
Cuma Melemah 0,2%, tapi Rupiah Jadi yang Terburuk di Asia
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 May 2020 16:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (12/5/2020), akibat memburuknya sentimen pelaku pasar global merespon adanya risiko penyebaran pandemi virus corona (Covid-19) gelombang kedua.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung melemah 0,4% di Rp 14.910/US$. Depresiasi rupiah semakin membesar hingga 0,84% ke Rp 14.975/US$ yang menjadi level terlemah intraday.
Rupiah berhasil memperbaiki posisinya, dan di akhir perdagangan berada di level Rp 14.880/US$ atau melemah 0,2% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Meski pelemahan tidak besar, tetapi rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia pada hari ini.
Mata uang utama Asia memang bergerak bervariasi pada hari ini, hingga pukul 15:12 WIB, rupee India menjadi mata uang dengan kinerja terbaik dengan penguatan 0,41%. Rupee unggul cukup jauh dibandingkan mata uang yang menguat lainnya.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:12 WIB.
Sebelum perdagangan hari ini dibuka, tanda-tanda pelemahan rupiah memang sudah terlihat di kurs non-deliverable forward (NDF) yang lebih lemah ketimbang sore kemarin.
Awal pekan kemarin, rupiah kembali menguat 0,27% ke Rp 14850/US$ dan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di Asia. Tetapi penguatan tidak dicapai dengan mudah, rupiah mengarungi perdagangan dengan sangat labil, beberapa kali keluar masuk zona merah dan hijau.
Sepanjang pekan lalu, rupiah mencatat pelemahan 0,44%, menjadi koreksi "sehat" mengingat rupiah sebelumnya sudah menguat dalam 4 pekan beruntun, dan sepanjang April melesat lebih dari 9%.
Penguatan lebih dari 9% tersebut sepertinya masih terlalu besar bagi rupiah di tengah pandemi virus corona (Covid-19) masih masih memberikan risiko pelambatan ekonomi. Apalagi pada pekan lalu Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo masih menegaskan jika rupiah akan berada di kisaran Rp 15.000/US$ di akhir tahun. Padahal di akhir April rupiah sudah menyentuh level Rp 14.825/US$.
Gubernur Perry mengatakan dalam jangka pendek rupiah memang akan naik turun dipengaruhi faktor teknikal, dan perkembangan situasi global.
Rupiah di Rp 15.000/US$ di akhir tahun yang diungkapkan oleh Perry memberikan dampak psikologis di pasar, para investor tentunya melihat jika rupiah kembali menguat tidak akan jauh dari level tersebut. Sehingga perlu momentum atau "tenaga ekstra" yang lebih besar agar rupiah bisa melaju kencang lagi.
Sayangnya momentum tersebut belum ada pada hari ini, yang ada justru tekanan dari eksternal yang membuat rupiah langsung melemah begitu perdagangan dibuka. Pelaku pasar kembali dibuat was-was, China dan Korea Selatan yang sebelumnya sudah "menang" melawan virus corona kini harus kembali siaga akibat adanya potensi penyebaran gelombang kedua. Dalam dua hari terakhir, data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyebutkan kasus baru di China naik 0,02%.
Meski sangat tipis, tetapi itu adalah laju tercepat sejak 29 April. Artinya, ada tanda kasus baru virus corona mulai meningkat lagi. Pemerintah China mengambil langkah tegas dengan menerapkan karantina wilayah (lockdown) di Kota Shulan, Provinsi Jilin. Ini dilakukan agar virus tidak semakin menyebar.
Di Kota Wuhan, ground zero penyebaran virus corona, sudah ada satu kluster penyebaran baru setelah lockdown dicabut sebulan lalu. Ada lima pasien baru yang tinggal di sebuah pemukiman.
Kemudian di Korea Selatan, Korea Centers for Disease Control and Prevention mencatat jumlah pasien positif corona per 11 Mei adalah 10.909 orang. Naik 0,32% dibandingkan posisi per hari sebelumnya.
Seperti halnya di China, pertumbuhan kasus di Negeri Ginseng memang relatif rendah. Namun kenaikan 0,32% menjadi yang tertinggi sejak 9 April.
Hal ini tentunya membuat pelaku pasar cemas akan kemungkinan "serangan" Covid-19 gelombang kedua ke negara-negara yang sudah melonggarkan lockdown atau social distancing.
Selain China, dan Korea Selatan, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat juga sudah mulai melonggarkan lockdown, sehingga akan menjadi perhatian apakan kasus Covid-19 kembali mengalami peningkatan, atau terus menunjukkan tren penurunan.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung melemah 0,4% di Rp 14.910/US$. Depresiasi rupiah semakin membesar hingga 0,84% ke Rp 14.975/US$ yang menjadi level terlemah intraday.
Rupiah berhasil memperbaiki posisinya, dan di akhir perdagangan berada di level Rp 14.880/US$ atau melemah 0,2% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Meski pelemahan tidak besar, tetapi rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia pada hari ini.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:12 WIB.
Sebelum perdagangan hari ini dibuka, tanda-tanda pelemahan rupiah memang sudah terlihat di kurs non-deliverable forward (NDF) yang lebih lemah ketimbang sore kemarin.
Awal pekan kemarin, rupiah kembali menguat 0,27% ke Rp 14850/US$ dan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di Asia. Tetapi penguatan tidak dicapai dengan mudah, rupiah mengarungi perdagangan dengan sangat labil, beberapa kali keluar masuk zona merah dan hijau.
Sepanjang pekan lalu, rupiah mencatat pelemahan 0,44%, menjadi koreksi "sehat" mengingat rupiah sebelumnya sudah menguat dalam 4 pekan beruntun, dan sepanjang April melesat lebih dari 9%.
Penguatan lebih dari 9% tersebut sepertinya masih terlalu besar bagi rupiah di tengah pandemi virus corona (Covid-19) masih masih memberikan risiko pelambatan ekonomi. Apalagi pada pekan lalu Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo masih menegaskan jika rupiah akan berada di kisaran Rp 15.000/US$ di akhir tahun. Padahal di akhir April rupiah sudah menyentuh level Rp 14.825/US$.
Gubernur Perry mengatakan dalam jangka pendek rupiah memang akan naik turun dipengaruhi faktor teknikal, dan perkembangan situasi global.
Rupiah di Rp 15.000/US$ di akhir tahun yang diungkapkan oleh Perry memberikan dampak psikologis di pasar, para investor tentunya melihat jika rupiah kembali menguat tidak akan jauh dari level tersebut. Sehingga perlu momentum atau "tenaga ekstra" yang lebih besar agar rupiah bisa melaju kencang lagi.
Sayangnya momentum tersebut belum ada pada hari ini, yang ada justru tekanan dari eksternal yang membuat rupiah langsung melemah begitu perdagangan dibuka. Pelaku pasar kembali dibuat was-was, China dan Korea Selatan yang sebelumnya sudah "menang" melawan virus corona kini harus kembali siaga akibat adanya potensi penyebaran gelombang kedua. Dalam dua hari terakhir, data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyebutkan kasus baru di China naik 0,02%.
Meski sangat tipis, tetapi itu adalah laju tercepat sejak 29 April. Artinya, ada tanda kasus baru virus corona mulai meningkat lagi. Pemerintah China mengambil langkah tegas dengan menerapkan karantina wilayah (lockdown) di Kota Shulan, Provinsi Jilin. Ini dilakukan agar virus tidak semakin menyebar.
Di Kota Wuhan, ground zero penyebaran virus corona, sudah ada satu kluster penyebaran baru setelah lockdown dicabut sebulan lalu. Ada lima pasien baru yang tinggal di sebuah pemukiman.
Kemudian di Korea Selatan, Korea Centers for Disease Control and Prevention mencatat jumlah pasien positif corona per 11 Mei adalah 10.909 orang. Naik 0,32% dibandingkan posisi per hari sebelumnya.
Seperti halnya di China, pertumbuhan kasus di Negeri Ginseng memang relatif rendah. Namun kenaikan 0,32% menjadi yang tertinggi sejak 9 April.
Hal ini tentunya membuat pelaku pasar cemas akan kemungkinan "serangan" Covid-19 gelombang kedua ke negara-negara yang sudah melonggarkan lockdown atau social distancing.
Selain China, dan Korea Selatan, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat juga sudah mulai melonggarkan lockdown, sehingga akan menjadi perhatian apakan kasus Covid-19 kembali mengalami peningkatan, atau terus menunjukkan tren penurunan.
Next Page
Penjualan Ritel Indonesia Merosot
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular