roubini Macro Associates LLC. Roubini merupakan orang yang memprediksi tahun 2008 akan terjadi krisis finansial global.
"Sayangnya, saya khawatir ada beberapa tren besar... yang saya sebut '10 Deadly D' yang akan membawa kita memasuki masa depresi di dekade ini." kata Roubini dalam sebuah wawancara di Bloomberg.
Yang dimaksud '10 Deadly D' oleh Roubini diantaranya debt, deficit, deglobalization, devaluation, hingga disruption.
Dalam jangka pendek, dolar memang mengalami volatilitas akibat rilis data ekonomi AS. Namun dalam jangka panjang, dolar AS sebenarnya masih unggul karena statusnya sebagai safe haven. Setidaknya dalam 3 bulan ke depan, dolar AS malah diprediksi masih akan perkasa.
Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil polling Reuters terhadap 34 ahli strategi mata uang. Hasilnya, sebanyak 26 orang memprediksi dolar AS masih akan perkasa setidaknya hingga triwulan III-2020, 7 orang mengatakan dolar masih akan perkasa tetapi kurang dari 3 bulan, sementara 1 orang mengatakan penguatan greenback sudah berakhir.
"Meski melewati fase panik, dalam beberapa bulan ke depan kita akan melihat banyak data ekonomi, dan data tersebut akan buruk. Saya pikir dengan kondisi tersebut, dari sudut pandang investor tidak akan mau mengambil risiko, sehingga enggan mengalirkan modal ke negara-negara yang lebih rentan," kata Jane Foley, kepala ahli strategi valas Rabobank, dilansir Reuters.
Dengan kata lain, aliran modal masih akan tetap di dan menuju ke AS yang merupakan negara terkuat di muka bumi ini, meski sedang mengalami kemerosotan ekonomi. Sehingga dolar AS masih akan perkasa beberapa bulan ke depan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Turun Lagi, Euro Kini di Level Terlemah Sejak Mei 2017
Pada pukul 20:03 WIB, euro diperdagangkan di level US$ 1,0859, menguat 0,5% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sebelumnya mata uang 19 negara ini melemah 0,21% di US$ 1,0783.
Departemen Tenaga Kerja AS hari ini melaporkan indeks harga konsumen (IHK) bulan April turun 0,8% month-on-month (MoM) alias mengalami deflasi. Pada bulan Maret, AS juga mengalami deflasi sebesar 0,4%. Rilis terbaru tersebut melengkapi data yang menunjukkan merosotnya perekonomian Negeri Paman Sam.
Jumat pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang bulan April terjadi pengurangan tenaga kerja sebanyak 20,5 juta orang, dan tingkat pengangguran melonjak menjadi 14,7%, yang merupakan level tertinggi sejak Perang Dunia II.
Kebijakan karantina wilayah (lockdown) dan social distancing di AS guna meredam penyebaran virus nCov-2019 menjadi penyebab ambruknya pasar tenaga kerja. Meski demikian, rilis itu masih lebih baik dar prediksi para ekonomi yang disurvei Dow Jones yang memprediksi berkurangnya 21,5 juta tenaga kerja dengan tingkat pengangguran sebesar 16%.
Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin, bahkan memprediksi tingkat pengangguran Negeri Paman Sam akan mencapai 25%, sebelum akhirnya membaik.
"Ini bukan salah dunia usaha AS, bukan salah pekerja, ini adalah dampak dari virus. Angka pengangguran kemungkinan akan semakin buruk sebelum kembali membaik. Tahun depan akan menjadi tahun yang jauh lebih bagus," kata Mnuchin sebagaimana dilansir CNBC International, Minggu (10/5/2020).
Kebijakan karantina wilayah (lockdown) dan social distancing membuat roda perekonomian AS melambat, bahkan nyaris terhenti. Karenanya, wajar jika indikator perekonomian negeri Paman Sam "hancur-hancuran".
Di triwulan I-2020, pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/PDB) AS mengalami kontraksi alias minus 4,8%. Tidak hanya itu, sepanjang tahun ini, PDB AS juga diprediksi mengalami kontraksi 5,9% oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
Meski demikian, sama dengan pernyataan Mnuchin, IMF memprediksi di tahun depan PDB AS akan tumbuh 4,7%. Bisa dikatakan proyeksi tersebut menjadi yang paling optimis di tahun ini, sebab banyak ekonom memprediksi Negeri Sam akan mengalami resesi yang agak panjang, bahkan mengalami depresi.
Risiko terjadinya depresi diungkapkan oleh Nouriel Roubini, profesor di New York University's Stern School of Business yang juga chairman dari Roubini Macro Associates LLC. Roubini merupakan orang yang memprediksi tahun 2008 akan terjadi krisis finansial global.
"Sayangnya, saya khawatir ada beberapa tren besar... yang saya sebut '10 Deadly D' yang akan membawa kita memasuki masa depresi di dekade ini." kata Roubini dalam sebuah wawancara di Bloomberg.
Yang dimaksud '10 Deadly D' oleh Roubini diantaranya debt, deficit, deglobalization, devaluation, hingga disruption.
Dalam jangka pendek, dolar memang mengalami volatilitas akibat rilis data ekonomi AS. Namun dalam jangka panjang, dolar AS sebenarnya masih unggul karena statusnya sebagai safe haven. Setidaknya dalam 3 bulan ke depan, dolar AS malah diprediksi masih akan perkasa.
Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil polling Reuters terhadap 34 ahli strategi mata uang. Hasilnya, sebanyak 26 orang memprediksi dolar AS masih akan perkasa setidaknya hingga triwulan III-2020, 7 orang mengatakan dolar masih akan perkasa tetapi kurang dari 3 bulan, sementara 1 orang mengatakan penguatan greenback sudah berakhir.
"Meski melewati fase panik, dalam beberapa bulan ke depan kita akan melihat banyak data ekonomi, dan data tersebut akan buruk. Saya pikir dengan kondisi tersebut, dari sudut pandang investor tidak akan mau mengambil risiko, sehingga enggan mengalirkan modal ke negara-negara yang lebih rentan," kata Jane Foley, kepala ahli strategi valas Rabobank, dilansir Reuters.
Dengan kata lain, aliran modal masih akan tetap di dan menuju ke AS yang merupakan negara terkuat di muka bumi ini, meski sedang mengalami kemerosotan ekonomi. Sehingga dolar AS masih akan perkasa beberapa bulan ke depan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Turun Lagi, Euro Kini di Level Terlemah Sejak Mei 2017
Most Popular