
Dolar Diramal 'Mujur' saat AS 'Hancur', Rupiah Apa Kabar?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 May 2020 14:06

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang dolar Amerika Serikat (AS) masih perkasa sepanjang tahun ini, meski perekonomian Negeri Paman Sam sedang "hancur-hancuran" akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Sebabnya, status aset aman (safe haven) yang disandang membuat dolar menjadi incaran pelaku pasar.
Indeks dolar AS (DXY) sepanjang tahun ini hingga Senin (11/5/2020) kemarin mencatat penguatan nyaris 4%, dan berada di atas level 100. Indeks dolar dibentuk dari enam mata uang yakni euro, yen, poundsterling, dolar Kanada, krona Swedia, dan franc Swiss. Indeks ini juga dijadikan tolak ukur kekuatan dolar AS terhadap mata uang lainnya.
Tidak hanya sepanjang tahun ini, dolar AS malah diprediksi masih akan perkasa dalam 6 bulan ke depan.
Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil polling yang dilakukan Reuters terhadap 34 ahli strategi mata uang. Hasilnya, sebanyak 26 orang memprediksi dolar AS masih akan perkasa setidaknya hingga triwulan III-2020, 7 orang mengatakan dolar masih akan perkasa tetapi kurang dari 3 bulan, sementara 1 orang mengatakan penguatan the greenback sudah berakhir.
"Meskipun kita sudah melewati fase panik, tetapi dalam beberapa bulan ke depan kita akan melihat banyak data ekonomi, dan data tersebut akan buruk. Saya pikir dengan kondisi tersebut, dari sudut pandang inivestor tidak akan mau mengambil risiko, sehingga mereka akan enggan untuk mengalirkan modal ke negara-negara yang lebih rentan terhadap risiko" kata Jane Foley, kepala ahli strategi valas di Rabobank, sebagaimana dilansir Reuters.
Dengan kata lain, aliran modal masih akan tetap di dan menuju ke AS yang merupakan negara terkuat di muka bumi ini, meski sedang mengalami kemerosotan ekonomi. Sehingga dolar AS masih akan perkasa beberapa bulan ke depan.
Meski demikian, pergerakan dolar AS sendiri akan sangat dipengaruhi oleh pandemi Covid-19, menurut hasil polling Reuters tersebut. Jika tanpa perkembangan yang signifikan, dalam arti penyebarannya belum berhasil dihentikan, maka dolar masih akan tetap perkasa. Tetapi ketika Covid-19 berhasil dihentikan atau diredam, maka dolar AS menjadi kurang menarik.
Oleh sebab itu dalam jangka panjang, keperkasaan dolar AS diprediksi akan runtuh.
"Anda harus melihat dalam 4 atau 5 tahun sebelumnya ketika dolar AS kuat berkat keunggulan yield dibandingkan mata uang utama lainnya, ekonomi AS juga jauh lebih unggul dibandingkan negara-negara maju lainnya," kata Lee Hardman, ekonom mata uang di MUFG, sebagaimana dilansir Reuters.
"Tetapi kami pikir dalam 12 bulan ke depan ketika keadaan menjadi normal, maka kondisinya akan berbeda dengan 12 bulan yang lalu karena yield di AS saat ini sangat rendah, dan selisih yield dengan negara-negara lainnya sudah tidak ada lagi," tambahnya.
Yield atau imbal hasil di AS saat ini memang sedang sangat rendah setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunganya menjadi 0-0,25% pada Maret lalu.
Yield obligasi (Treasury) AS tenor 10 tahun saat ini berada di kisaran 0,686%, bandingkan dengan satu tahun lalu yang masih di kisaran 2,5%. Sementara yield obligasi pemerintah Jerman (Bund) tenor yang sama saat ini berada di kisaran 0,5%, dan yield obligasi pemerintah Inggris (Gilt) tenor 10 tahun berada di kisaran 0,264%.
Indeks dolar AS (DXY) sepanjang tahun ini hingga Senin (11/5/2020) kemarin mencatat penguatan nyaris 4%, dan berada di atas level 100. Indeks dolar dibentuk dari enam mata uang yakni euro, yen, poundsterling, dolar Kanada, krona Swedia, dan franc Swiss. Indeks ini juga dijadikan tolak ukur kekuatan dolar AS terhadap mata uang lainnya.
Tidak hanya sepanjang tahun ini, dolar AS malah diprediksi masih akan perkasa dalam 6 bulan ke depan.
![]() |
"Meskipun kita sudah melewati fase panik, tetapi dalam beberapa bulan ke depan kita akan melihat banyak data ekonomi, dan data tersebut akan buruk. Saya pikir dengan kondisi tersebut, dari sudut pandang inivestor tidak akan mau mengambil risiko, sehingga mereka akan enggan untuk mengalirkan modal ke negara-negara yang lebih rentan terhadap risiko" kata Jane Foley, kepala ahli strategi valas di Rabobank, sebagaimana dilansir Reuters.
Dengan kata lain, aliran modal masih akan tetap di dan menuju ke AS yang merupakan negara terkuat di muka bumi ini, meski sedang mengalami kemerosotan ekonomi. Sehingga dolar AS masih akan perkasa beberapa bulan ke depan.
Meski demikian, pergerakan dolar AS sendiri akan sangat dipengaruhi oleh pandemi Covid-19, menurut hasil polling Reuters tersebut. Jika tanpa perkembangan yang signifikan, dalam arti penyebarannya belum berhasil dihentikan, maka dolar masih akan tetap perkasa. Tetapi ketika Covid-19 berhasil dihentikan atau diredam, maka dolar AS menjadi kurang menarik.
Oleh sebab itu dalam jangka panjang, keperkasaan dolar AS diprediksi akan runtuh.
"Anda harus melihat dalam 4 atau 5 tahun sebelumnya ketika dolar AS kuat berkat keunggulan yield dibandingkan mata uang utama lainnya, ekonomi AS juga jauh lebih unggul dibandingkan negara-negara maju lainnya," kata Lee Hardman, ekonom mata uang di MUFG, sebagaimana dilansir Reuters.
"Tetapi kami pikir dalam 12 bulan ke depan ketika keadaan menjadi normal, maka kondisinya akan berbeda dengan 12 bulan yang lalu karena yield di AS saat ini sangat rendah, dan selisih yield dengan negara-negara lainnya sudah tidak ada lagi," tambahnya.
Yield atau imbal hasil di AS saat ini memang sedang sangat rendah setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunganya menjadi 0-0,25% pada Maret lalu.
Yield obligasi (Treasury) AS tenor 10 tahun saat ini berada di kisaran 0,686%, bandingkan dengan satu tahun lalu yang masih di kisaran 2,5%. Sementara yield obligasi pemerintah Jerman (Bund) tenor yang sama saat ini berada di kisaran 0,5%, dan yield obligasi pemerintah Inggris (Gilt) tenor 10 tahun berada di kisaran 0,264%.
Next Page
Virus Corona
Pages
Most Popular